Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Pilihan

Apa Jadinya Passion Tanpa Komitmen?

11 Februari 2024   01:42 Diperbarui: 11 Februari 2024   01:56 236 2
Tadi sore saya berbincang dengan seseorang yang baru saja resign dari pekerjaannya. Sebenarnya dia mendapat penawaran di tempat lain, tapi karena satu dan lain hal dia tidak jadi bergabung dengan perusahaan baru tersebut. Selama beberapa hari dia bete dengan dirinya sendiri karena sudah menolak offering yang begitu bagus. Untuk mengatasi stres dia menjalani shopping spree, alias kalap berbelanja.

Dia tertarik dengan produk fashion dan lifestyle dan dia memiliki product knowledge yang bagus akan produk-produk di ranah itu. Beberapa kali dia menghadiahi baju yang sangat cocok dengan badan dan penampilan saya, meskipun kalau disuruh beli sendiri saya pasti nggak kepikiran memilih barang yang itu.

Saya tahu betapa dia memiliki banyak channel, networking, informasi tentang vendor, supplier, shipping, dan lain sebagainya. Saya pun menyarankannya untuk membuka jastip atau drop-ship atau apalah untuk produk-produk fashion dan lifestyle.

Saya yakin usahanya akan lancar karena dia mengerti benar produk yang dijual (sampai perbedaan jumlah rajutan di berbagai jenis kain katun, misalnya) dan berwawasan sangat luas untuk mengoptimasi harga beli dan harga jual (karena tidak segan mengumpulkan katalog dan membandingkan harga).

Setelah mendengar ide saya, dia menjawab dengan:

"Aku punya passion, Kak, tapi aku nggak punya komitmen."

Anak saya yang paling besar dan duduk di dekat kami kontan bertanya kepada saya, apa maksud kalimat itu. Saya menjawabnya dengan kasus saya sendiri dimana saya memiliki passion mempelajari bahasa Korea karena saya memerlukannya untuk pergaulan sehari-hari, dan berkomitmen mengambil les di satu, dua, bahkan pernah lima tempat dalam semester yang sama demi meningkatkan kemampuan saya berbahasa Korea.

"Jadi, komitmen itu berarti bekerja keras?" tanyanya lagi.


Saya mengiyakan. Memang tidak mudah mengubah passion menjadi skill dan kemudian menjadi mastery di dalam sebuah bidang.

Misalnya, saya suka bahasa Korea. Yang menyukai bahasa Korea bukan cuma saya, ada jutaan orang jumlahnya di Indonesia saja. Beda halnya jika ditanya, apakah mereka yang menyukai bahasa Korea juga pasti bisa berkomunikasi dalam bahasa Korea? Jawabannya adalah: belum tentu.

Untuk bisa berbahasa Korea diperlukan pendidikan dan pelatihan, bisa secara formal dan informal, dan semua itu dimulai dari mempelajari grammar. Jangan mengira grammar itu membosankan dan tidak ada gunanya. Salah besar; grammar adalah fondasi bagi pembelajar bahasa asing untuk mulai mengerti dunia bahasa yang baru. Grammar adalah kerangka berpikir, grammar adalah track untuk menjaga komunikasi tetap berjalan sesuai dengan pakem dan aturan yang telah disepakati secara komunal.

Pendidikan dan pelatihan supaya bisa berbahasa asing membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, banyak orang yang meninggalkan passion-nya mempelajari sebuah bahasa asing atau hal lain karena mereka tidak sanggup membayangkan dan mengorbankan sejumlah besar waktu, tenaga, dan uang demi mengubah passion mereka itu menjadi sebuah skill yang mumpuni, apalagi menjadi sebuah mastery yang membuat mereka unggul di bidangnya.

Mereka enggan berkomitmen karena berkomitmen itu sukar dan melelahkan. Berkomitmen berarti tetap sabar dan tidak menyerah ketika perjuangan meraih skill dan mastery sangatlah jauh dari kata mulus. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun