Kelahiran
Dimalam yang sunyi dan bergericik hujan. Tepat di daerah kerajaan Luwu daerah Palopo pada Senin tahun 1880, Opu Daeng Mawellu melahirkan anak wanita yang cantik hasil dari pernikahannya dengan Muhammad Abdullah to Barengseng. Kemudian anak itu diberinama Famajjah. Famajjah memiliki arti yaitu anak yang ramah dan pemberani.
Famajjah hidup dan besar di lingkungan keluarga bangsawan. Tak heran jika sejak kecil ia diwajibkan oleh orang tuanya untuk menimba ilmu terutama ilmu agama. Setiap hari setelah adzan magrib berkumandang Famazah diperintah untuk pergi ke surau oleh orang tuanya. Di Desa ini hampir semua penduduknya beragama islam maka sudah menjadi ciri pasti sesudah adzan magrib berkumandang banyak segerombol orang pergi ke surau untuk mendalami ilmu agama. Karena Famajjah anak yang pintar ia sudah tamat Alquran sampai 30 juz. Dirinya juga senang mempelajari fiqih dari buku yang ditulis oleh salah satu tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan yaitu Khatib Sulaweman Datung Patimang.Walaupun begitu Famajjah juga terkenal sebagai orang yang buta huruf latin dikarenakan keluarganya melarang Famajjah mengikuti sekolah umum. Oleh karena itu ia selalu meminta tolong pada saudaranya untuk dibimbing agar bisa membaca.
Pernikahan
Famajah kini beranjak dewasa, orang tuanya pun berniat untuk menjodahkannya. Dalam ruang tamu, bapak dan ibunya berniat untuk membicarakan tentang soal perjodahannya. Kemudian Famajjah di panggil ke ruang tamu oleh kedua orang tuanya.
"Nak bapak dan ibu akan menjodohkanmu dengan anak dari sahabat bapak " ucap bapak sambil memegang pundak Famajjah.
" Tapi pak saya tidak tau dia orangnya seperti apa, saya takut tidak cocok dengannya pak, lagi pula saya masih ingin mencari ilmu."ucap Famajjah
Lalu kedua orang tuanya tatap pada pendiriannya untuk menjodohkan Famajjah. Seketika itupun Famajjah luluh dengan bujukan kedua orang tuanya, dan Famajjah menyetujui atas perjodohannya itu.
Keesokan harinya pihak keluarga laki- laki melakukan Khitbah, disana untuk pertama kalinya Famajjah melihat calon suaminya, ternyata calon suaminya itu memiliki paras yang tampan, tubuh yang tinggi, dan berpakaian seorang ulama, dan dia bernama H. Muhammad Daud. Tak berapa lama melakukan khitbah, pihak kedua keluarga langsung merencakan pernikahan. Akhirnya Famajjah dan H. Muhammad Daud pun menikah.
Setelah Famajjah resmi menikah dengan H. Muhammad Daud yang sama-sama keturunan bangsawan terutama ia adalah seorang ulama yang pernah bermukim di Mekkah ia pun kemudian diangkat menjadi Imam Masjid di Istana Kerajaan Luwu. Lalu Nama Famajjah pun bertambah gelar menjadi Opu Daeng Risadju. Dari pernikahannya Opu Daeng Risadju memiliki anak laki-laki yang bernama Abdul Kadir Daud.
Beberapa tahun kemudian orang tua dari Opu Daeng Risadju meninggal karena penyakit yang dideritanya. Opu Daeng Risadjupun rasanya ingin menangis tetapi ia ditenangkan oleh suaminya, "setiap yang bernyawa pasti akan mati, dan kembali pada ilahi, kita sebagai manusia hanya bisa ikhlas dan sabar," ucap suaminya itu. Famajjah hanya terdiam dan berusaha untuk tegar.
Perjuangan
Mula-mula pada tahun 1905, Belanda berhasil menguasai Kerajaan Luwu, sehingga Opu Daeng Risadju, beserta suami dan anaknya harus meninggalkan Kota Palopo. Mereka pun pindah ke kota Pare-Pare. Mereka disana memilih menetap. Kota ini sangat indah, lautnya bening dan udaranya sangat sejuk. Kota ini menghadap Selat Makassar.Tahun-tahunpun beralalu, tak sengaja ketika Opu Daeng Risadju sedang belanja di pasar ia pun berkenalan dengan pedagang yang sangat ramah.
" Mau kemana bu?"ucap pedagang ikan dengan ramah.
"Ini saya mau beli ikan mas, tapi dari tadi saya tidak menemukan ikan yang saya mau", ucap Opu Daeng Risadju.
"Disini saya menjual ikan mas Bu, ikan nya segar-segar", jawab pedagang itu dengan wajah tersenyum.
"Oh baiklah saya akan membelinya. Jawan Opu Daeng Risadju.
Akhirnya Opu Daeng Risadju pun menjadi langganan pedagang tersebut, ia pun kini sudah sangat mengenal pedagang itu, ia bernama H. Muhammad Yahya. Karena perkenalannya H. Muhammad Yahya pun kini sangat dekat dengan Opu Daeng Risadju dan suaminya H. Muhammad Daud. H. Muhammad Yahya kini menjadi sahabat dan selalu mampir ke rumah untuk mengobrol dan bersilahturahmi dengan Opu Daeng Risadju dan suaminya. Karena tak sungkan H. Muhammad Yahya pun menawari Opu Daeng Risadju menjadi anggota dari partai yang dibangunnya. H. Muhammad Yahya menjelaskan bahwa " partai ini sangat menjunjung tinggi nilai agama, melawan ketidakadilan yang dirasakan sebagian masyarakat kita ". ucap H. Mumahhad Yahya. Mendengar uncapan H. Muhammad Yahya, Opu daeng Risadju pun sangat tertarik pada Organisasi ini. Akhirnya Opu Daeng Risadju dan suaminya setuju untuk masuk menjadi anggota PSII di Pare-pare.
Pada tahun 1927 Opu Daeng Risaju dan suaminya mulai aktif di oraganisasi Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII)di pare-pare. Selama Opu Daeng Risadju di organisasi ini, ia mulai terispirasi untuk membangun PSII di Kota kelahirannya.
" Saya menyukai organisasi ini, organisasi yang berdiri dengan syariat Islam saya ingin mendirikan organisasi ini juga di tempat asal kita pak, ucap Opu Daeng Risadju pada suaminya. Mendengar ucapan istrinya, H. Muhammad Daud pun menyetujuinya dan mendukung kemauan istrinya itu. H. Muhammad Daud adalah suami yang sangat mencintai Opu Daeng Risadju, ia selalu mendukung apa yang menjadi keinganan istrinya itu, selama keinginannya itu baik dan tidak melanggar aturan agama. Akhirnya pada tahun 1927 Opu Daeng Risaju dan suaminya mulai aktif di oraganisasi Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII)di pare-pare. Anaknya kini sudah menjadi ulama yang besar, ia kini sibuk dengan tugasnya ia sangat senang menyebarkan dakwah. Ia pun kini sudah menjadi H. Abdul Kadir Daud.
3 tahun kemudian, di tahun 1930, Opu Daeng Risadju sudah berusia 50 tahun, tapi semangatnya untuk mendirikan organisasi tidak pernah padam. Ia pun sangat semangat dan berpegang tegung dengan cita-citanya. Yaitu mendirikan PSII di kotanya. Opu Daeng Risadju dan suaminya pun kembali ke kota Palopa, ia kembali hanya berdua, dikarenakan anaknya sedang ada tugas disana. Sekembalinya ke Palopo, Opu Daeng Risadju mengabari Ketua PSII Jawa yaitu Kartosuwiryo untuk datang ke Palopo. Tak lama kemudian Kartosuwiryo datang ke Palopo dan menginap di rumah Opu Daeng Risadju. Setelah itu Opu Daeng Risadju pun mendatangi rumah Mudehang saudaranya untuk mengajak nya masuk kedalam organisasi yang ia dirikan dan berharap besok ia bisa hadir pada acara rapat. Mudehang pun setuju.
Pada tanggal 14 Januari 1930, Opu Daeng Risadjupu menyebarkan pengumuman bahwa dirinya akan mendirikan cabang PSII di Palopo bertempat di Pasar Lama Palopo. Kemudian ia mengadakan rapat pemilihan. Rapat ini dihadiri oleh aparat pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat yaitu Kartosuwiryo, pemuka masyarakat dan masyarakat umumnya.Hasil rapat meresmikan Opu Daeng Risadju sebagai ketua. Sedangkan saudaranya, Mudehang, sebagai sekretaris. Mudehang dipilih karena dia tamatan sekolah dasar lima tahun yang bisa membaca dan menulis.
Setelah resmi PSII berdiri di Palopo, Opu Daeng Risaju kemudian menyebarkan sayap perjuangannya. Yang pertama dilakukan Opu Daeng Risadju adalah mengajak familinya yang terdekat kemudian kepada rakyat kebanyakan. Dalam merekrut anggota PSII Opu Daeng Risadju membuat kartu yang bertuliskan lafadz “Ashadu Alla Ilaaha Illallah”. Dengan menggunakan kartu tersebut aspek ideologipun tertanam dalam setiap anggota, siapa yang memiliki kartu tersebut (menjadi anggota PSII) berarti dia seorang muslim. Dengan cara seperti ini, perjuangan PSII yang dilakukan oleh Opu Daeng Risajupun mendapatkan dukungan yang sangat besar dari rakyat. Selain itu, dukungan dari rakyat ini timbul karena status Opu Daeng Risaju sebagai seorang bangsawan yang cukup kharismatis di mata masyarakat
Kegiatan Opu Daeng Risadju didengar oleh Controleur Afdeling Masamba. Controleur afdeling Masamba kemudian mendatangi kediaman Opu Daeng Risadju, " kegiatan yang dilakukan Opu ini adalah tindakan provokatif, kegiatan yang hanya merusak moral masyarakat dan mendorong masyarakat untuk tidak percaya pada pemerintah", ucap Controleur Masamba.
" Tidak, saya tidak meminta masyarakat untuk menentang pemerintah, saya dan anggota saya hanya meminta keadilan dan tindakan apapun yang dianggap tidak adil perlu kita perjuangkan," ucap Opu Daeng Risadju.
Tetapi pihak Pemerintah sudah terhasut oleh ucapan Controleur Afdeling Masamba. Akhirnya Opu Daeng Risadju dijatuhi hukuman penjara selama 13 bulan. Selama dipenjara Opu Daeng Risadju sangat menanti untuk dibebaskan. Dalam penjara ia tak henti-hentinya melantunkan ayat Alquran, dan sangat berpegang teguh pada pendiriannya yaitu menegak kan agama Allah.Akhirnya Opu Daeng Risadju keluar dari penjara, setelah keluar ia semakin aktif dalam menyebarkan PSII.
Pada tanggal 1 Maret 1932, Opu Daeng Risaju dan suaminya meresmikan cabang PSII di Malili. Ternyata aktiftas Opu Daeng Risadju, diawasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Ketika Opu Daeng Risadju tiba di distrik Patampanua, dalam perjalanannya setelah dari Malili, Opu Daeng Risadju ditangkap oleh prajurit Belanda. Kepada Distrik atas instruksi pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda mengganggap kegitannya membahayakan dan perlu diawasi.
Dari distrik Patampanua Opu Daeng Risaju bersama suaminya dibawa ke Palopo melalui jalan laut dengan pengawalan yang ketat. Ketika di bawa ke Palopo, Opu Daeng Risaju dan suaminya diborgol. Tindakan ini terdengar oleh familly Opu Daeng Risadju yaitu Opu Dalirante. Lalu Opu Dalirante menuntut pada pihak kerajaan dan pemerintah kolonial Belanda bahwa tindakan ini sangat tidak pastas dilakukan pada keluarga bangsawan dan meminta agar membebaskan Opu Daeng Risadju dan suaminya. Akhirnya Opu Daeng Risadju dan suaminya dibebaskan dari prajurit kolonial belanda berkat dari Opu Dalirante.
Opu Daeng Risadju pun tetap menjalankan organisasinya, walaupun berkali-kali harus ditangkap oleh pemerintah Belanda. Dan ia tidak luluh oleh tindakan pembelaan yang dilakukan famililnya untuk membelanya. Opu Daeng Risadju sangat didukung oleh masyarakat sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah Belanda dan Kerajaan Luwu. Kegiatan Opu Daeng Risaju dianggap sebagai kekuatan politik yang membahayakan pemerintah Belanda. Maka pihak Belanda meminta pada Kerajaan Luwu untuk berupaya melakukan tekanan-tekanan kepada Opu Daeng Risaju agar menghentikan kegiatan politiknya.
Pihak kerajaan Luwu pun langsung mengambil tindakan kepada Opu Daeng Risadju. Agar menghentikan kegiatan politiknya yang bisa menghancurkan ikatan kerajaan Luwu dan pemerintahan Belanda. Pemerintah kerajaan Luwu kemudian memanggil Opu Daeng Risadju menghadap kerajaan.
" Opu harus segera menghentikan kegiatan politikmu" ucap Datu Luwu
" Karena Kegiatan politik mu ini sangat membahayakan Kerajaan dengan Pemerintahan "ucap Dewan Adat Luwu.
" Saya tidak mau menghentikan organisasi ini, saya hanya melakukan kegiatan yang diperintahkan Tuhan, yaitu “amar ma’ruf nahyil munkar”, jawab Opu Daeng Risadju dengan tegas.
" Tapi tidankan Opu ini hanya menghinakan derajat Kebangsawanan Kerajaan Luwu, ucap dewan adat Luwu.
“Jika hanya karena darah bangsawan yang mengalir dalam tubuh saya, , sehingga saya harus meninggalkan organisasi, dan berhenti melakukan gerakan, irislah dada ini dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari dalam tubuh saya, supaya Datu dan Hadat tidak terhina kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya.” ucap Opu Daeng Risadju.
" Ya sudah kalau itu jawabanmu, saya akan mencabut gelar kebangsawanan mu itu, " ucap Datu Luwu.
Akibat pernolakan tersebut, akhirnya Opu Daeng Risaju dicabut gelar kebangsawanannya yaitu gelar “Opu”. Opu Daeng Risaju dipanggil menjadi “Indok” (Ibu), sebagaimana layaknya rakyat kebanyakan.
Setelah gelar kebangsawanan Opu Daeng Risadju di cabut, Opu Daeng Risadju tetap menyebarkan dan malakukan kegiatan politiknya itu. Pihak Belanda pun sangat membenci kegiatan politik Opu. Pihak Belanda meminta tindakan yang lebih tegas kepada pihak Kerajaan Luwu agar Opu Daeng Risadju benar-benar menghentikan kegiatan politiknya. Datu Lawu pun memanggil H. Muhammad Daud ke kerajaan.
" H. Muhammad Daud, kau adalah suami dari Opu Daeng Risadju, saya minta agar kau membujuk istrimu itu berhenti dalam gerakan organisasinya." Ucap Datu Luwu
" Tapi gerakan itu, tidak bermaksud untuk menentang Pemerintahan apalagi kerajaan, gerakan itu murni, gerakan yang hanya ingin menegakkan keadilan." Ucap H. Muhammad Daud.
" Ya, tapi semakin sini gerakan istrimu itu sudah menyebabkan pertentangan antara kerajaan dan pemerintah, Apalagi pihak kerajaan dan pemerintah sudah memiliki perjanjian yang tidak bisa dilanggar, apa kau ingin karena gerakanmu dan istrimu itu ikatan kerajaan dan pemerintah semakin memburuk, dan pihak kerajaan tidak bisa terus menerus membela istrimu. Kita tidak tau seberapa kejamnya hukuman yang akan dijatuhkan oleh pihak pemerintah kepada istrimu nantinya." ucap Datu Luwu.
H. Muhammad Daud pun terdiam, ia tetap ingin mendukung istrinya itu, apalagi gerakan ini pun ia tau sebenarnya baik, tapi jika karena gerakan yang dilakukan dengan istrinya itu mengakibatkan banyak konflik yang terjadi dan membahayakan keselamatan istrinya. Iapun mulai memikirkan untuk segera menghentikan gerakan ini.
Sesampainya dirumah H. Muhamad Daud pun mengatakan pada Opu Daeng Risadju
" Istriku sebaiknya kau berhenti dari organisasimu, berhenti untuk membuat kesalahanfahaman antara pihak kerajaan dan pemerintah yang pada akhirnya membahayakan keselamatan dirimu." Ucap H. Muhammad Daud.
"Apakah kau mau melihat negara ini dipenuhi dengan tindakan kemungkaran dan ketidakadilan" jawab Opu Daeng Risadju sambil mengerutkan alisnya.
" Bukan begitu, tapi kita sudah tua, dan ini bukan menjadi tugasmu lagi, biarkan lah mereka yang muda untuk meneruskan perjuanganmu, kau dan aku hanya menjalankan perjuangan sampai disini. Ucap suaminya
"Saya tidak setuju, saya akan terus menegakkan keadilan dan menghapuskan kemungkaran sampai usia menjemput, saya akan terus menegakkannnya, kalau kau tidak bisa mendukung perjuanganku, lebih baik kita bercerai saja." ucap Opu Daeng Risadju. Karena ego masing-masing dengan berat hati mereka pun akhirnya bercerai dan memutuskan untuk menjalankan kehidupannya masing-masing.
Walaupun banyak ujian yang harus dilalui oleh Opu Daeng Risadju , tetapi ia tak putus asa, dan selalu tetap berpegang teguh pada pendirian untuk terus membela organisasinya demi tegak nya keadilan dan menghapuskan kemungkaran. Pada tahun 1933 Opu Daeng Risaju mengikuti kegiatan dan perkembangan PSII baik di daerahnya maupun di tingkat nasional. Pada hari itu ia pergi ke Jawa untuk mengikuti kegiatan Kongres PSII. Ia berangkat ke Jawa dengan biaya sendiri dengan cara menjual kekayaan yang ia miliki. Bukanlah hal yang mudah untuk datang ke Jawa pada saat itu, mengingat jarak antara Pulau Jawa dengan Sulawesi sangat jauh.
Karena banyak pihak kerajaan yang tidak menyukai kedatangan Opu Daeng Risadju ke Jawa. Lalu Opu Daeng Risadju pun diperintah untuk menghadap kerajaan ia dianggap telah melanggar aturan kerajaan dengan kegiatan politiknya, ia diberi hukuman penjara selama 14 bulan. Dalam penjara ia harus bekerja diluar seperti tahanan yang lainnya karena gelarnya sudah dicabut sehingga ia tidak memiliki hak istimewa sebagimana bagsawan. Disana ia diperintah untuk mendorong gerobak, bekerja membersihkan jalan di tengah-tengah kota Palopo.
Masa Revolusi
Pada tanggal 23 Januari 1946 , saat itu tentara NICA datang ke Sulawesi Selatan untuk kembali menjajah Indonesia. Tentara NICA mengobral abrik rumah Datu Gawe untuk mencari senjata, tetapi nihil senjata tidak ditemukan. Akhirnya mereka mendatangi masjid mengobrak-abrik dan menginjak alquran. Tindakan tentara NICA tersebut menimbulkan kemarahan rakyat di Luwu. Setelah itu para pemuda memberikan ultimatum kepada tentara NICA yang ada di Palopo agar kembali ke tangsinya, tidak berkeliaran di kota. Ultimatum tersebut tidak diterima oleh tentara NICA, yang kemudian berakibat timbulnya konflik senjata yang sangat besar antara tentara NICA dengan para pemuda.
Opu Daeng Risadju ikut berperan terhadap upaya perlawanan terhadap tentara NICA. Ia banyak melakukan mobilisasi terhadap pemuda dan memberikan doktrin perjuangan kepada pemuda. Tindakan Opu Daeng Risadju ini membuat NICA berupaya untuk menangkapnya. Upaya yang dilakukan NICA terhadap Opu Daeng Risadju yaitu mengeluarkan pengumuman yang berisi bahwa barang siapa yang dapat menangkap Opu Daeng Risadju baik dalam keadaan hidup atau mati, akan diberikan hadiah. Akan tetapi tidak ada seorang yang melaksanakan pengumuman Belanda tersebut.
Setelah pengumuman tersebut Opu Daeng Risaju melakukan persembunyian dari satu tempat ke tempat lainnya. Tetapi akhirnya di Lantoro ia tertangkap oleh tentara NICA. Kemudian ia dibawa ke Watampone dengan berjalan kaki sepanjang 40 km. Lalu Opu Daeng Risadju ditahan di penjara Bone dalam satu bulan tanpa diadili kemudian dipindahkan ke penjara Sengkang dan dari sini dibawa ke Bajo.
Ketika berada di Bajo, Opu Daeng Risadju disiksa oleh Kepala Distrik Bajo yang bernama Ladu Kalapita. Opu Daeng Risadju dibawa ke lapangan sepak bola. Dia disuruh berlari mengelilingi tanah lapangan yang diiringi dengan letusan senapan. Setelah itu Opu Daeng Risadju diperintah untuk berdiri tegap menghadap matahari, lalu Ludo Kalapita mendekatinya dan meletakkan laras senapannya pada pundak Opu Daeng Risadju. Kemudian Ludo Kalapita meletuskan senapannya. Akibatnya Opu Daeng Risadju jatuh tersungkur mencium tanah di antara kaki Luda Kalapita dan masih sempat menyepaknya. Opu Daeng Risaju kemudian dimasukkan ke penjara.
Akibat penyiksaan yang dilakukan oleh Ludo Kalapita terhadap Opu Daeng Risaju yaitu Opu enjadi tuli seumur hidup. Seminggu kemudian Opu dikenakan tahanan luar dan beliau tinggal di rumah Daeng Matajang. Tanpa diadili Opu dibebaskan dari tahanan sesudah menjalaninya selama 11 bulan dan kembali ke Bua kemudian menetap di Palopo.
Setelah pengakuan kedahulatan RI tahun 1949, Opu Daeng Risadju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya Haji Abdul Kadir Daud yang waktu itu bertugas di Pare-Pare. Sejak tahun 1950 Opu Daeng Risaju tidak aktif lagi di PSII, ia hanya menjadi sesepuh dari organisasi itu. Pada tanggal 10 Februari 1964, Opu Daeng Risaju meninggal dunia. Beliau dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo, tanpa ada upacara kehormatan sebagaimana lazimnya seorang pahlawan yang baru meninggal.
Opu Daeng Risadju dianugerahi gelar pahlawan berdasarkan Keppres No 85/TK/2006 pada tanggal 3 November 2006. Dan namanya kini menjadi nama jalan di Kota Palopo, Sulawesi Selatan.