Di dunia global saat ini, garis geografis menjadi semakin tidak jelas. Seorang jurnalis di Jakarta dapat terhubung langsung dengan sumber di Brasil, seorang siswa di Surabaya dapat menjalin persahabatan dengan rekan-rekan di Kanada hanya dalam beberapa saat. Namun, hanya memiliki ikatan teknologi saja tidak cukup. Yang penting adalah kemampuan untuk benar-benar mendengarkan, memahami, dan menghargai berbagai sudut pandang.
Stereotip, bias, dan etnosentrisme bertindak seperti penghalang yang menjulang tinggi yang menghalangi komunikasi otentik. Benteng mental ini menghambat kemampuan kita untuk mengenali kemanusiaan bersama di balik kesenjangan. Misalnya, seorang jurnalis yang tiba di tempat baru dengan gagasan dan stereotip yang terbentuk sebelumnya akan berjuang untuk mengungkap narasi asli. Prasangka mengaburkan visi mereka, menyebabkan mereka memahami apa yang mereka harapkan daripada kenyataan. Etnosentrisme menuntun kita untuk mengevaluasi budaya lain melalui lensa kita sendiri, mengabaikan konteks dan kekhasan mereka.
Saat terlibat dengan individu dari budaya yang berbeda, ada beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan:
1. Kerendahan hati: Pendekatan dengan pemahaman bahwa pengetahuan Anda terbatas. Setiap pertemuan adalah kesempatan untuk memperluas wawasan Anda.
2. Mendengarkan secara aktif: Dengarkan bukan hanya untuk merespons tetapi untuk benar-benar memahami. Menahan diri dari interupsi, memungkinkan pembicara untuk mengartikulasikan pikiran mereka sepenuhnya.
3. Pertanyaan Terbuka: Ajukan pertanyaan yang mengundang mendongeng, bukan hanya jawaban sederhana ya atau tidak.
4. Empati Lintas Budaya: Berusahalah untuk membenamkan diri dalam kerangka budaya orang lain.
5. Kesabaran dan Keterbukaan: Memahami perbedaan membutuhkan waktu. Hindari kesimpulan tergesa-gesa.
Ketika pertama kali tiba di Yogyakarta, saya yang berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB), rasanya seperti melangkah ke alam yang berbeda dan penuh dengan keajaiban. Di NTB, komunikasi sering kali mudah, tumpul, dan agak kasar. Namun, di Jogja, fluiditas bahasa yang terkenal dan bahasa Jawa yang lembut dilapisi dengan ekspresi. Sementara dinamika sosial di NTB cukup mudah, di Jogja, setiap senyuman, isyarat, dan anggukan memiliki arti penting. Kritik disampaikan dengan cara yang halus. Perselisihan diselesaikan bukan melalui konfrontasi langsung, tetapi melalui negosiasi yang rumit. Di NTB, musik dan seni lebuh bersifat hiburan. Namun, di Jogja, seni berdenyut sebagai esensi keberadaan. Setiap sudut kota menceritakan sebuah kisah, mulai dari pertunjukan wayang dan musik gamelan hingga street art yang menghiasi tembok-tembok. Saya mulai memahami bahwa di Jogja, seni melampaui sekadar tontonan; ia berfungsi sebagai saluran komunikasi, alat untuk perlawanan, dan kanvas untuk identitas. Perjalanan dari NTB ke Jogja lebih dari sekadar perpindahan geografis. Ini adalah perjalanan budaya, perjalanan pemahaman. Setiap perbedaan adalah kesempatan untuk belajar, setiap kejutan adalah hadiah pengetahuan.
Setiap artikel, setiap laporan adalah kesempatan untuk membongkar kesenjangan budaya. Seorang jurnalis yang dilengkapi dengan kemampuan komunikasi antarbudaya yang kuat tidak hanya mendokumentasikan kejadian, tetapi juga dapat menerangi konteks, seluk-beluk, dan kemanusiaan di balik kebenaran. Komunikasi antar budaya adalah pengembaraan tanpa batas. Setiap pertemuan memberikan kesempatan untuk membongkar dinding yang merugikan, dan setiap dialog adalah jalan menuju saling pengertian.