Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Pengunduran Diri Pejabat BP Migas? Kejujuran Profesional ataukah Momentum Sebuah Perubahan?

25 April 2011   12:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:24 404 1
Meskipun tidak mengenal Kejutan April (April mop), bulan April mungkin bisa dikatakan bulan mengejutkan untuk BP Migas. Di bulan April ini, BP Migas - akronim dari Badan Pelaksana kegiatan usaha hulu MInyak dan GAS bumi, kehilangan dua pejabatnya yang mengundurkan diri. Mereka adalah Budi Indianto  - Deputi Operasi BP Migas dan Iwan Renaldy Soedigdo - Kepala Pengembangan Laut Dalam BP Migas. Keduanya mengundurkan diri dengan selang waktu belasan hari.

Pengunduran diri mereka dilakuan dengan alasan berbeda, namun tidak dipungkiri bahwa akan didapat pula kesan alasan yang cenderung sama.  Disebutkan bahwa Budi Indianto mengundurkan diri dengan alasan kegagalan BP Migas memenuhi target produksi sebesar 970 ribu barel minyak per hari, padahal target itu dibebankan oleh APBN dan juga dikemukakan pada saat fit and proper test. Sementara Iwan Renaldy dikabarkan mengundurkan diri karena sudah merasa tidak cocok, diistilahkan dengan pekerjaannya sudah dirasakan bertentangan dengan hati nurani, meskipun sumber di BP Migas memberi alasan bahwa Iwan mungkin saja mendapatkan tawaran di tempat lain.

Jika apa yang dikemukan berita di atas adalah benar, kita akan disajikan sebuah fenomena baru, fenomena positif. Pengunduran diri seorang pejabat publik dengan level cukup tinggi dengan alasan tidak terpenuhinya target - seperti yang dilakukan Pak Budi, atau dengan alasan hati nurani - seperti yang dilakukan Pak Iwan, adalah hal yang tidak biasa di negara kita. Sesuatu yang sudah umum terjadi di negara maju yang menjunjung profesionalitas dan meritokrasi, seperti Jepang, ternyata bisa dikatakan barang baru bagi Indonesia. Itu berarti bahwa pejabat yang bersangkutan mempunyai integritas pribadi yang baik, dan mempunyai komitmen terhadap apa yang diucapkannya dulu serta berani menerima resiko sebuah jabatan.

Integritas pribadi yang bersangkutan tercermin dari tindakannya yang dengan sadar menerjemahkan tanggung jawab secara sederhana, wajar dan profesional: jika target tidak tercapai, artinya tidak berprestasi
Jika target tidak tercapai, artinya tidak tercapai pula tolok ukur keberhasilan (istilah kerennya KPI - Key Performance Indikator)
Jika KPI tidak tercapai, artinya tidak berhasil memegang jabatan itu.

Komitmen pejabat yang bersangkutan juga tercermin dari tindakannya menepati apa yang pernah diucapkannya, baik itu ketika menyepakati target APBN pada saat fit proper test, atau sederhananya menepati dan tidak mencederai janji sebagai seorang pejabat teras yang dulu diucapkannya pada saat sakral pengambilan sumpah jabatan di bawah kitab suci agama yang diyakininya.

Dan pengunduran diri dari jabatan tersebut secara nyata memperlihatkan keberanian menerima resiko sebuah jabatan, tidak takut jadi pengangguran, tidak takut kehilangan mata pencaharian. Tindakan ini boleh jadi dan biasanya akan dilakukan oleh mereka yang benar-benar profesional, dan tahu akan kemampuan profesional dirinya sendiri.

Sementara itu pengunduran diri karena konflik bathin - atau nurani, sejatinya merupakan sebuah peringatan atau pembuktian bahwa di balik image negatif pejabat tinggi yang tidak peka (sering diidentikan dengan tidak punya nurani) - yang tersirat dari perilaku para pejabat atau anggota dewan dalam pemberitaan akhir-akhir ini, ternyata masih banyak mereka yang mempunyai nurani, yang bersih hati, yang benar-benar ingin menjadi bersih atau ingin berlaku bersih, yang ternyata bisa tahan dan tidak terbenam dalam lingkungan pekerjaan yang sudah banyak terkotori bercak-bercak noda - kolusi, korupsi, penyalahgunaan posisi, nepotisme dan narkoba. Dan pengunduran diri itu juga bisa ditafsirkan sebagai deklarasi bahwa 'saya sudah tidak bisa mengubah keadaan' atau 'cukup sudah, daripada saya terseret lebih jauh atau tenggelam dalam kemunafikan'.

Di luar dari sebuah tanya mengenai hal negatif apa yang sebenarnya terjadi sehari-hari di BP Migas, yang datang dari pernyataan "Apa yang sekarang terjadi sudah bertentangan dengan hati nurani, saya tahu seluk-beluk di sana", kita hanya bisa berharap bahwa inilah saatnya terjadi perubahan, tidak saja dalam organisasi BP Migas, tapi juga dalam organisasi atau lembaga pemerintahan, dan organisasi dan lembaga di bawahnya, dan secara umum semua bentuk organisasi bisnis, menuju ke arah profesionalisme dengan kejujuran profesionalismenya.

Bagaimana hal ini bisa menjadi awal atau batu loncatan ke arah kebaikan itu? Kunci jawabannya hanya satu: apakah ada kemauan ke arah itu. Kemauan = niat baik = good will.

Beberapa skenario bisa dijadikan contoh.

Kementrian BUMN bisa melihat hal ini sebagai pintu masuk penegakan profesionalisme, dengan penekanan pemenuhan indikator keberhasilan sebagai acuan terhadap semua lembaga BUMN. Maka jika perusahaan BUMN tidak memperlihatkan kinerja yang baik, langkah profesional yang TEGAS bisa diambil - entah itu pengunduran diri penanggung jawab perusahaan, audit ketat keuangan dan penyelenggaraan perusahaan, atau restrukturisasi organisasi agar efektif, efesien dan profitable. Dengan begitu, tidak akan terjadi pemanfaatan perusahaan BUMN sebagai sapi perahan, jabatan perusahaan sebagai batu loncatan atau tempat para mantan pejabat mempersiapkan pensiun.

Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara bisa mengambil kesempatan ini sebagai sebuah momentum untuk menempatkan KPI atau indikator keberhasilan sebagai sebuah ukuran yang harus dipenuhi. Karenanya, prioritas utama kementrian ini mungkin adalah mendeskripsikan tugas, wewenang, hak, kewajiban sebuah jabatan dengan jelas, terperinci, tidak tumpang tindih dan jelas pula kriteria penilaian prestasi dan konsekuensi ketidaktercapaian prestasi tersebut. Dari sini, kebijakan akan bisa berkembang untuk melihat keefiktifan lembaga negara, kesimpangsiuran wewenang antar lembaga dan hierarki kewenangan berbagai lembaga.

Presiden pun dalam hal ini bisa menggunakan kejadian ini untuk menggelorakan tata laksana pemerintahan yang baik, dengan memberikan KPI atau tolok ukur yang sederhana dan jelas kepada semua kementrian atau bawahannya, serta memberikan kriteria penilaian serta konsekuensi sebuah kegagalan serta menegakkannya dengan TEGAS. Mungkin salah satu poin dalam indikator keberhasilan para menteri adalah hal-hal yang secara nyata ditunggu implementasinya oleh masyarakat. Bisa saja salah satu indikator utama keberhasilan Departemen Agama adalah tersedianya pemondokan haji di ring satu tahun depan atau terpotongnya waiting list jemaah haji maksimum dua tahun. Bisa saja salah satu indikator utama keberhasilan Departemen Tenaga Kerja adalah terciptanya sekian juta lapangan kerja, dan penurunan pengiriman TKI ke luar negeri sebesar sekian persen. Bisa saja salah satu indikator utama keberhasilan Departemen Pariwisata adalah mendatangkan sekian juta wisatawan atau mendaftarkan sekian ratus peninggalan budaya ke UNESCO tiap tahun. Bisa saja keberhasilan Departemen Pekerjaan Umum adalah tidak adanya perbaikan sarana umum utama pada saat hari raya Lebaran, Natal dan Tahun Baru. Dan bisa saja salah satu keberhasilan Departemen Perhubungan adalah terciptanya transportasi massal di Jakarta pada tahun sekian. Dan ada perlunya jika indikator utama keberhasilan itu dipublikasikan, sehingga masyarakat pun bisa ikut memonitor dan mengevaluasinya. Dan jika indikator itu tidak terpenuhi, maka konsekuensi yang sudah disepakati haruslah secara tegas dilaksanakan, pejabatnya mengundurkan diri sebagai bukti tidak cakap, dan memberi kesempatan kepada mereka yang lebih kapabel untuk mengemban amanah itu.

Agar awal perubahan ini tidak hanya ada di mulut atau di benak, memang sangat dibutuhkan itikad baik - good will dari pemangku pemerintahan. Jika hal ini kemudian diikuti oleh ketegasan serta kebijakan seorang pemimpin di setiap tingkatan, insya Allah kita tidak akan melihat lagi sebuah kewajiban spesifik yang tertunda di satu periode, dan menjadi warisan untuk pejabat-pejabat di periode selanjutnya, atau bahkan tugas tersebut tidak bisa diselesaikan selama beberapa periode. Jika ini terjadi, bukankah sebuah pembangunan berarti tidak tercipta. Padahal, jika seseorang bisa menyelesaikan tugas, kewajibannya secara profesional dan tidak memberikan tunggakan kewajiban kepada penerusnya, maka pejabat selanjutnya bisa berkonsentrasi untuk memenuhi KPI yang baru, yang sesuai dengan tuntutan masyarakat saat itu.

Kita yakin dengan kuasa Tuhan Yang Maha Esa, agar para pemimpin kita mengambil kejadian pengunduran diri di BP Migas ini sebagai sebuah momentum untuk memperbaiki bangsa. Insya Allah.

Cag, 22 April 2011

Ah, seharusnya pemikiran di atas bukankah hal baru, dan sudah ada di pikiran-pikiran para pembesar negeri, mungkin sejak lama. Namun, kenapa tidak terlihat ada implementasinya? Oh, terlalu banyak hal yang perlu dipertimbangkan, demi membuat keputusan yang bisa mengakomodasi dan diterima semua kalangan. Begitu mungkin alasannya. Padahal sebagai pemimpin, tidaklah mungkin bisa membuat keputusan yang menyenangkan semua pihak. PASTI ada yang tidak puas. Bukankah tugas pemimpin adalah memimpin dan mengelola resiko ketidakpuasan tersebut? Ketegasan pemimpin akan lebih dibutuhkan demi kepastian kesinambungan perjalanan sebuah rencana dibandingkan dengan sikap akomodatif tak berujung.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun