Kali ini saya pengen berbagi pengalaman yang penting-penting nggak penting, sih. Saya mau share catatan workshop penulisan yang digawangi oleh Kompas. Dan yang paling amaze adalah pematerinya, cuy. Iya, pematerinya adalah seorang wartawan senior Kompas. Bukan tua, sih, tapi senior. I adore him, ummm... i mean saya sangat mengagumi pencapaian dan karya-karyanya. Orangnya emang nggak terlalu penting, sih, tapi seperti tagline-nya yang 'mengabarkan yang tidak penting agar yang penting tetap penting'. Tapi dibalik itu, ada motivasi dan pelajaran luar biasa dari pemilik blog http://www.kompasiana.com/wisnunugroho.
Selain sebagai senior journalist yang menginspirasi saya sebagai mantan calon junior journalist, beliau ini juga menulis buku. Pada kenal, kan, dengan Tetralogi SBY? Nah, itu Mas Inu penulisnya. Buku best seller itu bercerita tentang seputaran hal yang nggak penting dan nggak bisa 'dijual' di media massa. Seru banget, deh, bukunya. Sambil baca bisa bergumam sampe teriak 'Ohhh... Lord, nggak nyangka, ya...' atau 'Oh, jadi gitu', kadang juga 'Oooh.. iya juga, ya'. Asssiiikkkk... dapet royalti nih.
Menulis di blog adalah salah satu cara saya untuk selalu belajar. Meski saya nggak bisa lagi meliput dan membuat reportase dalam bentuk hardnews atau feature di media massa, tapi setidaknya saya masih bisa berbagi melalui blog. Dan saya sadar someday saya bakal butuh publikasi tulisan populer. Untuk itu saya harus selalu belajar. Ah, kebanyakan curhat!
Nah, meskipun 'hanya' menulis di blog, tapi kita nggak boleh menyepelekan prinsip-prinsip jurnalisme. Sebenernya teori-teori yang saya dapatkan dari workshop beberapa hari lalu udah beberapa kali saya dapatkan dari sekolah jurnalistik dan semacamnya. Tapi pengalaman dan contoh-contoh yang dipresentasikan oleh Mas Inu itu beda. Setidaknya penyampaiannya dengan bahasa dan teknik yang menyenangkan bisa memotivasi saya untuk lebih giat berlatih lagi dan harus MENGHASILKAN SESUATU dari tulisan saya. Apapun itu, kepuasan, membantu orang lain dalam mengetengahkan informasi, dan lain sebagainya. Saya juga masih mempunyai target untuk menulis buku solo setelah dua buku antologi yang dirilis akhir Desember lalu. Lah, kok curhat lagi!
Sikap jurnalis yang paling wajib hukumnya adalah skeptis. Iya, selalu curiga. Bisa jadi ini bermakna negatif, tapi penulis yang baik pasti bisa mengambil sisi positifnya. Misalnya, ketika Mas Inu ditugaskan pada desk liputan di Istana Negara, dia menemukan banyak hal yang sebenarnya nggak layak muat di media massa semacam koran dan berita tivi. Salah satu contohnya, ketika seorang perempuan menteri sedang menggelar jumpa pers, dia tiba-tiba menjatuhkan syalnya di atas tas yang ditaruh di bawahnya. Ini bukan inti dari isu yang dibahas pada jumpa pres, tapi menjadi hal menarik bagi seorang Mas Inu.
Setelah muncul kecurigaan, harus dilakukan verifikasi. Hal ini untuk menghindari justifikasi palsu, atau beredarnya berita-berita hoax yang makin marak seiring merebaknya menggunaan gadget. mas Inu terus mengamati tas yang tertutup syal itu tanpa mengalihkan fokusnya pada materi utama jumpa pers. Begitu acara selesai, Sang Menteri meninggalkan kursinya tanpa membawa tas. Ya, tasnya dibiarkan begitu saja. Tapi kemudian 'sialnya', Ibu Menteri mempunyai ajudan yang sangat baik hati. Dia membawakan tas tersebut sehingga Mas Inu bisa sedikit melihat rupa tas yang tadi ditutupi dengan jelas.
Ternyata tas itu bercorak pelangi dengan background warna putih. Mas Inu juga berhasil melihat merknya. Ternyata tas itu adalah tas dari Perancis. Mas Inu dan seluruh dunia nyata tau bahwa tas itu harganya konon sangat mahal. Maka dia segera menelusuri kebenaran informasi harga tas tersebut. Buat apa coba? Nggak penting banget, kan?
Akhirnya dia berkelana hingga Grand Indonesia untuk mendatangi geraiLV. Dan dia mendapatkan informasi harga tas yang fantastis. Rp. 47.000.000 untuk sebuah tas jinjing wanita di tengah merebaknya aspirasi para pejabat tentang gaji yang tak pernah cukup. Kalo gaji mereka nggak cukup, kenapa bisa kebeli tas macam itu? Kalo saya dikasih tas itu saya jual dua puluh juta juga udah kegirangan! Mas Inu membuat sebuah ulasan tentang gaji para menteri VS tuntutan gaya hidup mereka. dan itu jadi headline, sodara-sodara!!!
See,ide menulis bisa datang tanpa diduga. Untuk itu Mas Inu menyarankan untuk selalu membawa kamera dan notes agar bisa mengabadikan apa-apa yang sekiranya menarik untuk dibahas menurut kita. Dengan mengamalkan prinsip-prinsip jurnalisme, nggak bakalan ada deh blogger co-pas dan berita-berita hoax.
Mas Inu juga menyarankan agar para penulis konsisten pada suatu hal. Ini juga sangat penting menurut saya. Kekhasan bisa jadi brand untuk seorang blogger. Misalnya, kalo pengen cari info kuliner ... langsung jadi keingetan sama si anu, kalo mau cari review jalan-jalan, bisa langsung keinget si itu. Nah, dengan begitu kita bisa aja konsisten menulis dan menghasilkan buku dalam waktu setidaknya tiga bulan. WOW!!! Nah, saya juga sudah mulai branding meski masih suka galau. Blog ini akan menjadi tempat saya curhat tentang gaya hidup pergi hijau (baca: go green lifestyle).
Terakhir Mas Inu membagikan tips menulis di media massa, nih.
1. Kemampuan manusia dalam membaca menurun setelah >500 kata. Maka jumlah kata ideal adalah 300-500 kata. Jadi inget, saya pernah bikin kontes blog dengan minimal kata 700. Duh, jadi malu. Haha... tapi saya juga bukan tanpa alasan, tulisan-tulisan peserta kontes itu pengen saya abadikan dalam bentuk buku, jadi saya takut tulisannya jadi kurang 'ngena' setelah dilakukan killing my darling.