Tanpa sadar, jeroan ternyata adalah kesukaanku. Jika ditanyakan apa masakan kesukaanku, ibuku mungkin akan berkata 'sambel goreng ati', kakakku mungkin nyeletuk 'pepes usus Euceu Hayam', istriku mungkin bilang 'babat raweuy Ampera' dan anakku mungkin bergumam 'bubur ayam Mang Edi sama sate usus-ati-ampela'. Itulah aneka jeroan yang ternyata sering saya konsumsi. Siapa yang bisa menampik harumnya kalilipa, soto betawi, tamusu atau kurupuk paru. Apalagi jika diolah dengan aneka rempah-rempah yang amat sangat mengundang selera. Hmm...kelezatan tak terperikan.
Padahal, siapa yang menyanggah bahwa memakan jeroan itu berpengaruh kepada kesehatan. Kolesterol lah, asam urat lah, pusing lah, tekanan darah naik lah, stroke lah, dan banyak keluhan lainnya. Tapi itulah kutukan jeroan, informasi kesehatan valid itu masuk telinga kiri dan tertangkap mata, nyaris hanya mampir sejenak di otak, dan wes ewes ewes, bablas keluar telinga kanan. Lalu, semua indera, pengecap, pencium, peraba menikmati keindahan kesedapan dan kelezatan jeroan.
Dan pagi itulah aku menjatuhkan 'talak' dengan jeroan. Bukan karena faktor kesehatan yang mendasarinya, meskipun ujungnya kesehatan itulah yang diharap. Perpisahanku dengan jeroan terjadi tatkala pagi itu seperti biasanya aku makaan bubur di bibir sebuah komplek perumahan. Bubur yang terkenal nikmat itu saya nikmati, dan terasa tambah lezat karena perut sedang dalam kondisi lapar kelas gawat.
Kemudian kuambil dua tusuk sate ati ampela dan usus yang terasa enak di lidah. Di tengah suasana pengunjung lain dengan kenikmatannya masing-masing, pada satu suapan saya terkejut. Kok pahit sekali. Saya berpikir mungkin itu kerikil kecil, tapi kok tidak terasa gemeretak. Kemudian saya sadar yang terakhir saya makan adalah sate ati-ampela. Gosong kali?
Lalu saya ambil sate ati itu dan saya perhatikan dan selidiki. Ternyata atinya tidak gosong. Tapi, eits itu apa di sebelahnya masih menempel? (Silakan dilewati jika tidak kuat). Tanpa menunggu komando, wajahku sedikit pucat, badan sedikit lemas. Yang parah adalah apa yang tadi sudah masuk terasa mulai balik naik ke mulut. Terasa mual yang sangat, karena yang kusaksikan tepat di depan mata dan sedan kupegang adalah sebuah usus yang menempel dengan ati, dan terlihat terpotong gigitanku. Yang membuatku shocked berat adalah sebuah warna hijau di dalam usus itu, dan otakku jelas tahu apa itu. Kotoran ayam. Wueeekkkk..... (Maaf).
Itulah saudaraku yang membuatku trauma. Makan siang dan makan malam hari itu tidak lagi enak. Suwer, bayangan itu terus menghantui, sampai hari esoknya. Dan rasa mual itu langsung tumbuh setiap saat kuingat hal itu.
Lalu aku sadar kenapa banyak bule menghindari jeroan, dan di beberapa negara tidak akan ditemui jeroan di supermarket atau pasar. Ya itulah, tidak higienis. Jika kita telusuri dengan sadar, jeroan itu memang penuh dengan kotoran. Jika kita tidak pintar-pintar membersihkannya secara teliti, atau mengolahnya secara ekstra hati-hati, boleh jadi ada beberapa bagian yang masih tertutup dan tidak terkena air cuci atau minyak mendidih atau air menggolak.
Itulah yang menjadi alasanku berhenti makan jeroan. Saya jadi tidak terlalu yakin lagi akan kebersihannya, apakah tidak ada kotoran tersisa di dalam usus, atau diantara lembar-lembar kecil babat raweuy. Maaf, tulisan ini bukan untuk mengajak boikot jeroan, karena keputusan pastinya ada di tangan anda. Tulisan ini lebih mengajak perhatian kepada kehigienisan.
Cag, 1 April 2011
Tulisan ini bukanlah sensasi April fool. But the day fooled me (bener gak bahasanya)