Dilema menyergap saat saya saat akan berangkat ke Kompasianival 2012. Dilema antara dua pilihan: pergi menyetir mobil atau naik kendaraan umum? Nyetir sendiri: nyaman, gak keringatan, cuman macet gak ketulungan. Kendaraan umum: lebih cepat, tapi gak nyaman. Akhirnya demi menghemat waktu, saya ambil pilihan kedua.
Perjalanan dibuka dengan diantar tukang ojek di komplek ke stasiun kereta selama 15 menitan. Dalam waktu sependek itu, kami berkomunikasi, baik itu searah atau dua arah:
“Emang gak libur Pak?” “Iya, sekarang sudah gak boleh lagi ada pasar kaget Pak di komplek. Padahal itu kan lumayan bisa membantu tetangga-tetangga saya yang berdagang serabutan” “Anak saya tiga, yang kecil baru lahir tiga bulan lalu. Alhamdulillah, rejeki mah gak ke mana?”
Percakapan-percakapan seperti itu bagi saya sangat berarti karena hal itu bisa mempertajam sisi manusiawi-sosial saya. Saya jadi belajar bahwa di balik sosok luar yang cenderung kasar yang sering dialamatkan kepada tukang ojek, tersimpan sebuah kesopanan, ketulusan memberi informasi, keberanian mengemukakan pendapat dan keikhlasan dalam kehidupan.
Tiba-tiba abang ojek membelokan kendataannya dan melewati jalan tikus. Selain demi menghindari kemacetan parah di pertigaan, seperti pilihan itu diambil unuk menghindari tumpahan emosi melihat pengguna jalan yang tanpa aturan. Jalan tikus itu adalah jalan kompleks kecil atau gang-gang kecil perkampungan. Sesekali saya melewati tanah lapang yang kosong, karena becek bekas hujan semalam. Bau rumput terinjak masih bisa tercium di saat mentari Tangerang Selatan masih bercengkerama dengan awan di pukul sembilan. Bau tanah – termasuk tanah yang menimbun sawah-sawah untuk area kluster ekslusif baru – juga masih kentara. Di beberapa pinggir gang, bunga-bunga kecil warna-warni muncul. Bunga yang amat sangat biasa, namun warna-warni yang berani justru memberi asri lingkungan yang tidak terawat. Di gang-gang sempit itu pula saya banyak melihat masyarakat kelas bawah dengan kehidupannya yang berat, tetapi tetap dengan wajah tegarnya – termasuk senyumnya ketika mengejar anaknya yang bugil untuk mandi.
Keputusan abang ojek itu telah berhasil “memaksa” saya berkomunikasi dengan lingkungan dan membuka mata terhadap realitas lingkungan berupa kesegaran dan keindahan yang masih tersisa dengan derasnya tuntutan modernitas serta kerasnya kehidupan.
Turun di Stasiun kereta, saya disambut anak penyemir sepatu. Ada tiga anak yang sedang berkumpul, bercengkerama , tertawa dan berselisih, sambil menunggu konsumen. Konsumen yang hanya memberi dua ribu perak saja untuk jasa penyemirannya. Di sekelilingnya, para tukang ojeg sibuk menawari mereka yang baru turun dari kereta odong-odong – kereta Rangkas yang penuh sesak. Memang seperti terlihat adanya rebutan penumpang, padahal jarang terjadi perselisihan di antara mereka. “Tiap orang punya rejeki masing-masing, Om”, begiutu suatu ketika saya mendapat jawabannya.
Di dekat loket masih berjajar beberapa pedagang makanan kecil. Meski tidak sebanyak hari kerja, pedagang gemblong, dim sum, awug, gorengan sampai dengan sandwich mulai membereskan dagangannya. Wajahnya berwarna, ada yang sumringah, ada yang datar, namun sedikit yang memperlihatkan kekecewaan. “Whatever happened, life must goes on” mungkin begitu di benak mereka.