Perubahan iklim, yang dipicu oleh gas rumah kaca alami dan buatan manusia, telah meningkatkan suhu global sekitar 1,0°C sejak era pra-industri. Indonesia, yang telah meratifikasi UNFCCC dan Protokol Kyoto, memiliki komitmen hukum untuk mitigasi iklim, termasuk membentuk pasar karbon di mana entitas memperdagangkan izin emisi gas rumah kaca (GHG). Sehubungan dengan hal tesebut, pada tahun 2021, Presiden Joko Widodo menandatangani regulasi "Nilai Ekonomi Karbon", yang menarget sektor-sektor seperti energi, transportasi, pengelolaan limbah, manufaktur, pertanian, dan kehutanan untuk mencapai tujuan penurunan suhu global dalam menghadapi perubahan iklim. Indonesia juga memperkenalkan kerangka hukum utama, termasuk Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 14 tahun 2023, yang berfokus pada perdagangan karbon. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menguraikan peta jalan untuk perdagangan karbon di sektor kehutanan, dan menekankan peran masyarakat adat. Masyarakat adat, melalui pengelolaan hutan yang berkelanjutan, berkontribusi secara signifikan terhadap penyerapan karbon, memperkuat hubungan budaya mereka dengan tanah, dan berpartisipasi dalam program pengimbangan karbon. Pendekatan ini sejalan dengan Prinsip 22 Deklarasi Rio, yang mengakui peran penting masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Para Pemangku Kepentingan
Kebijakan perdagangan karbon yang melibatkan masyarakat adat memicu perdebatan di antara enam pemangku kepentingan utama: masyarakat adat, Bursa Efek Indonesia (BEI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), organisasi non-pemerintah (LSM) yang relevan, dan para ahli di bidangnya. Setiap pemangku kepentingan membawa perspektif dan kepentingan unik, yang mempengaruhi implementasi, efektivitas, keadilan, dan keberlanjutan kebijakan ini. masyarakat adat memberikan komitmen besar dalam melindungi hak, wilayah, dan pengetahuan tradisional mereka, menghadapi tantangan perubahan iklim. BEI berwenang mengawasi mekanisme keuangan perdagangan karbon, memainkan peran sentral namun agak terbatas dalam regulasi. OJK dan KLHK memegang kekuasaan regulasi yang signifikan, memastikan kebijakan sejalan dengan standar domestik dan internasional. LSM bersikap memperjuangkan hak-hak adat, memberikan dukungan dan representasi kritis. Para ahli atau akademisi memberikan wawasan luas terkait perubahan iklim dan perdagangan karbon, meskipun pengaruh mereka moderat karena pengambil keputusan pemerintah tidak diwajibkan untuk mengadopsi rekomendasi dari para ahli atau akademisi.
Keterlibatan masyarakat adat sangat penting karena kebijakan perdagangan karbon secara langsung mempengaruhi hak dan wilayah masyarakat adat. Meskipun ada preseden hukum, pengaruh mereka tetap terbatas oleh kerangka administrasi. BEI, sebagai eksekutor utama, mengatur perdagangan karbon dalam parameter yang ditetapkan. OJK dan KLHK, yang diberi wewenang legislatif, membentuk dan menegakkan regulasi terkait perdagangan karbon dengan efektivitas yang cukup besar. LSM memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak-hak adat, memanfaatkan keahlian mereka untuk memastikan hasil dan manfaat yang adil terutama untuk masyarakat adat. Para ahli, memberikan wawasan dari berbagai bidang, membantu dalam perumusan dan evaluasi kebijakan, meskipun kekuasaan mereka terbatas oleh sifat diskresioner dari penerimaan pemerintah terhadap nasihat mereka. Bersama-sama, interaksi pemangku kepentingan ini menentukan arah dan dampak kebijakan perdagangan karbon Indonesia, mencerminkan kompleksitas dan pentingnya manajemen pemangku kepentingan yang inklusif dan efektif.