Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Virus Statusisasi dalam Pencalegan lewat Spanduk

11 September 2013   08:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:04 499 3
Pemilu masih setahun lagi. Namun para calon legislator sudah berlomba-lomba menampakkan dirinya dalam bentuk spanduk yang bertebaran di mana-mana. Stress melihatnya? Memang. Muak? Mungkin. Pengen muntah? Bisa jadi. Tapi mari kita coba melihat beberapa hal yang menarik dari spanduk-spanduk itu, ajang mereka para calon anggota dewan yang terhormat menempatkan statusnya di ajang pencalegan.

Statusisasi kemakmuran

Spanduk caleg identik dengan foto. Foto yang menarik harus keren dong. Foto keren harus.....pake jas. Pake jas biar. .....apa biar terlihat makmur? Padahal ada laki-laki yang perawakannya cocok pakai jas dan adapula yang tidak atau bahkan justru cocoknya dengan baju kasual (atau tidak pakai baju sama sekali. Hush). Jadi, kenapa dipaksakan.

Konspirasi kemakmuran

Bagi seorang caleg 'gak nongol di spanduk ya mana mau dipilih'. Karenanya bagi mereka yang situasi kemakmurannya berbahaya (modal pas pasan), ide berkonspirasi adalah hebat: empat atau lima foto caleg dalam satu spanduk kecil.Padahal bisa jadi saking seringnya para pemilih melihat spanduk-spanduk berseliweran dan begitu banyakya foto-foto caleg dalam kertas suara nanti, para pemilih tidak sempat atau malas lagi mencari foto-foto caleg seperti terlihat dalam spanduk. Namun, biarlah. Yang penting sudah berusaha.

Konfiden

Caleg bisa dibagi dua kategori menurut kekonfidenannya dalam spanduk, terlepas dari latar belakang ide spanduknya. Kategori pertama adalah mereka yang tidak konfiden. Mereka memasang foto separuh badan dan pasti berdampingan dengan foto petinggi partainya. Dalam beberapa spanduk malah dijumpai foto petinggi partai terlihat jauh lebih besar dibanding foto calegnya sendiri. Ketidakkonfidenan bisa juga dilihat dengan adanya foto caleg bersama foto anaknya atau kerabatnya yang lebih dikenal orang (selebritas). Bahkan ada juga spanduk yang bercerita bahwa caleg ini adalah anaknya fulan bin fulan atau ponakannya anu bin anu,  atau saudaranya Pak Lurah dari RT5, RT3, jalan Cinta.

Kategori kedua adalah caleg yang konfiden, dengan pede menampilkan fotonya sendirian, dengan latar belakang warna partainya, diselingi logo partai. Terkadang saking konfidennya seorang caleg membuat spanduk logo partai dan nama dirinya - TANPA foto secuilpun. (Hmm, apa mungkin caleg ini menafsirkan ucapan seorang pesohor 'No matter what a woman looks like, if she's confident, she's sexy')

Kontroversi hati

Dari sebagian besar spanduk caleg yang saya lihat, semua wajah menyembul dengan gigi putih terlihat, mulut tertawa lebar atau senyum tersungging. Sepertinya dari mulai tukang foto atau fotografer profesional sudah memiliki juknis buat caleg: tampilkan wajah ceria. Padahal wajah berkata bukan saja dari mulut dan sekitarnya. Raut, gurat-gurat dahi dan rona pipi pun akan bercerita. Dan seseorang bisa dengan gampang menilai karakter yang berbeda di balik wajah itu. Bukankah sifat kasar tidak bisa menyatu dengan sifat lembut, bak siang tak kan bisa bercumbu dengan malam? Lain di mulut bisa lain di hati. Kontroversi. (eh, harusnya kontradiksi deng)

Mensiasati kecerdasan

Coba tengok. Hampir di setiap spanduk, para calon anggota dewan menampilkan namanya lengkap dengan gelar akademisnya. Ada gelar di depan maupun di belakang. Ada yang satu, dua, tiga bahkan lima. Ada yang S1, S2 atau S1-nya dua. Ada yang nyambung ataupun tidak. Bukankah ini cara mereka memperlihatkan kecerdasan dalam bentuk gelar? Bukankah itu berarti mensiasati kecerdasan? Padahal 'ingat, akan selalu lebih baik menjadi orang yang bijak dibanding orang yang cerdas'

Ego terhadap kepentingan

Adalah wajar sebuah kepentingan para caleg memasang spanduk. Bukankah itu caranya dia dikenal warga sebagai pemilih. Namun; apa yang menjadikan mereka para caleg itu memasang spanduknya jauh-jauh hari padahal musim kampanye belum dimulai? Kenapa juga mereka berani melanggar aturan kampanye? Bukankah mereka mau menjadi legislator pembuat peraturan, tapi belum apa apa mereka sendiri sudah melanggar? Kalaupun aturan kampanye belum keluar, jika egonya bisa disingkirkan, maka akan terhormatlah caleg yang menunggu dan taat aturan.

Harmonisasi dari hal terkecil sampai besar

Saya membayangkan akan indah dipandang jika spanduk-spanduk yang terpampang tersusun rapi dari yang kecil sampai yang besar, menciptakan harmoni. Namun kenyataan berkata lain, kala spanduk baliho segede gaban berwarna mentereng menyakitkan mata di jalan utama berdampingan dengan spanduk seuprit yang berada di ketiaknya. Tidak ada harmonisasisi seperti ebony dan ivory.

Kudeta apa yang menjadi keinginan

Bandingkan sebuah spanduk promosi iklan dan spanduk caleg. Lihat di sudut kanan bawah. Yang satu ada tandatangan dan tanggal, kalau perlu cap. Yang satu kosong melompong. Apa artinya? Yang satu bayar pajak, dan satunya lagi....wallahu alam. Dan jika caleg tidak membayar pajak untuk spanduknya, bukankah itu menjadi sebuah 'pukulan terhadap negara' (arti kudeta versi wikipedia) karena mengkhianati keinginan bersama (pajak untuk pembangunan dan kemaslahatan). Piye to.

Mempertakut

'Spanduk caleg mempertakut? Gak lagee'. Siapa sih yang takut dengan caleg yang manis budi itu? Ada, gila. Tentunya bukan manusia, tetapi pohon. Coba pergi ke pinggir jalan, hitung ada berapa paku yang menancap dan melukai batang pohon dari spanduk-spanduk caleg? Jangan anggap enteng. Batang pohon yang terlukai, apalagi dengan banyak paku di sana sini, bisa membuat dia mati. Satu pohon mati, berarti kau cerabut satu sumber nafas anak keturunanmu.

Mempersuram

Sekarang, pergilah kita ke sudut perempatan jalan. Pandangkan mata berkeliling 360 derajat. Di setiap sudut akan terpajang spanduk-spanduk besar kecil, membentang di atas tiang-tiang penyangga, menempel di mana saja. Indah? Halah....di mana indahnya. Yang ada malah mempersuram.

Basicly merindukan apresiasi

At the end (ahem), basically apa yang mereka para caleg itu rindukan adalah memang sepenggal apresiasi bahwa mereka telah hadir di kancah perpolitikan di Indonesia dan telah menanam saham kenegarawanan, meski dengan korban...labil ekonomi.

Saya, warga biasa. Usiaku sekarang forty three my age ya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun