Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Awet Muda

30 Maret 2010   05:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:06 147 0
Menjadi Awet Muda sepertinya adalah dambaan setiap orang. Dari mulai konsumsi kosmetik yang katanya bisa mencegah segala macam kerut yang dianggap sebagai ciri penampilan "tua" sampai masalah konsumsi,kesehatan bahkan gaya hidup yang diutak-atik, ikut di tuding sebagai pihak yang bertanggung jawab pada masalah satu ini. awet muda secara fisik, tentunya. Karena toh memang diakui atau tidak ternyata kebanyakan orang menilai segala sesuatu pada "enam detik pada pandangan pertama". Begitulah yang saya pernah dapatkan dalam sebuah seminar internasional tentang marketing. Walaupun saya tidak begitu setuju sepenuhnya, karena saya meyakini semboyan yang kalau di bahasa indonesiakan berbunyi "jangan menilai isi buku hanya dari sampulnya", tetapi harus diakui memang itulah kenyataannya. Tentu saja tidak semua orang berpendapat begitu.

Dalam dunia yang sangat memuja penampilan ini, akhirnya masalah fisik dan segala macam atributnya menjadi perhatian utama. Tak peduli berapa banyak rupiah yang di habiskan untuk urusan penampilan ini, yang penting oke. Yang penting gengsi. Yang penting keren. "Biar gak malu-maluin gitu lho booo..." begitu komentar salah satu teman saya soal penampilan yang aduhai. Untuk urusan awet muda apalagi. semua orang ingin muda, dan terus muda. Forever young, I want to be forever young....

Tapi apakah menjadi muda dan terus kelihatan muda itu berarti habis perkara? menyelesaikan sebagian besar masalah penampilan, mungkin saja. Tapi apakah hanya berhenti di situ saja? Rasanya tidak. karena dunia ini didirikan atas dasar sebab akibat. karena Yang Maha Kuasa senantiasa memberi konsekuensi atas apapun sikap dan tindakan manusia, dan bahkan atas karunia yang di berikan pada hambaNya. Tetap ada konsekuensinya.

Nah untuk urusan awet muda ini, mungkin saya adalah salah satu makhluk ciptaanNya yang di beri usia fisik yang "terlambat". Akibatnya penampilan saya sekarang di usia 34 tahun dengan saya ketika berusia 23 tahun tidak banyak berbeda. Setidaknya di foto. Padahal saya "normal-normal" saja. Dengan tinggi badan 158-160 cm (tergantung meterannya) dan berat 50 kg tidak ada kesan "mungil" sedikitpun dalam diri saya yang membuat saya jadi kelihatan "masih kecil".  masalah konsumsi dan gaya hidup saya juga bukan termasuk "juara", karena saya kurang menyukai sayur dan buah. Bahkan saya berkacamata. Tetapi itulah nyatanya. Di usia kepala tiga kulit saya memilih untuk tidak berkerut. Mata juga tidak berkantung ataupun ada lingkaran gelap di sekelilingnya.

Semula saya tidak begitu memperhatikan keadaan fisik saya, karena pada dasarnya saya juga termasuk orang yang malas untuk urusan fisik. Sampai suatu hari, ketika saya mendaftarkan putri pertama saya mengikuti kursus biola, bagian pendaftarannya bertanya, "mana mamanya, kok sama tante saja." saya jawab spontan, "saya mamanya." orang itu kelihatan terkejut, "wah maaf ya bu, saya kira ibu tantenya." waktu itu usia anak saya 7 tahun, dan saya 31 tahun. Belakangan saya tahu kalau akhirnya saya di sangka nikah muda, umur 17 sudah menikah. Sehingga masih "muda" anaknya sudah gedhe. Ketika saya jelaskan kalau saya sudah berusia 31 tahun, tak satupun yang percaya. Sebagian yang percaya menolak memanggil saya "Bu" karena dianggap "belum pantas". Jadilah akhirnya di ruang tunggu ibu-ibu di kursus biola itu saya di panggil "Mbak" atau "Teteh". saya sih terserah saja, yang penting panggilan itu baik.

Yang lebih lucu lagi ketika jalan sama suami. Karena beliau di tugaskan di kantor baru, teman-teman sekantornya belum ada yang pernah bertemu saya. Suatu hari suami mengajak saya jalan berdua di sebuah mall sekalian ada janji dengan sebagian teman-teman sekantornya. Begitu melihat saya bareng suami dari jauh salah satu temannya sudah berteriak "Hayo si bapak nih jalan sama siapa, nanti saya bilangin ibu lho pak." suami saya senyum-senyum sambil menjawab, "bilangin aja, siapa takut." Setelah bincang-bincang sana-sini, tahulah mereka bahwa saya istrinya. Salah satu diantaranya memberanikan diri bertanya "istri keberapa?" saya jawab, "istri pertama. memang bapak punya berapa istri?" saya balik bertanya. "Ah enggak Mbak, eh Bu," jawab mereka salah tingkah. Lewat waktu kemudian saya tahu, ternyata suami dikira menikahi anak gadis yang baru lulus SMA, jadi jarak usianya jauh di bawah suami. Itulah juga sebabnya saya di kira bukan istri pertama. saya katakan pada mereka kalau saya dan suami beda 5 tahun saja, dan saya menikah dengannya setelah lulus S1, barulah mereka manggut-manggut mengerti. Padahal penampilan suami ya biasa saja, umum untuk ukuran pria seusianya.

"Masalah" tidak hanya berhenti di situ. Ketika si kecil mengikuti lomba antar sekolah dan menjadi juara, pihak panitia mencari "orang tua murid atau wali" untuk di mintai tanda tangan guna keperluan piagam. Ketika saya maju, pihak panitia menggerutu pelan ke telinga temannya, tetapi masih sempat saya dengar "harusnya orangtuanya yang tanda tangan, bukan orang lain." temannya balik bertanya, "memangnya itu siapanya?" "nggak tahu, katanya sih orang tuanya. Tapi kayaknya sih bukan." Saya yang semula hendak tanda tangan mengurungkan niat dan mendatangi pihak panitia kembali. Seingat saya tadi sudah saya jelaskan kalau sayalah ibunya, tapi ternyata tetap jadi "masalah". Sedih rasanya di ragukan status "ke-ibu-an" saya, walau saya mungkin memang tidak kelihatan keibuan.

Di komunitas biola yang saya ikuti, para anggota yang masih kuliah dan SMA memilih memanggil saya "Mbak" dan "Teteh". Sebelum saya dikenali sebagai seorang istri dan ibu dua orang anak, ada beberapa anggota yang benar-benar menganggap saya seusia mereka yang masih kuliah. Sering saya di tanya kuliah dimana. Karena kebetulan saat itu saya mendapat beasiswa di salah satu Universitas swasta dan tentunya juga berstatus mahasiswi, maka pertanyaan mereka saya jawab apa adanya. Belakangan mereka terkejut setengah mati ketika tahu bahwa saya sudah "tua", sudah punya anak yang menginjak ABG pula! Dasar sudah terlanjur, mereka tetap tidak mengubah panggilan Mbak dan Teteh untuk saya. Hanya sikapnya menjadi sedikit lebih sopan ketika berhadapan dengan saya. Lebih menghargai.

Menjadi awet muda dan kelihatan lebih muda dari usianya tidak selalu menyenangkan. Pernah saya di pelototi tetangga baru karena dianggap istri simpanan. Sering diragukan sebagai ibu, juga di ragukan ketika memberi informasi kesehatan di kalangan ibu-ibu karena dianggap "masih hijau dan sama sekali tidak berpengalaman". Padahal S1 saya jurusan kesehatan. Kalau berkumpul bersama ibu-ibu yang baru di kenal biasanya saya cuma di perankan jadi "pupuk bawang" alias tidak dianggap "sama". Pernah juga tanpa konfirmasi sedikitpun seorang ibu mencap saya "kegatelan" karena "sudah berani kawin usia muda". dan menasihati saya panjang lebar soal pentingnya sekolah walaupun "hanya" seorang perempuan dan bekerja, juga mandiri. Saya tahu maksudnya baik, dan ibu itu tidak tahu berapa usia saya sesungguhnya tetapi nun di dalam sana hati saya sungguh nyeri. " ya ampun, masih muda begitu anaknya sudah gedhe," statement seperti itu sudah sangat sering saya dengar, dan membuat saya meringis saja, tidak tahu mesti bilang apa. Kadang kalimat itu di ucapkan dengan nada terkejut yang "asli", kadang juga di ucapkan dengan sinis. Sering juga saya dianggap anak "kampung" entah dari desa mana yang masih mentradisikan anak-anak gadisnya menikah sebelum usia 20 tahun. Olala!

Ketika saya berjalan dengan anak-anak saya yang masih memakai seragam sekolah, seringkali juga saya di kira gurunya, bukan ibunya. Pernah juga seorang pemuda yang masih muda sekali dengan malu-malu mengajak saya berkenalan. Ketika saya katakan saya sudah bersuami dan memiliki anak dia tidak percaya. entah dari mana pemuda itu berhasil mendapat nomor telepon rumah saya, dan meneleponlah dia. Kebetulan yang mengangkat teleponnya adalah suami. Pemuda yang masih berstatus mahasiswa itu akhirnya tidak lagi menelepon ke rumah setelah kejadian itu. Mungkin sekarang dia sudah percaya perkataan saya tempo hari.

Semula saya sedih dengan itu semua. Sedih dengan "nasib" saya yang di ciptakan awet muda oleh Yang Maha Kuasa. Pernah saya berupaya untuk kelihatan "tua". Sebenarnya saya juga telah berusaha. Memilih corak baju dan warna yang "berat" supaya kelihatan lebih tua sudah saya lakukan. Juga penggunaan kosmetik walau saya tidak suka. Akhirnya semuanya saya tinggalkan. Saya kembali memilih untuk menjadi diri sendiri, apapun reaksi orang melihatnya. Bagi saya, selama tidak ada aturan yang saya langgar, baik itu norma agama maupun negara, sebenarnya tidak ada yang perlu di cemaskan. Menjadi orang baik itu sulit, dan menjadi orang baik sekaligus menjadi diri sendiri itu lebih sulit lagi.

Diatas semua itu yang perlu saya lakukan sebenarnya hanyalah satu. Syukur. Bersyukur bahwa hidup ini memberi kehidupan yang berbeda untuk tiap orang. Bersyukur bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan yang menuntut konsekuensi masing-masing atasnya. dengan bersyukur kita bisa menjadi diri sendiri tanpa iri melihat orang lain. Dengan bersyukur kita akan merasa beruntung. dengan bersyukur rumput tetangga tentu tak lagi kelihatan lebih hijau dari rumput milik sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun