Tinjauan kritis dari laporan para jurnalis menyebut APP sudah berkecimpung dalam upaya reforestasi, menekan efek rumah kaca dan merangkul komunitas jauh sebelum Greenpeace membujuk dan akhirnya menekan perusahaan kertas tersebut. Tapi sekarang kondisinya sudah berbeda. APP bekerja sama dengan Greenpeace untuk mempromosikan perusahaannya sudah peduli lingkungan dan ini tampaknya lebih menguntungkan NGO lingkungan tersebut secara keuangan ketimbang pemegang saham Golden Agri Resources (GAR), perusahaan sawit yang sama seperti APP berada di bawah bendera Sinar Mas Group. Saham GAR pada 8 Mei 2014 ditutup melemah 0,83 point di Bursa Efek Singapura dan performa keuangan perusahaan ini selama tiga tahun berturut-turut melemah.
Bicara pertumbuhan hijau, World Economic Forum menggambarkan kondisi dunia saat ini adalah dunia yang menghadapi masalah serius berupa krisis pangan dan air, volatilitas harga komoditas dan energi, peningkatan emisi gas rumah kaca, kesenjangan pendapatan, ketidakseimbangan fiskal kronis dan terorisme. Masalah ketidakseimbangan fiskal kronis dialami oleh sebagian besar negara maju, sedangkan masalah serius lainnya sangat rentan dialami oleh negara berkembang, salah satunya Indonesia.
Amerika Serikat (AS) sendiri meyakini bahwa isu lingkungan adalah ancaman pada keamanan nasional AS. Pesan ini disampaikan oleh Hillary Clinton dan aktor Star Wars, Harrison Ford yang aktif di Conservation International. Sementara Conservation International diketahuimerupakan organisasi AS yang salah satu fungsinya adalah menjaga keamanan kepentingan nasional, UNDP merilis data negara-negara penyumbang emisi karbon tertinggi adalah AS, Rusia, China, India, Inggris dan negara G-20 lainnya. Sedangkan Indonesia berada di peringkat 12.
Keprihatinan terhadap lingkungan memicu kemunculan konsep terkini yang disebut pertumbuhan hijau yang menekankan pada kemajuan ekonomi yang ramah lingkungan dalam rangka mendorong pengurangan emisi dan pembangunan inklusif secara sosial. Dalam praktiknya, kebijakan maupun program dari pihak pemerintah dan sektor swasta yang berkiblat pada pertumbuhan hijau akan membutuhkan banyak pembiayaan seperti biaya operasional dan biaya investasi yang cukup tinggi.
German, negara sumber pendana terbesar bagi Greenpeace, sudah membuktikan besarnya biaya yang mereka keluarkan untuk menjalani konsep pertumbuhan hijau. Dan, seperti kita ketahui bersama, biaya itu pada akhirnya dibebankan kepada konsumen. Seiring meningkatnya harga yang harus dibayar oleh konsumen, tentu akan mengancam daya saing sebuah perusahaan. Dalam konteks ini adalah APP. Satu hal yang tidak pernah menjadi topik diskusi serius oleh kelompok hijau adalah efektivitas biaya. Biaya hijau yang merambat ke Asia bisa menjadi beban oleh sebagian negara-negara berkembang. Belum lagi menyebut pasar saham yang tidak mendukung model pertumbuhan hijau.
Meski berat, sektor swasta tetap berkeras melakukan upaya pertumbuhan hijau. Sebagai contoh APP yang sejak Februari 2013 merilis kebijakan mengakhiri pembukaan hutan (clearing) alam dan berlaku pada segenap elemen supply chain-nya di Indonesia sebagai upaya menyelaraskan diri dengan Forest Conservation Policy APP. Gebrakan selanjutnya dari salah satu angsa emas Sinar Mas Group ini adalah komitmen untuk memulihkan dan melindungi satu juta hektar hutan alam dan ekosistem lainnya di Sumatera dan Kalimantan. APP mengonfirmasi bahwa untuk program konservasi ini sudah pasti akan menelan biaya jutaan dollar Amerika Serikat. Biaya itu memakan dana pemegang maupun penanam modal.
Tapi, apakah secara keuangan, perusahaan ini sanggup memenuhi ambisinya tersebut? Laporan IDX memuat laporan keuangan salah satu anak perusahaan APP, PT Indah Kiat Pulp & Paper, per 30 September 2013. Laporan tersebut memuat penjualan bersih konsolidasian Perseroan pada 2012 sebesar US$2.518,1 juta atau turun sebesar 1,6% dibandingkan penjualan tahun sebelumnya sebesar US$2.559,9 juta. Laba usaha konsolidasian Perseroan juga melemah 11,3% pada 2012 sebesar US$69,6 juta dibandingkan dengan laba usaha tahun sebelumnya sebesar US$78,5 juta. Ini seperti permainan judi dan berisiko tinggi yang tidak cocok dengan kondisi keuangan.
Bukan APP saja yang kehilangan uang, pemerintah Indonesia juga mengalaminya. Greenpeace secara terbuka mengumumkan akibat kampanye-kampenye mereka, APP kehilangan 75% sahamnya di AS. Pengumuman ini cukup membuat Pemerintah geram. Sejak kejadian itu, Pemerintah setahun lalu mengakui APP dan kompetitornya, APRIL, adalah aset ekonomi nasional yang penting. Harapan terbersit, pengakuan itu akan ditindaklanjuti dengan upaya serius dari pemerintahan baru yang akan datang.
Lain lagi dengan Golden Agri Resources (GAR) yang memiliki program pendukung pertumbuhan hijau yang berbeda. Franky Widjaja, CEO GAR, mencontohkan perusahaannya memberikan pengetahuan penanaman kembali sebagai good agricultural practise kepada petani-petani lokal untuk mencegah terjadinya pembukaan hutan. GAR juga memberikan bantuan dana kepada mereka demi peningkatan income dan produktvitas. “Sistem ini mendatangkan triple benefits, yaitu petani lokal mendapatkan pekerjaan dan penghasilan, para pengusaha tidak perlu membuka hutan lagi, dan hutan pun terselamatkan.”
Sejauh ini, sebenarnya, tidak ada data ekonomi yang bisa menunjukkan model ekonomi hijau yang didengungkan oleh Greenpeace mampu memberikan benefit lebih pada pemegang saham perusahaan-perusahaan Asia. Kontras dengan cita-cita pertumbuhan hijau, sebuah lembaga asal Inggris Forest Peoples Programme melaporkan warga lokal Kalimantan mengeluhkan kelakuan Greenpeace yang mengatur petani lokal mengenai apa yang diproduksi.
Dengan biaya tambahan untuk mendanai beragam program berbasis lingkungan dan sosial akibat tekanan permintaan pasar dari negara-negara barat -yang belum terbukti benarkah pasar negara barat menginginkannya, tapi inilah yang menjadi dasar kampanye hitam aktivis lingkungan-, tidak akan memengaruhi sektor swasta seperti APP dari aspek bisnis. Pengamat menyebut, kontrak antara APP dan Staples tidaklah menguntungkan. APP menyanggupi kontrak itu hanya agar bisa kembali ke ring permainan, sebab perusahaan suplier asal AS itu memiliki kebijakan hijau untuk memperoleh harga tawar serendah mungkin.
Menutup opini ini, muncul pertanyaan dari salah satu peserta Forest Asia Summit 2014 yang juga perwakilan Asosiasi Furnitur Jawa Tengah, "Apa yang keluarga saya akan makan?" Pertanyaan itu muncul setelah Forest Trust Fund (kontraktor APP) bicara soal keberlanjutan di depan forum. Sayangnya, pertanyaan itu diabaikan oleh moderator.