di dermaga
bau amis ikan dan liat buruh angkut
saat lampu-lampu perahu melintas kapal
menunggu tambatan hati berlabuh di pinggir
di antara lambai, deru tangis bersama
pluit panjang itu
terlarut dari prolog basa-basi
dan epilog tanpa penjelasan
bersama selintas nyanyi harmonika
dawai biola melewati lorong-lorong
becek, jalanan yang tak mengerti
pada saat mana harus berpisah
memuluskan masa ketika bertemu
entah di mana, kalau saja dermaga itu masih
anggun menunggu mimpi yang tersusun
dari puzzle wajah yang terserak