Baterai habis terkadang bisa menyengsarakan. Di tengah kelelahan jalan sambilmenggendong anak,saya hampir tersesat di Kawasan Wisata Candi Borobudur yang berarea luas. Semua karena lupa mengisi baterai telepon seluler.
Saya teringat Howard Gardner, yang menulis bahwa satu dari tujuh macamjenis intelegensi adalah Kecerdasan Spasial (Berpikir Dalam Gambar atau Visual). Terbukti saya bukanlah tergolong orang yang cerdas dalam hal yang satu ini. Selain karena baterai habis, saya gagal memetakan secara visual gambarantempat parkir mobil dalam pikiran. Saya lupa tempat sopir memarkir mobil sehingga saya tidak tahu harus berjalan ke arah mana.
Sabtu 29 Desemberkamisekeluarga besar berkunjung ke Kawasan Wisata Candi Borobudur. Dengan menggunakan dua mobil kami berwisata di Kawasan Wisata Candi Borodudur.Kami tiba di lokasi pada pukul dua siang. Saya,istri, Adel putri kami,Bapak dan Ibu Mertua, Kakak Ipar plus suaminya beserta dua orang keponakan.
Setelah membeli tiket, kami pun masuk ke taman wisata Candi Borodudur.Setelah berjalan sekitar seratus meter, kami membeli tiket lima ribu per orang untuk naik kereta yang mengantarkan kami ke depan pintu masuk naik ke area Candi.Perkiraan saya, dari tempat kereta berangkat sampai dengan pintu masuk naik ke Candi, jaraknya sekitar tiga kilometer.
Setelah tiba di mulut pagar untuk naik ke Candi, istri serta bapak ibu mertua memutuskan tidak ikut naik ke kawasan Candi. Dengan demikian hanya saya,Adel, dua keponakan serta kakak ipar dan suaminya yang naik ke kawasan Candi.
Saya menggendong Adel yang sekarang berusia dua setengah tahun. Di tengah cuaca panas, Mbak Eni kakak ipar saya menangkupkan payung di atas kepala saya. Sementara itu Mas Wawan, suami Mbak Eni, berjalan mengawal kedua keponakan saya, Abi dan Vira.
Seperti halnya Adel, saya memang berniat untuk naik ke kawasan Candi. Seolah seperti sejarah yang terulang. Lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, saya digendong bapak dan berfoto di depan Candi Borobudur. Memori itulah yang menguatkan saya untuk naik sampai ke atas menggendong Adel yang nampak antusias untuk segera memulai pendakian ke kawasan Candi.
“ Ayo naik Yah, terus naik ke atas “ demikian rengekan Adel yang memang belum memahami situasi betapa curamnya tangga demi tangga yang harus kami daki. Berat badan Adel sekarang sekitar enam belas belas kg, pasrah menempel di atas dua lengan saya. Sementara itu kaki ini menapaki tangga demi tangga yang kecuramannya sekitar empat puluh lima derajat. Setelah mengelilingi lorong demi lorong dari total lima lorong di tubuh candi, kami sampailah pada puncak Candi, yang ditandai dengan stupa induk yang paling besar.
Walaupun pada setiaplorongnya saya turunkan Adel dari gendongan, namun terasa tangan dan kaki ini pegalluar biasa.Ketika cuaca mendung, kami memutuskan untuk segera turun, setelah puas selama dua jam menjelajahi hampir seluruh bagian candi. Kaki ini serasa lemas, dengan pijakan pijakan yang tidak lagi sekuat ketika naik.
Cukup melelahkan, sehingga saya harus berulang kali menaikkan dan menurunkan Adel. Setelah sampai di kaki candi, keluarlah kami menuju taman di luar pagar candi.Tidak ada lagi kereta yang akan mengantar kami, karena memang layanan mobil kereta itu hanya untuk mengantar pengunjung ke pintu masuk menaiki candi, bukan pulang- pergi.
Ketika berangkat naik kereta tadi, saya memang mendapati ada angkutan andong yang beroperasi, hal yang baru saya jumpai sekarang. Menurut petugas penarik karcis di kereta, memang dulunya tidak ada andong di kawasan wisata Candi Borobudur. Padahal saya berharap ketika pulang menuju tempat parkir, kami bisa menyewa andong. Namun tidak ada andong yang menganggur. Waduh, pikir saya, saya harus berjalan tiga kilometer di tengah keletihan dan gerimis yang menerpa bumi sore itu.
Tadi ketika kita sampai di atas puncak Candi, barulah kami sadar bahwa alur pengunjung masuk berbeda dengan alur pengunjung keluar. Ketika keluar kami tidak akan melewati jalur yang sama dengan waktu kami masuk.
Saya menelepon istri saya . Istri sepakat untuk menunggu kami ditunggu di depan lokasi pembelian tiket naik kereta. Ternyata alur masukdan alur keluar pengunjung dipisahkan. Jadi rombongan saya dan rombongan istri tidak mungkin bertemu di titik yang telah disepakati.
Di tengah perjalanan, menuju area parkir, Mbak Eni berhenti di toilet. Namun karena Adel terus merengek minta sebotol susu yang lupa saya bawa, maka saya putuskan untuk berangkat terlebih dahulu menuju tempat parkir. Ditemani Abi dan Vira, saya berjalan mendahului Mas Wawan yang menunggui istrinya yang sedang di toilet.
“ Dik Rikho tahu lokasi parkirnya tho “ tanya Mas Wawan meyakinkan
“ Tahu mas “jawab saya sambil memvisualkan dalam pikiran, lokasi tempat mobil kami parkir.
Setelah berada di area parkir saya kebingungan, karena nampaknya tempatnya asing, tidak seperti gambaran visual dalam pikiran saya. Waduh, ini saya tersesat. Celakanya, telepon seluler SE yang berkartu pascabayar baterainya habis. Ini satu satunya alat komunikasi yang pulsanya menjangkau untuk panggilan telepon. Sementara itu Saya mengandalkan telepon seluler lain, BB yang pulsanya tidak cukup untuk melakukan panggilan telepon. BB ini hanya bisa digunakan untuk layanan pesan BB, tidak bisa digunakan untuk menelepon karena pulsanya hanya tersisa Rp.1oo.
Karena kelelahan, saya berhenti di lapak makanan untuk sekedar mengambil napas, dan meregangkan tangan yang pegal karena menggendong Adel. Sepuluh kali saya PING istri saya tidak menjawab. Sementara itu Adel menangis, merengek minta susu. Saya mengamati kondisi lahan parkir sambil mengingat ingat lokasi mobil kami.
Di setiap area parkir tertulis, AREA PARKIR A sampai D, tertulis biru dengan huruf yang cukup besar. Jika istri saya menjawab layanan pesan BB, hanya satu hal yang saya tanyakan, dari A sampai D, di area parkir mana mobil diparkir.
Sekitar lima menit saya duduk di warung sambil mencari akal bagaimana menemukan kembali lokasi mobil diparkir. Beruntunglah setelah itu Mas Wawan berinisiatif mencari saya. Dari kejauhan saya melihat Mas Wawan, sontak saya melambaikan tangan dan berteriak memanggil.
Setelah saya menghampiri rombongan, istri berkata,” Ini aku baru mau berangkat ke pusat informasi. Aku mau informasikan kepada petugas kalau kalian hilang. Biar nanti petugas mengumumkan lewat pengeras suara “
Demikianlah cerita Tersesat Di Keramaian. Akan bertanya kepada orang juga tidak mungkin. Pada area parkir yang mana mobil diparkir, saya tidak tahu. Menelepon juga tidak mungkin karena pulsa habis. Mungkin karena kelelahan menggendong Adel, tidak terpikir untuk mengumumkan lewat pengeras suara di pusat informasi.
Ditulis Rikho Kusworo di Jogya 29 Des 2012 diselesaikan di Ungaran `02 Januari 2013 jam 21.44