Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Model Pembiayaan Pembangunan Kebudayaan yang Ideal

8 Januari 2012   19:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:09 337 0

KEBUDAYAAN merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan dengan bangsa lain. Dalam perkembangan era globalisasi saat ini, sudah banyak pihak yang mulai melunturkan identitas negaranya sendiri. Tidak hanya secara nilai-nilai budaya yang tidak dapat di pandang kasat mata, akan tetapi secara fisik, aspek kebudayaan tidak pula menjadi salah satu aspek yang diprioritaskan pembangunannya bahkan kerapkali tidak dipentingkan. Opini ini semakin terurai jelas dengan ditemuinya fakta terkait kondisi aset budaya di daerah yang semakin memperihatinkan. Yang termasuk dalam aset budaya yakni museum, perpustakaan daerah, taman budaya dan aset budaya lainnya yang dimiliki oleh suatu daerah.

Degradasi kondisi aset budaya di daerah terkait dengan kebijakan pelaksanaan otonomi daerah.Satu temuan yang cukup memprihatinkan dari hasil penelitian Bappenas (2007) adalah banyaknya aset-aset kebudayaan yang sudah didesentralisasikan menjadi tidak terpelihara. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari tahun 2006/2007 ke 2007/2008 pada umumnya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di seluruh Indonesia mengalami kenaikan rata-rata20% . Namun kenaikan APBD tersebut berbanding terbalik dengan alokasi anggaran untuk bidang kebudayaan yang semakin menurun. Hal ini terlihat dari anggaran yang diterima museum dan taman budaya yang sebagian besar mengalami kekurangan atau bahkan ada yang tidak mendapatanggaran.

Untuk mengatasi masalah pembiayaan ini, sebenarnya pemerintah daerah bisa memanfaatkan potensi sumber-sumber pembiayaan yang ada di daerah, seperti dunia usaha dan masyarakat melalui kerjasama atau kemitraan (partnership). Program kemitraan (partnership) ini bisa menjadi alternatif terbaik bukan hanya untuk mengatasi masalah pembiayaan (dalam arti untuk menutupi kekurangan), tetapi juga untuk mendukung terwujudnya kemandirian pembiayaan pembangunan kebudayaan daerah, khususnya dalam pembiayaan aset-aset kebudayaan. Potensi partisipasi masyarakat dan dunia usaha cukup tinggi, namun belum dapat dimanfaatkan secara optimal.

Berkaca pada kondisi di luar negeri, ditemui bahwa di Kanada terdapat upaya menjalin kerjasama antara pihak museum dengan berbagai pihak, baik dunia usaha, lembaga profesi, maupun masyarakat serta pemerintah secara berkesinambungan. Berdasarkan pengalaman di berbagai negara dan potensi yang ada di Indonesia, dikembangkan model pembiayaan pembangunan kebudayaan yang bertumpu pada prinsip kemitraan (partnership principle). Model ini melibatkan empat sumber pembiayaan, yaitu: (1) Pemerintah Pusat; (2) Pemerintah Daerah; (3) dunia usaha, dan; (4) masyarakat. Secara skematis sinergi berbagai komponen dalam pembiayaan pembangunan kebudayaan, khususnya dalam pembiayaan aset-aset kebudayaan di daerah dapat digambarkan seperti di bawah ini.

Melalui kerjasama dengan berbagai institusi itu, akan dapat digali berbagai sumber pembiayaan dan akhirnya akan terwujud kemandirian pembiayaan dalam pengembangan aset-aset kebudayaan. Pola pembiayaan demikian disebut pola pembiayaan dalam jangka panjang atau budget sustainability (Iskandar, 2003).

Model Ideal Pembiayaan Pembangunan Kebudayaan

Model ideal adalah pembiayaan yang didasarkan pada pola “pembiayaan berkelanjutan” (budget sustainabilty). Dalam model ini institusi atau aset kebudayaan dapat membiayai sendiri berbagai program dan kegiatannya, baik yang bersifat operasional maupun pengembangan. Sumber-sumber biaya itu diperoleh dari jasa layanan aset kebudayaan dan hasil kemitraan, apakah kemitraan dengan dunia usaha maupun masyarakat. Dengan demikian institusi tidak bergantung pada anggaran pemerintah. Model pembiayaan ideal mengedepankan kemandirian finansial dalam pembiayaan pengembangan kebudayaan, khususnya dalam pengelolaan dan pengembangan aset-aset kebudayaan. Model ini ditemukan pada pembiayaan yang dilakukan TMII.

Semakin banyaknya stakeholder yang terlibat dalam pembiayaan pembangunan kebudayaan ini, semakin menuntut pula komunikasi dialogis yang sehat.Kesadaran akan pentingnya pemeliharaan berbagai aset budaya akan lebih efektif jika dilakukan berdasarkan kesepahaman (mutual understanding) di antara para pemangku peran, sehingga dapat disepakati peran-peran yang dapat dilakukan para stakeholders tersebut. Peningkatan dialog pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat di sekitar asset budaya berada sudah harus segera dilakukan dan ditindaklanjuti dengan kesepakatan dan aksi kongkret. Keberhasilan dialog dan pembagian peran dan tanggung jawab akan meningkatkan kesepahan tentang urgensi pembangunan kebudayaan, sehingga tidak semata-mata dipandang dalam perspektif jangka pendek sebagai cost centre.

Untuk meningkatkan efektifitas kerja sama dan kemitraan antarstakeholders dalam mengelola dan melestarikan aset budaya, dibutuhkan model yang merepresentasikan realitas obyektif pengelolaan aset budaya saat ini. Model ini disandingkan dengan pengembangan pengelolaan aset budaya di masa depan secara kongkret, realistis dan dapat diimplementasikan dengan mudah. Idealnya model pembiayaan yang dikembangkan adalah model budget suatainability. Karena itu kerjasama dan kemitraan harus banyak dilakukan oleh pengelola aset budaya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun