"Diminum dulu kopinya, den bagus. Pagi-pagi kok sudah cemberut?"
"Yang lain, aku lagi ndak kepingin kopi."
"Ya sudah, biar saya ganti minumannya. Wat, sini nduk ayu, temeni kakangmu ini."
Yang dipanggil langsung menunduk sambil berjalan mendekat. Tarjo mengangkat salah satu kakinya ke atas bangku kayu. Kesal di dadanya mengingat penolakan Sumini belum juga hilang.
"Mau dipijit, kang?" tanya perempuan yang dipanggil Wat tadi.
Tarjo diam tapi tak menolak ketika perlahan tangan perempuan muda itu memijit pundaknya. Perempuan setengah baya yang tadi menemani Tarjo datang sambil membawa minuman dalam cawan.
"Mana Parno?" tanya Tarjo padanya.
"Masih ke belakang. Ini diminum dulu."
Tarjo menerima cawan minuman yang diberikan padanya lalu langsung meneguk isinya hingga habis. Air menetes dari kedua sisi bibirnya. Perempuan di depannya tersenyum manis. Perempuan yang tak lain adalah Parti, pemilik warung itu masih tegak berdiri di tempatnya. Menghadapi laki-laki seperti Tarjo sudah biasa baginya.
"Wat, mbok kangmasmu diajak masuk ke dalem, biar enak mijitnya," kata Parti.
Yang diajak bicara langsung tanggap.
"Ayo kang ke dalam saja, sambil tiduran biar cepet ilang pegelnya."
Seperti kerbau dicocok hidungnya Tarjo ikut saja ketika Wati menarik lengannya, mengajaknya masuk ke salah satu kamar yang ada di warung. Pandangan Parti mengikuti langkah mereka berdua, masih dengan senyum merekah di bibir.
"Mana den Tarjo?"
Seorang laki-laki tua tiba-tiba saja muncul sambil tergopoh-gopoh.
"Hush, jangan keras-keras. Itu," kata Parti sambil menunjuk ke tirai pintu.
"Hehehe..."
Laki-laki yang ternyata Parno itu terkekeh, memperlihatkan barisan giginya yang nyaris hitam semua.
"Kamu dari mana tho kang? Untung masih bisa dirayu, lha kalau ndak lak bisa bahaya."
"Aku yo mumet ini Ti. Den Tarjo itu lak sedang gandrung sama Sumini, lha anaknya ndak mau. Wes jan, pusing aku."
"Oalah, pantas saja mukanya kayak gitu. Wong lanang yen wes duwe karep yo kaya ngono kuwi," kata Parti.
"Ndak semua. Buktinya aku ndak tho, sik setia karo kowe."
"Halah, sampeyan ki yo podho wae, tunggale."
Lagi-lagi Parno terkekeh. Dicubit pipi Parti. Gemas. Meski sudah tidak muda tapi sisa kecantikan Parti masih terlihat jelas. Tidak ada yang tahu dari mana sebenarnya Parti berasal. Lima belas tahun yang lalu dia datang ke dusun ini. Waktu itu dia datang bersama laki-laki tua yang disebutnya paman. Bersama laki-laki yang meninggal lima tahun lalu itu Parti mendirikan sebuah warung di pinggiran dusun.
"Pijet," kata Parno manja.
Parti mencubit pinggang Parno, membuat laki-laki itu terkekeh menahan geli. Dibiarkan tangan Parno yang mulai melingkar di pinggangnya, membimbingnya masuk ke kamar.
Di lain tempat, Ratih duduk di teras sambil sesekali mengelus-elus perutnya yang besar dengan tangan kirinya. Tangan kanannya tampak memegang selembar kain.
"Nak ayu, ayo masuk. Makan dulu."
"Sebentar," jawab Ratih.
"Masih pagi, ndak baik melamun. Ayo makan dulu, kasihan bayimu."
Dengan enggan Ratih berdiri. Kalau sudah bawa-bawa bayi mau tidak mau dia harus menurut. Dia tidak ingin terjadi apa-apa dengan bayinya.