Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

From Sendai with Tears

19 Maret 2011   15:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:38 80 1
Gusti, Tuhanku
Kini aku bersimpuh di penghujung malam
Dalam bekunya cuaca musim dingin
Tanpa atap, tanpa jendela
Langsung bersinar rembulan tersaput awan
Dengan pakaian seadanya
Karena itulah yang tersisa

Ya Allah,
Baru kali ini sajadahku adalah bumi tempat kuberpijak
Dan kubersujud di tempat biasa kubersujud
...setidaknya menurut perkiraanku
Karena telah hilang segala jejak
Dan bumi itu pun kini kotor, hitam
Dengan berbagai bangkai
rumah, mobil, kapal dan .... manusia

Dan aku kini sendiri ...

Aku tahu ini cobaanMu Rabbi,
Aku tahu kelak aku kan kehilangan mereka
Istriku...
Anak gadisku ...
Ade bayi kembarku ...
Karena kuberfirasat akan kehilangan mereka di sekelilingku
Namun cobaanmu telak ke jantungku
Kau renggut semuanya, tidak bersisa
Dalam satu waktu

Saat bumiMu Kau suruh menggeliat,
Berdiripun bahkan kami tak mampu
Karena bangunan tempat ku tinggal bergoyang hebat
Bergoyang... seperti sedang mengolok-ngolok penyanyi dangdut dengan gaya berbagai ragam
Goyangan gempa yang terasa
kadang patah-patah
bergetar, atau menggeliat naik turun
Keras, kencang
Beruntung rumah kami hanya berstruktur kayu beratap ringan

Saat itu kami masih bersama, berempat setidaknya

Gempa yang begitu dahsyat
Istriku panik, wajahnya pucat
Pasi
Bayi-bayiku kaget
Histeris
Meski sebenarnya kami terbiasa berlatih bencana
Dan aku? Harus tenang, kan?

Di jeda goyangan, yang hanya sebentar
Kuturuti raungan sirine tanda tsunami
Seperti latihan berkali-kali
Kupaksa berkendara, menjauh bibir pantai
Karena kutahu, gelombang akan datang
Seperti datangnya kecemasan kabar si sulung yang sedang bersekolah

Di jalan yang mulus itu, kupacu mobil putih itu dengan kencang
Tak peduli ini di Sendai, bukannya Jakarta
Aku mengemudi seperti kesetanan,
Seperti dikejar hantu yang siap menerkam
Seperti menjadi penjahat yang dikejar polisi dalam filem di tivi
Dan memang aku ketakutan ya Allah

Istriku sudah lemas tidak bersuara
Wajahnya tidak ubahnya kapas tanpa warna
Diiringi tangis histeris bayi kembarku yang tidak bersuara,
Kulihat dengan sudut mata
Di kejauhan makhluk-makhluk hitam gelap berkejaran
Bak ribuan ekor kuda raksasa
Dengan kecepatan tak terkira

kutengok kaca
Dan jelas, jelas sekali di belakangku sedang mengejar sesosok raksasa
Hitam
Kelam
Tinggi, tinggiiiii sekali Gusti
Lebar-lebaaar sekali bahkan seperti beribu-ribu raksasa saling beriringan mengejar
Bergemuruh ... Menggelegar

Bagaimana aku harus tenang Ya Allah?
Aku takut
Tapi ku tak punya waktu untuk takut
Tatkala sekonyong-konyong tangan raksasa hitam itu mencengkeram mobilku
Dengan raungan memekakkan dan tetap
menggelegar
Tangan-tangan itu mempermainkan kami dalam tempo yang sangat cepat
Mengangkat mobil kami
Melemparkan ke kiri,
Ke kanan, memutar, memelintir, menggulung
Menghempaskannya keras
Keras
Bagaikan kami ini hanya sebuah boneka mainan
Dan...
Mencabik-cabik kendaraan kami
Sampai semuanya menjadi GELAP dan SESAK

Kini baru aku menangis Gusti
Jangankan melepaskan pegangan istriku
Memegang erat belahan jiwaku-pun aku tak sempat
Jangankan mempertahankan pelukan anak kembarku
Mendekap mereka pun aku tak bisa
Karena aku sibuk berkendara
Ingin menyelamatkan MEREKA

Kini air mataku baru bisa mengalir
Kerongkonganku baru tercekat
Aku kehilangan mereka
Aku rindu mereka

Telapak tangan ini masih merasakan dinginnya tangan lembut istriku
Yang memandangku pasrah: 'Yah, takdir Yah'
Dada kiri kananku ini masih tersisa hangatnya badan bayi kembarku yang meronta
Dan kepala ini masih segar memandang mereka pagi hari sebelumnya
Dengan senyum lembut dan sapa halus 'Assalamualaikum ayah. Minum tehnya dulu'
Atau sore sebelumnya
Dengan mulut menganga, bergantu senyum-senyum lucu diselingi ketawa bahagia, berjalan tertatih-tatih berlomba didekap ayah
Atau malam sebelumnya
Tatkala dengan manjanya si Kakak bertanya soal matematika. Kakak.

KAKAK? Di mana KAKAK? Ya Allah, di mana si sulung? Gusti.... Ya Allah....
Ayah macam apa aku ini?
Ayah macam apa?
Kenapa aku tidak berusaha menjemputnya di sekolah?
Kenapa?
Kini, di mana Kakak?
Kakak, maafkan ayah Nak.
Maafkan ayah Nak
Maafkan....

Ya Rabb,
Aku harus pasrah dengan takdirmu
Namun aku manusia biasa, Tuhan
Yang akan terus merasa kehilangan
Rindu
Dan merasa bersalah
Tidak pantas kubertanya, tetapi bolehkah ku memaksa, kenapa Kau biarkan aku merana?

Ya Allah,
Kau Maha Perkasa
Aku adalah hina

Maafkan aku.....
Maafkan aku.....
Maafkan Ya Rabb

Terimalah mereka, istriku, kakak dan mutiara kembarku
Jadikanlah mereka kesayanganMu
Karena bukankah Kau berikan mereka rahmatMu dalam bentuk kematian

Kuatkan aku...
Kuatkan diriku
Kuatkan ummatMu
Untuk menerima ini sebagai cobaanMu

Aku harus hadapi kehampaan ini
Aku harus hadapi kesulitan ini
Aku harus hadapi kelaparan ini
Aku harus hadapi kehausan ini
Aku juga harus hadapi dingin menusuk ini
Juga antrian ini
Harus aku hadapi
Karena aku ingin tetap hidup di jalanMu

Ya Rabb,

Berilah kasihMu untuk anak gadis yang termangu itu
Kosong..tatapan kosong
Sendiri...
di depan puing-puing tsunami
Tanpa sanak tanpa famili
Tanpa orang dewasa menemani

Berilah juga kehangatanMu untuk sosok-sosok tua renta
Yang tergolek tak berdaya
Baik sendiri atau berdua
Tanpa saudara
Tanpa keluarga
Dan tidak tahu harus ke mana

Allah Tuhanku,

Kau kuasakan bencana terjadi
Tapi Kau juga akan kuasakan semuanya akan cepat teratasi
Karena kuasaMu lah...
...Kun fayakun...

Tinggal kami,
Manusia
Harus lebih memahami

Cag, 19 Maret 2011

In memoriam para korban gempa dan tsunami di Jepang dan korban peristiwa serupa di Aceh, Mentawai, Nias, Wasior dan tempat lainnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun