Minggu, 26 April 2015---Kelas menulis FLP Bandarlampung diselenggarakan tiap dua minggu. Kelas menulis 5 kali ini temanya adalah PUISI. Narasumber adalah seorang penyair ternama, seorang wanita yang sangat produktif menulis puisi dan karyanya sudah menasional. Ialah mbak Fitri Yani, wanita berparas anggun ini, terlihat sebagai sastrawati yang rapi. Dengan kemeja bewarna orange.
Diawal pembelajaran mbak Fitri Yani bertanya definisi puisi menurut peserta, berbagai jawaban dari peserta: puisi adalah kalimat yang bermakna banyak, puisi adalah kata yang penuh kiasan, puisi adalah lukisan kata dan lain-lain. “Tiap pribadi memiliki anggapan sendiri mengenai puisi, membuat puisi bukan untuk mengatakan “apa” tapi mengenai “bagaimana”. Bagaimana menulis dengan rasa, bukan bagaimana kita menjelaskan suatu hal.. karena puisi adalah suatu karya yang ketika sudah berada di tangan pembaca, puisi tersebut jadi milik pembaca, bagaimana pembaca memaknai dan lain sebagainya.
“Puisi itu tempat kita mengungkapkan berbagai pengalaman puitik di keseharian kita. Misalnya jika kamu pagi hari membuka jendela, kamu merasakan sesuatu, seperti ada sejuk yang menyergap. Atau ketika kita sholat khusyuk, lalu kita merasakan sesuatu yang sangat tenang, dan ketika kita sholat lagi kita jarang merasakan suatu senyaman itu, nah itulah pengalaman puitik. Dan kita bisa mengungkapkan dengan berbagai kata puitik dengan perbendaharaan yang manis..” ungkap mbak Fitri Yani salah satu pemenang puisi terbaik Radar Literary Award tahun 2009 ini.
Dalam menuliskan puisi, ada beberapa hal yang harus kita gunakan, yakni..
1. Diksi, perkaya diksi. Ambil sudut pandang yang berbeda.
2. Metafor, gunakan ungkapan metafora yang indah, ungkapan penuh kiasan. Misalnya ‘Purnama di bawah alismu..’ dll
3. Rumah tangga kata-kata, kita bisa membuat bagan. Agar kita tak block dan kehabisan kata-kata. Misalnya kita mau ambil tema Laut kita bisa menggali apa saja yang ada di laut misal air, angin, burung, ikan, kapal nelayan, karang dll. Lalu dari cabang itu, kita rinci kembali misalnya karang. Karang, bentuknya keras, warnanya hitam, berlumut, dll. Begitu selanjutnya, maka kita tak kehabisan kata-kata dan tak ada kata blocking untuk menyelesaikan suatu puisi.
4. Ekonomi kata-kata, kita bisa menuliskan puisi yang dibuat, namun jangan lupa setelahnya kita edit, dan kita buang kata-kata yang tak perlu. Jika suatu hal bisa diungkapan dengan tiga kata saja, kenapa harus mengungkapkan dengan sepuluh kata?
5. Minimalisir kata sifat, kata sifat di minimalisir. Perbanyak kata benda.
6. Irama, sembari menulis kita bisa membayangkan bagaimana nada puisi itu di ungkapkan dengan irama yang pas.
7. Tone
Aku sendiri merupakan orang yang masih awam tentang puisi, karena genre menulisku sendiri adalah cerpen, reportase atau opini. Aku terbiasa mengungkapkan kata-kata yang lugas dan tujuanku menulis itu semua agar pembaca tahu makna apa yang aku tuliskan dan tahu pemikiran aku. Namun hal ini ternyata tidak ada di puisi. Puisi sendiri ditulis untuk melukiskan berbagai hal, dan penulis puisi sendiri menurut mbak Fitri Yani, haram untuk menjelaskan apa makna puisi yang ia tulis. karena membiarkan pembaca berspekulasi, mencari makna apapun mengenai puisi yang telah dibuat.
“Menulis puisi itu tentang ‘rasa’ bukan ‘fikiran’. Jadi menulis puisi seperti menorehkan rasa yang ada, tanpa bermaksud memaksa pembaca untuk tahu pemikiran penulis puisi itu sendiri...” ucap peraih Poetry Festival and Folks Song di Malaysia tahun 2012 ini.
“Menulis puisi tidak bisa instan bagus, butuh pembelajaran dan pendalaman. Jadi jika kamu ingin jadi penulis, terbiasalah menulis. berikan waktu minimal setengah jam saja untuk menulis, tuangkan semua. Jangan diedit dulu, malamnya kita bisa mengedit dan memperkaya ide baru..”
Setelahnya kami di uji cobakan, Mbak Fitri mempersilahkan kami membuat dulumind map. Setelah kata itu bercabang-cabang kami buat, kami diminta untuk membuat sebuah puisi dalam waktu 10 menit. Setelahnya puisi tersebut kami bacakan... lalu keseluruhan dari kami harus merevisi tulisan itu. Tanpa basa-basi mbak Fitri memberi komentar, yang langsung mengena. “Kata-katanya masih ambigu, revisi!”. “Malam gelap? Malam pasti gelap dong dek.. revisi!” ucap mbak Fitri mengomentari penggunaan kata-kata yang tidak perlu.
“Ini puisi atau makalah pertanian? Revisi!” tutur Mbak Fitri, haha itu yang dibilang makalah pertanian puisi aku, yang judulnya pohon. Aku mengeryit, ternyata aku gak ada bakat nulis puisi, hiks. Selama ini berarti puisi-puisi ku abal-abal, karena banyak menjelaskan isi pikiran di dalam puisi. Hanya ‘rasa’ saja yang harus ditorehkan, tuliskan saja ‘how to’bukan ‘showit’. Aku tak terbiasa menulis puisi, dan kudu belajar lagi :”)
Keseluruhan dari peserta mendapatkan revisi nyaris empat kali, karena waktu sudah habis. Jadi di teruskan kembali. Terakhir saat pembacaan puisi hasil revisi ke 3, Mbak Fitri mulai berkomentar manis, “Nah itu udah bagus.. Nah udah pas tu.. Nah tinggal di tambah pemanisdikit.. kata-kata terakhir gak perlu dimasukkan...” ucapnya kepada sebagian peserta. Kecuali tentang puisi aku yang direvisi, dan hanya satu bait ini. “Ha? Ada fotosintesisnya? Yauda di perbaiki lagi..” tutur mbak Fitri. Dalam hati aku tepok-tepok jidat, etdaaah, iya juga, kenapa harus ada fotosintesis? Jadi makalah pertanian beneran deh, haha.
Kelas menulis puisi kali ini benar-benar mengena, selain komentar mbak Fitri yang transparant nan menyentuh kalbu, diriku seperti di hujam ratusan rindu untuk berilmu. Dalam lebih dalam lagi, sedalam samudera, sekuat popeye. Lalu aku merasa tak perlu aku menyinggung tema tumbuhan, sehingga tak bertengger lagi rasa ku pada makalah pertanian yang nyaris ku buat puisi tak berlaku. Halah, kalimat penutup macam apa ini, puitik yang aneh, hehe.
Salam ngilmu semua! Nanti kapan-kapan, kalau aku sudah belajar banyak sama bukunya Khalil Gibran, aku posting dah puisi buatanku, yang jelas bukan tentang tumbuh-tumbuhan temanya *traumaakut* =_=