[caption id="attachment_155928" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Bekerja di luar negeri itu enak, sudah mah bekerja dapat uang, jalan-jalan ke negara orang tanpa perlu berhutang, dan pribadi menjadi matang. Dan itulah alasan kenapa bekerja di luar negeri itu penting bagi pemimpin atau calon pemimpin: menjadi pribadi yang matang. Berdasarkan pengalaman saya bekerja sebagai insinyur bangunan di Hongkong di era 90an selama dua tahun, beberapa hal di bawah ini akan berpengaruh ke dalam kematangan pribadi: 1. Belajar jadi minoritas, belajar menjadi bijaksana. Dari suku apa saja kita berasal, di Indonesia kita selalu menjadi pribumi. Tapi masih ingatkah dahulu, jika berhadapan dengan etnis Cina, pribadi kita menjadi berubah, menjadi rasialis. Tatapan tajam menyelidik, senyum sinis dan kecut, atau gerak badan menyerang bisa jadi pernah saya lakukan. Dan saat itu bisa jadi saya tidak merasakan perihnya hati apa yang mereka rasakan. Dan ketika berada di negara orang untuk waktu yang panjang, kita akan merasakan apa yang mereka dulu rasakan. Di Hongkong saat itu, saya merasa seperti minoritas - dan memang kenyataannya minoritas, apalagi dengan cap pendatang dari Asia bersawo matang (Asia Selatan atau Asia Tenggara) yang umumnya dianggap kuli bangunan dan pelaku kejahatan. Jadi tatkala body language mereka, tatapan mereka dan tidakan mereka yang berbeda - mungkin tidak berbeda, hanya kita saja yang merasakan berbeda, barulah kita merasa sakiiiiit, gila. Dari sinilah jika kita bisa maknai, pribadi matang sebagai orang yang egaliter serta tidak rasialis mulai muncul. Sebuah sikap yang dibutuhkan seorang pemimpin yang bijaksana. 2. Mari jalan-jalan di negara orang, mari menikmati Indonesia Tinggal dan bekerja di luar negeri dalam waktu lama tentunya akan sangat wajar jika kita berjalan-jalan, menikmati keindahan alam yang lain dari apa yang selama ini kita temui di negara sendiri. Karenanya sewaktu di Hongkong, saya menikmati hiking sendirian (kalo dipikir, gile juga ya) ke Pulau Lamma - pulau yang berbukit tidak terlalu curam, dan berjalan dari satu sisi pulau ke sisi lain pulau yang tidak terlalu luas. Saya nikmati indahnya Laut Cina Selatan yang hijau. Sementara itu bukitnya sendiri tidak ada yang istimewa, hanya padang rumput yang tidak terlalu lebat saat itu. Pada saat itulah saya mendengar sepasang suami istri setengah baya memekik 'oh God, it is beautiful'. Saya tengok kiri kanan, bingung. Mereka memekik bukan karena indahnya laut, karena saat itu kita sedang berada di tengah pulau cukup datar. Tidak juga karena adanya bunga yang indah. Mereka memekik takjub setelah melihat hijaunya padang rumput. 'it is very green, beautiful' Di situlah saya berkata: 'please, kayak gini mah kagak ada ape-apenye, puncak bogor mah jauh bagus ke mana-mana'. Sebuah sikap bangga akan negeri sendiri yang selama ini diabaikan, dicuekin atau dinafikan, hanya karena kecewa dengan sesuatu hal saja. Persis seperti keindahan sebuah bunga di semak Stasiun Sudimara yang keindahannya tidak ditoleh karena berada di semak yang kotor. Bukankah kebanggan sebagai bangsa Indonesia pada kondisi apapun adalah penting bagi seorang pemimpin? Berjalan-jalan lah di negeri orang, dan temukanlah Indonesia di hatimu. 3. Aku bisa karena aku Indonesia Sebagai seorang pegawai yang bekerja di negara orang, tentunya kita akan berkomunikasi dengan rekan dari negara yang bersangkutan, atau bahkan dari negara lainnya. Saat itu kita akan berkomunikasi dengan bahasa yang dmengerti dua pihak. Di Hongkong pula saat saya bercakap-cakap dengan rekan sederajat atau bahkan level manajer, saya terkadang menemui kesulitan memahami bahasa Inggris yang mereka lafalkan. Butuh waktu beberapa menit untuk mengerti bahwa 'djowing' yang rekan saya lafalkan adalah bukan 'drawing' tetapi 'joint'. Saat itulah perasaan bangga saya tumbuh, karena lafal bahas Inggris orang Indonesia yang saya temui terdengar lebih jelas, dan bahkan bule pun memahaminya. Itulah kan sebuah kelebihan pelafalan orang Indonesia. Dan dalam satu dua komunikasi, terkadang rekan saya menganggap enteng saya, mungkin karena wajah saya yang tampan, polos dan innocent ini (gubraks) diidentikkan dengan bodoh kali ya? Namun saat saya bertekad untuk harus 'bicara' sesuatu yang saya kuasai, saya berani mengajak rekan saya berdebat. Tatkala dalam adu debat teknis itu saya berada di jalur yang benar, dibuktikan disetujuinya kerjaan saya oleh atasan, maka saya bisa bergumam 'tuh kan saya bisa, coba kalo tadi saya diem saja, bisa salah ni kerjaan, emang orang Indonesia itu pada diem, malem berargumentasi, tapi bukan berarti bodoh coy'. Dan bukankah itu yang dibutuhkan seorang pemimpin: percaya kepada kemampuan sendiri, bisa mengartikulasikan argumentasi, dan tidak merasa rendah diri. Aku bisa karena aku Indonesia. Jadi, bekerja di luar megeri itu memang penting ya bagi calon pemimpin? Eits tunggu dulu. Jawabannya ya tergantung kepada sejauh mana seorang individu bisa memaknai semua ini. Jika dikatakan 'penting' tetapi tidak bisa memaknai, mungkin akan menjadi seperti apa yang ada di persepsi masyarakat terhadap studi banding anggota dewan - 'oh itu penting' tetapi
tidak dirasakan bukti dan hasilnya. Jika hal ini yang terjadi, ya mau bekerja di luar negeri atau di luar planet sekalipun tidak penting bagi pemimpin seperti itu. Cag, 13 Desember 2011
KEMBALI KE ARTIKEL