Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Otoritas Orang Tua dalam Memaksa Kawin Anak Usia 21 Tahun Ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam

1 Juni 2023   15:58 Diperbarui: 1 Juni 2023   16:00 222 1
Hukum Perdata Islam Di Indonesia
Reviewer : Rika Amalia Putri NIM 212121067 HKI 4B

Judul : Otoritas Orang Tua Dalam Memaksa Kawin Anak Usia 21 Tahun Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Desa Sibual Buali, Kec. Ulu Barumun, kab. Palas)
Nama Penulis : Ammar Siddik HBS
Tahun Skripsi : 2018
Tebal Skripsi  : 87 Halaman

Abstrak
Dalam melakukan penelitian ini penulis mengkaji mengenai perwalian orang tua terhadap anaknya yang berusia 21 tahun. Orang tua merasa memiliki tanggung jawab untuk menikahkan anaknya ketika sudah menginjak dewasa. Di Desa Sibual Buali para orang tua memaksa anaknya untuk menikah dengan calon pasangan yang sudah dipilihkan. Selain berdasar pada keinginan orang tua dan tanggung jawab yang diemban, menikahkan anak secara paksa juga dipengaruhi oleh adat daerah tersebut. Berbanding terbalik dengan persyaratan menikah yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa izin dan persetujuan mempelai menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi. Persetujuan dari calon mempelai dapat berupa pernyataan tegas baik dalam bentuk lisan, tulisan, dan isyarat, serta juga dapat dinyatakan dengan diam yang dapat diartikan tidak terdapat penolakan. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (1) menyebutkan bahwa batas usia anak yang disebut dewasa adalah 21 tahun, selama anak tidak mengalami cacat fisik, mental, dan belum pernah melangsungkan perkawinan. Sehingga dapat diketahui bahwa meminta izin dari calon mempelai merupakan syarat dilangsungkannya pernikahan. Selain itu, otoritas orang tua dalam memaksa anaknya menikah adalah ketika anak tersebut berusia dibawah 21 tahun. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi dan wawancara, sehingga dalam pengumpulan data akan dihentikan ketika data yang didapat sudah cukup.
Kata Kunci : tradisi, adat, tanggung jawab, menikah.



Abstract
In conducting this research, the writer examines the parental guardianship of their 21-year-old child. Parents feel they have a responsibility to marry off their children when they are adults. In Sibual Buali Village, parents force their children to marry a candidate who has already been chosen. Apart from being based on the wishes of the parents and the responsibilities they carry, forced marriage of children is also influenced by local customs. In contrast to the marriage requirements contained in the Compilation of Islamic Law Article 16 paragraphs (1) and (2) which state that the permission and approval of the bride and groom are one of the conditions that must be met. Approval from the prospective bride and groom can be in the form of a firm statement in the form of oral, written, and gesture, and can also be stated silently which means that there is no rejection. In the Compilation of Islamic Law Article 98 paragraph (1) states that the age limit for a child who is called an adult is 21 years, as long as the child does not have physical, mental disabilities, and has never been married. So it can be seen that asking permission from the prospective bride is a condition for holding a marriage. In addition, the authority of parents in forcing their children to marry is when the child is under 21 years of age. In this study, researchers used observation and interview techniques, so that data collection would be stopped when the data obtained were sufficient.
Keywords: tradition, custom, responsibility, marriage.

PENDAHULUAN

Pada bagian ini peneliti memaparkan mengenai tradisi peninggalan leluhur yang menikahkan anak secara paksa merupakan tanggung jawab dan wewenang orang tua untuk mencarikan pasangan anaknya. Sehingga anak tidak akan salah dalam memilih pasangan.  Karena tidak dipungkiri para orang tua menginginkan anaknya hidup dengan pasangan yang baik dan tepat.
Akan tetapi, dalam hal ini para orang tidak meminta persetujuan dari anak mereka. Bagi mereka menikahkan anak diperbolehkan karena ayah sebagai wali mujbir mempunyai hak untuk memaksa anaknya menikah.
Alasan lain orang tua memaksa anaknya menikah adalah keinginan orang tua melihat anaknya menikah dengan orang pilihannya. Selain itu, juga menghindari dari pacaran yang terlalu lama yang dapat mengakibatkan fitnah dan sesuatu yang tidak diinginkan. Karena di Desa Sibual Buali juga terdapat larangan untuk pacaran terlalu lama.
Otoritas orang tua dalam memaksa anaknya menikah bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2). Selain itu juga bertentangan dengan Undang-Undang HAM No. 39 Tahun 1999 pada Pasal 10 Ayat 2 bahwa perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas dasar kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan.
Sedangkan anak yang sudah berusia 21 tahun sudah dianggap dewasa oleh perundang-undang dan dapat melakukan perbuatan hukum dan berdiri sendiri dalam menentukan kehidupannya. Lalu bagaimanakah hal ini masih terjadi di Desa Sibual Buali di tengah perkembangan zaman yang modern. Apakah memaksa anak menikah tidak berdampak pada kehidupan rumah tangga anak.
Maka dari itu uraian diatas menjadi alasan mengapa penulis memilih judul skripsi tersebut tertarik dengan problematika kasus ini dan mencoba untuk mengangkat wacana tersebut dalam sebuah karya ilmiah dengan judul "Otoritas Orang Tua Dalam Memaksa Kawin Anak Usia 21 Tahun Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Desa Sibual Buali, Kec. Ulu Barumun, kab. Palas)"
Dan yang penulis analisis ialah mengapa orang tua mengedepankan otoritasnya dalam memaksa kawin anak usia 21 tahun di Desa Sibual Buali dan bagaimana tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap otoritas orang tua dalam memaksa kawin anak usia 21 tahun.


ISI REVIEW
Dalam skripsi ini terdapat 5 sub bab antara lain :
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORITIS
BAB III GAMBARAN UMUM DESA SIBUAL BUALI
BAB IV TEMUAN PENELITIAN
BAB V PENUTUP

 BAB I

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Pada latar belakang dibahas mengenai anak sebagai generasi penerus orang tua yang sudah seharusnya mendapat nama yang baik, pendidikan dan pengajaran, serta dapat dinikahkan oleh orang tuanya ketika dewasa.
Terkait menikahkan anak terdapat landasan dari Qs. an-Nur ayat 32 dimana orang tua wajib menikahkan anaknya yang masih membujang dengan mencarikan pasangan yang baik dari kekayaan, keturunan, kecantikan, dan agamanya.
Menurut Syaikh Al Imam Abi Ishaq Ibrahim bin 'Ali bin Yusuf Al Fairuzabadi As Syirazi mengatakan bahwa ayah dan kakek dapat menikahkan anak perempuannya dengan tanpa meminta izin terlebih dahulu baik yang sudah dewasa maupun yang masih anak-anak.
Pendapat senada juga terdapat dalam Kitab Fathul Mu'in menjelaskan tidak disyaratkan adanya keridhaan dari anak perawannya walaupun anaknya sudah usia baligh sekalipun berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Daru Quthni: Janda lebih berhak mengurusi dirinya sendiri daripada walinya, sedang gadis itu dikawinkan oleh ayahnya. Hal ini yang menjadi dasar para orang tua untuk memaksa menikah anaknya yang berusia 21 tahun di Desa Sibual Buali.
Pernikahan yang terjadi sebab adanya paksaan dari orang tua sebagaimana kasus yang terjadi di Desa Sibual buali berdampak pada sulitnya mendapatkan keharmonisan dalam rumah tangga, dan sering terjadi pertengkaran walaupun tidak sampai cerai.
Dalam rumusan masalah peneliti merumuskan pokok masalah yang menjadi bahasan peneliti, yaitu mengapa orang tua mengedepankan otoritasnya dalam memaksa kawin anak usia 21 tahun di Desa Sibual buali? Dan Bagaimana tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap otoritas orang tua dalam memaksa kawin anak usia 21 tahun?
Dalam batasan istilah bertujuan untuk mengarahkan pemahaman lebih fokus dalam penelitian objek sesuai dengan yang inginkan, peneliti membatasi istilah agar memudahkan pembaca dalam memahami penelitian ini, yaitu "otoritas" dan "memaksa" yang sama-sama berarti meminta dengan paksa. Dalam fiqh pada bab nikah menjelaskan bahwa yang dapat memaksa nikah adalah wali mujbir.
Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
Observasi merupakan metode yang digunakan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap fenomena-fenomena yang akan diteliti.
Interview adalah suatu metode penelitian untuk tujuan suatu tugas tertentu dengan menggali pertanyaan dari narasumber secara lisan dari narasumber.
Metode analisis data merupakan analisis dan pengolahan data penulis lakukan dengan cara Analisis deduktif yaitu membuat suatu kesimpulan yang umum dari masalah yang khusus, dan Analisis induktif yaitu membuat kesimpulan yang khusus dari masalah yang umum.
Sistematika pembahasan merupakan suatu rangkaian urutan pembahasan dalam penulisan karya ilmiah. Dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini, sistematika pembahasan dalam penulisan penelitian ini disusun dalam lima bab.

BAB II

Pada bab kajian teoritis ini menjelaskan mengenai otoritas orang tua terhadap anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, dan perwalian menurut Kompilasi Hukum Islam.
Otoritas merupakan kekuasaan atau wewenang orang tua terhadap anak, mengenai harta dan diri dari anak, sebagaimana KHI Pasal 107 Ayat 2 menerangkan bahwa perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya. Namun hal ini hanya berlaku bagi anak yang berusia dibawah 21 tahun dan belum pernah menikah. Ketika anak sudah berusia 21 tahun maka berakhirlah kewenangan orang tua terhadap anak.
Terkadang banyak orang tua yang mengedepankan kewenangannya kepada anak. Salah satu kewenangan yang sering terjadi adalah memaksa anak untuk menikah. Padahal dalam KHI sudah diatur dengan jelas bahwa diperlukan persetujuan dari calon mempelai yang dapat berupa jawaban secara lisan, tulisan, maupun isyarat. Dapat juga dengan diam selama tidak menyatakan penolakan.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku bahwa anak yang berusia 21 tahun sudah dipandang dewasa dan mampu menentukan nasibnya sendiri. Sehingga kewenangan orang tua terhadap anak berusia 21 tahun sudah berakhir. Dan anak berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri terutama dalam menentukan pasangan, sehingga orang tua sudah tidak dapat menikahkan anaknya secara paksa.
Mengenai hak dan kewajiban orang tua dapat dilihat dalam KHI Pasal 110 ayat (1), Pasal 106 ayat (1), Pasal 106 ayat (2), Pasal 111 ayat (1), dan Pasal 98 ayat (2).
Perwalian merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai orang tua atau masih memiliki orang tua tetapi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) KHI menjelaskan mengenai macam-macam wali. Pasal 20 ayat (1) berbunyi, "Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh". Sedangkan Pasal 20 ayat (2) berbunyi, "Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim".
Wali nasab adalah laki-laki muslim yang masih memounyai hubungan darah atau keturunan dengan calon pengantin perempuan. Terdapat urutan orang-orang yang dapat menjadi wali nikah bagi calon mempelai perempuan, yaitu:
Kerabat laki-laki garis lurus keatas.
Kelompok saudara laki-laki sekandung atau seayah dan anak keturunan mereka.
Kelompok kerabat paman.
Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
Wali yang paling berhak untuk menikahkan anak perempuan adalah ayah, karena sebab ayak anak itu ada. Ayah dan kakek serta garis lurus ke atas merupakan wali mujbir yang dapat memaksa anak menikah dengan batas wajar. Apabila semua wali nasab tidak ada, maka yang dapat menikahkan adalah wali hakim.
Wali hakim merupakan wali nikah yang ditunjuk dengan kesepakatan para calon pengantin untuk menikahkan mereka. Wali hakim dapat menikahkan pengantin apabila calon pengantin tidak memiliki wali nasab dengan kendala, sebagai berikut:
Walinya sudah mati semua.
Wali akrabnya sudah lama menghilang tanpa berita.
Wali akrabnya adhal.
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila, dan melalaikan atau menyalahgunakan hak serta wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.

BAB III

Pada bab ini menerangkan mengenai letak geografis, keadaan demografis, kehidupan sosial masyarakat, kondisi keagamaan, dan keadaan perekonomian di Desa Sibual Buali. Penggambaran mengenai desa ini memudahkan pembaca untuk mengetahui keadaan tempat penelitian tanpa harus datang langsung ke desa tersebut.
Letak geografisnya Desa Sibual Buali merupakan desa yang memiliki luas 500 Hektar dengan banyak sungai yang digunakan masyarakat untuk mengairi persawahan mereka.. Berikut batas-batas Desa Sibual Buali :
 Sebelah Utara berbatas dengan Mareng/ Hutan
Sebelah Selatan berbatas dengan Desa Tanjung
Sebelah Timur berbatas dengan Desa Saba Hotang
 Sebelah Barat berbatas dengan Desa Siraisan
Untuk sampai ke Desa Sibual Buali harus melewati titi gantung atau yang penduduk sebut sebagai rambin yaitu jembatan gantung dengan panjang 2 meter dan lebar 2 meter. Rambin tersebut adalah jalan satu-satunya untuk sampai ke Desa Sibual Buali. Dengan adanya rambin memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas dan berinteraksi dengan dunia luar.
Secara demografis, Desa Sibual Buali dihuni oleh 440 KK dengan 2200 jiwa dan mayoritas adalah perempuan sebanyak 1335 jiwa dan sebanyak 865 jiwa adalah laki-laki. Pada mulanya Desa ini bernama Tandihat yang berarti tanah dan lahat yang kemudian diganti menjadi Sibual Buali seperti nama salah satu sungai di desa tersebut. Semua masyarakat di Desa Sibual Buali memeluk agama Islam sehingga otoritas setempat membangun fasilitas keagamaan seperti masjid, mushola, dan pengajian.
Kehidupan masyarakat di Desa Sibual Buali masih sangat kental dengan tradisi peninggalan leluhurnya yang dapat dilihat dari bagaimana mereka menjalankan kehidupan sehari-hari. Hidup berkelompok dan homogen serta masih melestarikan  gotong royong sebagai bentuk rasa persatuan yang masih melekat pada masyarakat setempat. Selain itu, masyarakat setempat juga menanamkan nilai tolong menolong terutama ketika ada acara pernikahan dan kematian.
Ketika ada tetangga yang akan mengadakan pernikahan masyarakat setempat akan berpartisipasi dan bergotong royong untuk membantu mempersiapkan acara tersebut. Remaja laki-laki dan remaja perempuan yang disebut naposo nauli bulung akan mempersiapkan pelaminan untuk calon pengantin, bapak-bapak akan memasak nasi dan lauk sejak jam 4 pagi. Sedangkan para ibu mempersiapkan nasi bungkus dan menghidangkan masakan untuk para tamu undangan.
Di Desa Sibual Buali tamu undangan yang pertama kali diundang selain kerabat dekat adalah keluarga satu marga. Selain itu, terdapat larangan untuk menikah dengan marga yang sama. Hal ini ditegaskan oleh Bapak Mara Umus sebagai salah satu tokoh adat di Desa Sibual Buali setelah diwawancarai peneliti.
Tak jauh berbeda dengan pernikahan, partisipasi masyarakat ketika ada tetangga yang meninggal terlihat masyarakat saling bahu membahu mengurusi jenazah mulai dari perawatan jenazah hingga penguburan. Para remaja putra pun tak ketinggalan untuk ikut andil dalam mempersiapkan liang lahat. Ibu-ibu akan membawa minimal satu tabung kecil beras ketika melayat. Tak hanya sampai disitu masyarakat juga akan ikut doa bersama hingga hari ketiga.
Masyarakat Desa Sibual Buali secara keseluruhan beragama Islam dan berjalan dengan lancar terbukti dengan banyak kegiatan keagamaan yang penguatan mental dan spiritual.
Akan tetapi, masyarakat Desa Sibual Buali sangat tertutup dengan sesuatu yang dianggap baru sehingga mereka tidak maju, baik dalam pengetahuan maupun dalam perkembangan zaman.
Penduduk desa mayoritas menganut Mazhab Syafi'i dapat dilihat ketika dalam kegiatan ibadah maupun perkawinan. Berkaitan perkawinan tidak semua masyarakat mengetahui Undang-Undang Perkawinan sehingga banyak masyarakat yang masih memaksa anaknya menikah.
Sebagaimana masyarakat pada umumnya yang masih membutuhkan penunjang kehidupan. Masyarakat Desa Sibual Buali bermata pencaharian sebagai petani. Ada sebagian kecil yang berprofesi sebagai PNS, TNI, POLRI, maupun karyawan swasta. Namun, masyarakat Desa Sibual Buali masih tergolong masyarakat miskin.
Meski demikian, masyarakat tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dibantu dengan bantuan dari pemerintah dapat dibangun fasilitas yang dapat menunjang kehidupan masyarakat, sehingga perekonomian masyarakat kedepannya lebih baik dari sekarang.

BAB IV

Pada bab ini penulis menjelaskan bahwa dalam penelitiannya mengambil sampel dari 4 orang warga Desa Sibual buali untuk menjadi narasumber dalam penelitiannya dengan interval usia 22 sampai 28 tahun. Keempat sampel tersebut memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda, satu diantaranya merupakan tamatan SMP dan 3 diantaranya merupakan tamatan SMA.
 Pun demikian dengan  pekerjaan keempat narasumbernya, yaitu seorang wiraswasta, dua orang tani, dan satu orang belum bekerja. Berdasarkan keterangan yang didapat dari wawancara menyatakan bahwa narasumber dipaksa menikah oleh orang tuannya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber sebagai pihak yang dipaksa menikah dengan orang tuanya selaku pihak yang memaksa terjadinya pernikahan paksa dapat disimpulkan bahwa anak dipaksa menikah disertai beberapa alasan, yaitu;
Mempererat tali kekeluargaan dengan keluarga pasangan yang masih kerabatnya.
Untuk menghindari adanya kejadian yang tidak diinginkan.
Rendahnya tingkat pendidikan.
Tanggung Jawab orang tua untuk menikahkan anaknya agar tidak salah dalam memilih pasangan.
Pendapat Imam Syafi'i yang memperbolehkan untuk menikahkan anaknya.
Sedangkan sebagai seorang anak tidak dapat menolak permintaan orang tuanya yang terus mendesak agar menikah. Selain itu, juga disertai ancaman bahwa apabila menolak maka orang tua tidak akan mau mengatur hidup sang anak, tidak dianggap anak hingga ada yang akan diusir.
Dari hasil observasi peneliti menemukan bahwa penduduk Desa Sibual Buali merupakan penduduk yang taat dalam beragama, akan tetapi pemahaman mengenai perkawinan dalam ajaran Islam dan hukum positif masih kurang. Peneliti juga mewawancarai seorang Mujahid di salah satu Desa Sibual Buali bahwasannya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan orang tua memaksa anaknya untuk menikah, yaitu;
Tradisi
Memaksa anak untuk menikah sudah menjadi tradisi turun temurun di Desa Sibual Buali. Seiring berkembangnya zaman tradisi tersebut mulai berkurang. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bagi orang tua untuk menikahkan paksa anaknya apabila melanggar peraturan yang dibuat oleh tokoh masyarakat dan golongan tua di Desa tersebut, seperti
Laki-laki dan perempuan tidak boleh pacaran terlalu berlebihan.
Tidak boleh berdua-duan di tempat yang sepi.
Tidak boleh pacaran di atas jam 10 malam.
Keinginan Orang Tua
Orang tua melaksanakan perkawinan paksa terhadap anak-anak mereka
didasarkan atas berbagai alasan, antara lain;
Kekhawatiran orang tua bahwa anak tidak menikah.
Mendapatkan pendamping yang tidak bertanggung jawab.
Mendekatkan kembali hubungan persaudaraan.
Tanggung Jawab Orang Tua
Para orang tua berpendapat bahwa perkawinan seorang anak sudah menjadi tanggung jawab orang tua, maka kapan pun bisa untuk menikahkan anaknya. mereka
berkeyakinan dengan segera menikahkan anaknya akan selesai tanggung jawab
sebagai orang tua.
Pendapat Imam Syafi'i
Berkenaan dengan pernikahan terkadang orang tua memaksa anaknya menikah dengan anggapan bahwa menurut pendapat Syafi'i membolehkan hal tersebut.
Peneliti juga mewawancarai beberapa tokoh di Desa Sibual Buali yang secara garis besar menganggap bahwa menikahkan paksa anak demi kebaikan itu menjadi hal yang lumrah selama anak tersebut belum menikah, entah anak yang berusia 21 tahun kebawah atau usia 21 tahun kebawah karena menikahkan anak adalah tanggung jawab dari orang tua.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) dimana dalam sebuah perkawinan harus didasari persetujuan dari calon mempelai. Hal ini ditegaskan kembali oleh KHI Pasal 98 ayat 1 bahwa anak usia 21 tahun itu sudah dewasa dan dapat berdiri sendiri, kecuali apabila ia cacat. Sedangkan pendapat Imam Syafi'i yang memperbolehkan memaksa anak untuk menikah sudah dibatasi oleh peraturan yang berlaku di Indonesia. Sehingga tidak dibenarkan untuk memaksa anak menikah. Selain melanggar KHI, pernikahan harus didasarkan kesukarelaan dan kecintaan sehingga dapat menciptakan rumah tangga yang bahagia dan melahirkan anak-anak yang sehat, sholih dan sholihah.

BAB V

Pada bab terakhir ini berisi mengenai kesimpulan dari hasil penelitian di Desa Sibual Buali, yaitu memaparkan secara singkat faktor-faktor yang melatarbelakangi otoritas orang tua dalam memaksa kawin anaknya dan juga tinjauan KHI mengenai memaksa anak yang sudah dewasa untuk menikah yang tidak sesuai dengan KHI dan disertai unsur paksaan dalam pelaksanaan perkawinan tersebut.
Selain itu peneliti juga memberikan saran kepada Warga Desa Sibual Buali terkait menikahkan paksa anaknya untuk meminta persetujuan dari anak agar tidak melanggar peraturan yang berlaku di Indonesia.

Kesimpulan :
Pernikahan secara paksa tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku terlebih lagi dalam KHI sudah tertulis apabila dalam menikahkan anak harus mendapat persetujuan dari calon mempelai.
Kebiasaan yang terjadi di Desa Sibual Buali merupakan tradisi peninggalan leluhur yang masih terjadi. Menikahkan anaknya dengan calon pasangan pilihan orang tua bagi mereka adalah tanggung jawab para orang tua. Dilandasi dengan pendapat Imam Syafi'i bahwasanya menikahkan anak tanpa persetujuan diperbolehkan. Padahal sudah dibatasi dengan KHI bahwa menikah harus didasari dengan kesukarelaan dan kecintaan agar tercipta rumah tangga yang rukun dan dapat melahirkan anak-anak yang sehat, sholih dan sholihah. Di Desa Sibual Buali juga terdapat larangan untuk menikah dengan satu marga.
Otoritas orang tua dalam memaksa menikah anaknya yang berusia 21 tahun seharusnya bukan lagi tanggung jawab orang tua karena anak usia 21 tahun sudah dianggap dewasa dan dapat menentukan nasibnya sendiri termasuk memilih pasangan. Jadi menikahkan anak secara paksa hanya dapat dilakukan orang tua ketika anaknya berusia dibawah 21 tahun dan belum pernah menikah karena orang tua masih berperan sebagai perwaliannya.
Terlepas dari menikahkan paksa anaknya,  warga Desa Sibual Buali merupakan masyarakat yang masih menjunjung tinggi gotong royong dalam kehidupan sehari-hari. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun