Dewi Kipas tungku api, sumber dari segala yang lezat dan bergizi. Diolah dengan sentuhan cintanya, kemudian di bagi bagi pada anak anaknya.
Mungkin saja hari ini kalian anak anak Gen z 2000an yang kecil besar di kota tidak pernah tau, bagaimana lezatnya masakan ibu dengan kipas dewa tungku kayu bakarnya.
Ini Cerita masa kecilku, dan memang tak bisa dilupakan karena merupakan kabiasaan saya waktu kecil di era 90an di Desa yang jauh dari Kota, dengan dinginnya pagi buta, serta wanginya kepulan asap tungku kayu bakar yang menerobos atap dapur lalu hilang dalam tembusan mentari pagi.
Waktu itu saya masih sangat kecil
Ibuq selalu bangun pagi sekali ketika rumput masih basah karena embun dalam balutan kabut pagi, tentu anda bisa bayangkan bagaimana dinginya pagi buta di desa, bahkan untuk keluar dari selimutpun saya tak mampu karena serasa beku bila tidak langsung lari menuju tungku api.
Setiap Pagi ibuku selalu bangun lebih awal, setelah ia perlahan melepaskan pelukanku dan bangun mengendap endap langkahnya meraba raba lampu pelita yang terbuat dari botol bir warna hijau dilantai dari tanah untuk di bawa ke dapur, sembari menunggu dari dalam bungkusan selimut, telingaku selalu mengarah ke dapur untuk mendengar bila kipasan tungku api ibu berbunyi dan wangi asap dari bakaran kayu api di tungku mulai tercium maka lekaslah saya melompat dari tempat tidurku menuju dapur tungku api.
Namun tidak jarang bila tidak di marah-marahi ibu didekat tungku api, kadang pahaku di cubit karena setiap bangun pagi, celanaku selalu bau amis, habis kencing di celana, itupun karena mimpiku yang buruk jadi bukan salahku, tapi mimpikulah yang telah menipuku. Itulah sebabnya setiap malam waktu kecil saat tidur tidak pernah lagi pakai celana, selalu telanjang karena takut kencing celana lalu di cubit ibu.
Setelah kipas dewanya ibu di kipaskan ke tungku maka saya sangat yakin api itu tidak akan padam sambil sesekali telapak tanganya ia tempelkan ke punggungku, wajahku, serta keningku Seperti "Dewi Hestia/Vesta" dewi perapian dan rumah tangga putri sulung Titan Kronos dan Rea dalam cerita Romawi
yang mampu menggenggam panas lalu mentransfer panas api untuk menghangatkan tubuhq yang kedinginan.
Setelah kipas dewanya di kibas kibas di tungku, ia menuju tempat cuci piring untuk mencuci piring serta periuk besi untuk disimpan di atas tungku berisi air dan beras yang hendak di masak menjadi bubur.
Kadang saya sedikit merengek, mencari cari kesempatan agar bisa duduk di pangkuannya sekalipun kadang ia menolaknya karena sangat merepotkan namun apalah daya, cintanya yang begitu besar seperti tak tega bila rengekanku tak ia turuti.
Sesekali tangannya memegang kipas untuk mengkibas kibas pada tungku agar api tak boleh padam. Tentu bukanlah saya, bila menunggu di tepi tungku tanpa maksud dan tujuan. Selain karna dingin, kebiasaanku menunggu kuah bubur yang dimasak ibu saat mendidih, untuk diberikan kepadaku. Itu kesukaan ku tiap pagi, kata ibu "itu adalah susu, susu yang dikemas dalam kaleng, itu terbuat dari sini yaitu masakan bubur yang mendidih". Karena alasan itulah tak seharipun aku melewatkanya saat pagi.
Setelah sekian lama hidup di kota dengan perkembangan zaman yang makin modern, kadang kita merasa rindu dengan hal hal seperti itu saat kecil didesa. Tentu dalam perenungan sangat terharu melihat betapa besar perjuangannya untuk tetap memberikan yang terbaik bagi anak anaknya meskipun dalam kondisi sakit.
Hal tersebut mengajarkan pada kita bahwa betapa pentingnya memiliki semangat dan tekad untuk selalu memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang kita cintai.