Riau -- Bullying, atau perundungan, masih menjadi salah satu masalah sosial yang mengkhawatirkan di Indonesia. Tidak hanya di sekolah, tindakan perundungan kini juga kerap terjadi di dunia maya, menyasar berbagai kalangan, termasuk anak-anak dan remaja. Fenomena ini tidak hanya melukai korban secara fisik, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental mereka. Dari sisi hukum, perundungan merupakan ancaman serius terhadap hak-hak dasar yang dijamin oleh Konstitusi Indonesia.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), beberapa pasal secara jelas menjamin hak-hak warga negara yang sering kali terlanggar akibat perundungan. Salah satunya adalah Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sementara itu, Pasal 28G ayat (1) memberikan jaminan kepada setiap orang untuk mendapatkan rasa aman dan terbebas dari ancaman yang membuat mereka takut atau tertekan.
Namun, meskipun landasan konstitusional ini sudah kuat, implementasinya di lapangan sering kali masih lemah. Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa kasus perundungan terus terjadi di berbagai tempat. Sebagai contoh, sebuah survei menunjukkan bahwa sebagian besar pelajar di Indonesia pernah mengalami atau menyaksikan perundungan di sekolah. Ironisnya, banyak dari kasus tersebut tidak dilaporkan karena korban merasa takut atau tidak mengetahui cara melaporkannya.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengambil beberapa langkah konkret untuk mengatasi masalah ini. Salah satu regulasi yang cukup signifikan adalah Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, yang mewajibkan setiap sekolah untuk memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan, termasuk perundungan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juga mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap anak.
Namun, upaya ini tampaknya belum cukup. Praktisi hukum dan pemerhati pendidikan menilai bahwa sosialisasi regulasi anti-bullying masih sangat minim. "Banyak anak dan orang tua yang tidak tahu bahwa ada regulasi yang melindungi mereka dari perundungan. Bahkan, di beberapa sekolah, regulasi ini hanya sebatas formalitas tanpa implementasi nyata," kata Nila Saraswati, seorang aktivis perlindungan anak.
Tidak hanya itu, budaya diam (silent culture) juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak korban enggan melaporkan tindakan perundungan yang mereka alami karena takut mendapat balasan atau dikucilkan oleh lingkungan sosialnya. Hal ini menuntut peran negara untuk lebih aktif dalam memastikan lingkungan yang aman bagi warganya, terutama anak-anak.
Melihat kondisi ini, pakar hukum tata negara mengingatkan bahwa negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi korban perundungan. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa "perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah." Dengan kata lain, negara tidak boleh hanya diam dan harus memastikan bahwa semua warganya mendapatkan hak-hak mereka secara utuh.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan, menurut para ahli, meliputi peningkatan edukasi publik tentang hak-hak konstitusional, penguatan mekanisme pelaporan, dan penerapan sanksi tegas terhadap pelaku. Selain itu, sinergi antara pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari perundungan.
Sementara itu, korban perundungan berharap bahwa perlindungan hukum yang sudah ada dapat benar-benar memberikan rasa aman bagi mereka. "Kami hanya ingin belajar dan hidup tanpa takut. Kalau ada yang salah, kami ingin ada pihak yang mendengar dan membantu," ujar seorang siswa yang pernah menjadi korban perundungan di sekolahnya.
Sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk memastikan bahwa setiap warganya, terutama anak-anak, terlindungi dari segala bentuk kekerasan, termasuk perundungan. Dengan memperkuat implementasi perlindungan konstitusional, diharapkan lingkungan yang aman, sehat, dan mendukung dapat tercipta untuk semua.