Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Jarik Sedap Malamnya Simbok

5 Juli 2011   15:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:54 344 1
"Katanya kamu pulang malam Zul...kok jam segini sudah masuk rumah"  tanya Mbok Jaenah pada Zulkifli anaknya

"Iya Mbok...perasaanku ngga enak jadi pingin cepet pulang..." jawab Zul sambil memandangi wajah Simboknya

"Ah..kamu ngga enak kenapa toh..wong ndak ada apa-apa kok, rumah itu sepi Zul..langganan batik juga sudah ambil pesenananya semua kemarin, jadi sepi banget hari ini, ngga ada yang mampir.."

"Ya..aku ndak tahu Mbok kenapa perasaanku begitu.." Zul menjawab sambil memperhatikan gerakan tangan Simboknya mengukir kain menjadi sebuah karya batik yang indah.

"Mbok...yang digambar itu gambar bunga sedap malam ya Mbok...??" tanya Zul sedikit terpaku, entah kenapa lukisan batik Simbok kali ini terasa berbeda dengan batik biasanya.

Mbok Jaenah mengangguk sembari terus mengoreskan canthingnya melanjutkan membatik, dengan penuh perasaan. Zulkifli pun tak bergeming menatap terus jari jemari Simbok yang makin keriput. Tak terasa usia Simbok sudah lewat dari 70 tahun, walau tidak pernah sakit berat, paling hanya flu atau masuk angin sedikit, bahkan masih kuat pergi sendiri  untuk menengok cucu-cucunya di Palembang, tapi untuk pergi haji sendirian Zul yang paling menentang .

Tiba-tiba Zul teringat ketika dia harus bersitengang dengan Marta, kakak iparnya yang sempat dia tuding sebagai perempuan yang tega hati, karena Marta justru mendukung permintaan Simbok untuk berangkat haji dengan Pak Warijan dan Bu Warijan tetangga mereka, tanpa dampingan dari keluarga sendiri.

"Apa ...buktinya aku tega sama Simbokmu itu..ndak ada ...Pak Warijan dan Bu Warijan itu tiap hari juga kau titipi Simbokmu, apalagi kalau Kau keluar kota. Nah..sekarang apa bedanya..toh sudah aku jelaskan tadi, bahwa Simbok pasti kita daftarkan sama-sama  dengan Bapak dan Bu Warijan di ONH plus...dengar Zul itu...ONH plus...bukan haji biasa...lagipula nanti aku juga bisa titip juga ke temen aku,  orang Kementrian Kesehatan yang kebetulan kawal haji ini...hah..kau ini ngata-ngatain nuduh kakakmu saja..." omel Marta tak berkesudahan karena kesal Zul sempat menudingnya.

"Apapun argumentasi Kakak, mohon maaf saya tetap tidak ijinkan Simbok untuk berangkat tanpa didampingi keluarga sendiri, terserah apa kata Kakak, karena Simbok adalah Ibu saya dan saya wajib menjaga keselamatannya.." kali ini Zul pergi dari ruang keluarga tanpa menoleh sedikitpun, tanpa melihat wajah Simbok yang susah karena anak-anaknya saling bersitegang untuk kepentingannya. Heri suami Marta yang juga kakak kandung Zul tak mampu berkata-kata, biar bagaimanapun yang membiayai Simbok memang Marta, gaji Heri tak akan mampu menaikkan haji Simbok. Profesi Marta sebagai seorang notaris yang laris manis, memang telah menjadikan hidup Heri tertopang sepenuhnya. Heri menuruni sifat Simbok Jaenah yang nrimo, juga bakat melukis, sehingga seniman lukis memang menjadi pilihan Heri, namun sejak krisis tahun 1999 kondisi Heri belum pulih benar. Lukisannya banyak yang tak laku terjual, walaupun sudah masuk ke beberapa galery di Jakarta.  "Mungkin memang belum rejekinya", inilah kalimat yang selalu disampaikan Heri kepada anak-anak mereka, ketika anak-anak menanyakan "kenapa lukisan ayah tak laku-laku ?". Yang menjadi semangat hidup bagi Heri adalah mengajar lukis anak-anak, sebagai guru lukis dia merasakan dirinya sangat dihargai, walau hanya oleh anak-anak TK.

Perseteruan Zul dan Marta pun  tak berlangsung lama, karena kemudian seperti durian runtuh, Heri tiba-tiba mendapatkan tawaran sangat tinggi atas sebuah lukisannya. Lukisan Bunga Sedap Malam yang sedang mekar, mampu menyelamatkan kerukunan keluarga besar Mbok Jaenah, bahkan menyelamatkan harga diri Heri selaku kepala keluarga. Akhirnya Heri memutuskan akan mengantar Simbok pergi haji, dan semua sepakat tanpa terkecuali. Marta yang sudah lebih dulu menunaikan haji tampak lega dengan limpahan rahmat Allah kali ini, akhirnya suaminya pun berangkat haji. Betapa sulit ia membujuk Heri untuk ikut dirinya menunaikan haji 3 tahun yang lalu, mungkin karena Heri tak mau menerima hasil keringat istrinya sebanyak itu, walau Marta sangat ikhlas untuk itu.

"Zul...masih ingat lukisan kakakmu Zul..." tiba-tiba Mbok Jaenah mengusik lamunan Zul.

Terperangah Zul menjawabnya "Hah..eh...iya masih Mbok..masih...lukisan bunga sedap malam yang mekar itu khan ?"

"Lha iya..masak lukisan kambing..." jawab Simbok sambil tersenyum geli, dan menghentikan menorehkan malam di kain yang sedang dibatik. "Simbok pengen kain ini selesai sebelum Simbok berangkat haji, karena akan simbok pakai disana" tutur Simbok

"Lhah Mbok..disana khan ndak boleh pake kebaya Mbok..." sahut Zul

Simbok masih senyum-senyum sambil menjawab "mau tak pake buat kemul (Jawa = selimut)"

"Lhah Mbok..di Arab pas Simbok berangkat itu musim dingin lho....apa bisa hangat kalau cuma kemulan (Jawa= berselimut) jarik (Jawa=kain batik) yang tipis?" Zul makin ngga ngerti logika Simboknya.

"Wis lah Zul..nanti kalau semua sudah selesai khan ngga ngerasain dingin lagi.., kalau sudah tuntas hajinya khan rasanya pasti plong...lagipula biar aku ketauan dari Indonesia jadi kemulan jarik.." jawaban Mbok Jaenah makin tak dipahami Zul, makin aneh rasanya.

Mbok Jaenah tetap melanjutkan bicaranya "bunga sedap malam itu filosofi hidup...bahwa semua itu cuma numpang, kalau cantik, gagah, ganteng, kaya, berpangkat, gemerlap... itu cuma sebentar..yang langgeng itu ketiadaan setelah layu dan rontok...Jadi hidup itu jangan mentang-mentang, karena semua akan merasakan saat-saat tak berdaya dan menjadi tak ada. Walaupun orang kaya, berkuasa dan cakep kalau sudah sakaratul maut khan pasti seperti bunga yang layu, ngga bisa apa-apa ..ya ndak.?"

Zul pun manggut-manggut sambil mengelus-elus perutnya dan cengar-cengir.

"Oalah...anak Simbok laper ya ?" langsung Mbok Jaenah tanggap dan berdiri , Zul pun mengangguk sambil mengandeng Simbok ke pawon (Jawa = dapur) untuk menikmati singkong rebus yang masih berada di dandang dan seperti biasa menjadi hidangan wajib sore hari di rumah Mbok Jaenah.

"Mbok besok kalau naik haji bawa singkong rebus ndak Mbok?" goda Zul

"Lah yo ngga ..nanti bisa kena denda, singkong khan berat..bisa kena operbet..ah..operbeit..halah...apa Zul ???"

"Over weight.." sahut Zul tertawa geli

"lhah ya itu..." Mbok Jaenah menunjuk mulut Zul sambil juga menertawakan dirinya.

Derai tawa berdua inilah yang selalu dirindukan Zul, rasa takut kehilangan senda gurau ini kadang menyelimuti sanubarinya. Dirangkulnya Simbok sambil  menikmati  singkong rebus, berdua duduk di kursi kayu panjang, di pawon kuno ndeso yang hanya berlantai tanah.

Tiga bulan berlalu, Simbok dan Mas Heri sudah berangkat haji. Pagi  itu Zul tengah sibuk merawat tanaman mawar dan anggrek kesayangan Simbok. Zul kembali melamun mengingat pesan Simbok untuk segera menikah, dan tak perlu mengingat-ingat Lani kekasihnya sejak SMA, yang nekat ia pacari selama 6 tahun walau berbeda agama.

"Le (Jawa = Nak laki-laki) ...jangan kamu ingat-ingat Lani lagi...yang sudah ya sudah..toh Lani sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, jodoh itu Gusti Allah yang ngatur Le..kita itu cuma ikhtiar dan nrimo dengan ikhlas...Memang tidak ada gadis persis seperti Lani lagi, tapi semua itu adalah yang terbaik untuk kamu dan Lani Le...percayalah sama Simbok, carilah lagi pendamping yang seiman ya Le..." pesan Mbok Jaenah semalam sebelum berangkat ke asrama haji. Waktu itu Zul tak mampu menjawab apa-apa, dia hanya mengangguk saja.

Tiba-tiba lamunannya terhentak dengan bunyi handphone di sakunya, dengan gelagapan dan hati  girang ketika dilihat nama penelpon, Zul pun buru-buru merespon bunyi dering itu, "Halo, Assalamualaikum...apa kabar Mas Heri..Simbok piye kabare ??"

Heri tak mampu menjawab respon cepat adiknya dia hanya mampu mengatakan "Innalillahi wa inna lillahi rojiun..."

"Masya Allah..Mas...Mas...yang bener Mas..., Mas Heri..Simbok Mas..Mas...Ya Allah....." teriak Zul sangat panik, persendiannya lemas, ia terduduk lunglai di atas rerumputan yang masih dibasahi embun.

Rupanya Heri lebih mampu menceritakan kronologis meninggalnya Simbok kepada Marta, selain ia malu jika ia cengeng di depan istrinya, dia juga tahu betapa Zul menjadi orang yang paling kehilangan karena dia yang selama ini sangat..sangat ..sayang dan perhatian pada Simbok. Bagi Zul Simbok adalah segala-galanya, siapapun akan dilawan demi Simbok. Marta lah yang memberitahu lewat interlokal pagi itu, kepada tetangga-tetangga di rumah Simbok di Semarang, untuk segera menemani Zul, dan membantu mempersiapkan tahlilan mendoakan Simbok selama 7 hari berturut-turut. Sorenya, Marta dan anak-anaknya sudah nampak di rumah duka, ia yang sibuk mengarahkan para tetangga mempersiapkan keperluan tahlilan malam harinya.

"Sudah Zul..ikhlaskan Simbok, itu sudah niat Simbok. Aku minta maaf ya..dulu sempat punya pemikiran Simbok tidak apa-apa berangkat haji sendiri. Untung lukisan Mas Heri ada yang laku, jadi Mas Heri bisa temani Simbok. Kalau semua menuruti kata-kataku, aku pasti jadi orang yang paling merasa berdosa saat ini, maafkan aku ya Zul..." tutur Marta sesaat sebelum tahlilan dimulai. Zulkifli pun mengangguk gontai.

"Oiya Zul..kemarin Simbok itu meninggalnya pas terpisah dengan Mas Heri, jadi pas selesai sholat dhuhur  sebelum Simbok dan Mas Heri menuju Jeddah untuk pulang ke Indonesia. Alhamdulillah Simbok sudah tuntaskan semuanya, Insya Allah Simbok khusnul chotimah Zul..." Sekali lagi Zul cuma mengangguk, nampak matanya tak lagi bening, ada selaput airmata yang menggelanyut dan hampir menetes.

" Untung sewaktu terpisah itu Simbok selimutan jarik yang dibatik sendiri itu Zul, yang dipamerin ke kita sebelum berangkat, yang dikasih nama Jarik Sedap Malam..., nah..karena Simbok pake jarik itu jadi Mas Heri gampang temukan Simbok,..Simbok itu meninggalnya masih di atas sajadah tempat Simbok sholat Zul...dengan pakai selimut itu, persis seperti orang yang sedang tidur dan selimutan jarik, di atas sajadah merah yang Kau belikan itu..." Kali ini Marta yang langsung sesegukan...tak kuasa airmatanya langsung tumpah, Zul pun tercekat tak mampu menanggapi dengan kata-kata.

"Assalamualaikum..." suara Bapak-bapak dan Ibu-Ibu yang siap melakukan tahlil menghentikan kenangan indah mereka tentang Simbok, dan mengembalikan kesadaran mereka untuk kembali bergerak, dan tidak menjadi larut dalam kedukaan, seperti yang Simbok katakan, bahwa semua akan mengalami nasib yang sama...yaitu mekar, layu lalu mati.....seperti Bunga Sedap Malam yang hanya sempat mekar, harum, cantik, dan indah semalam.....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun