Setelah berhasil membagi-bagikan koran dan majalah kepada pelanggan, aku pastikan akan duduk di bawah pohon mangga Kadek, sambil melihat anak-anak mandi di sungai. Sekaligus aku tenggelam dalam dunia kata-kata. Ya, aku memang maniak membaca.
Maka kala Ayah menanyakan apakah aku mau menggantikannya meloper koran, sebab encoknya sering kambuh karena faktor usia, aku pun menjawabnya dengan melonjak meninju langit. Kupeluk Ayah dengan suka cita. Membaca lebih enak bagiku ketimbang ayam panggang spesial buatan Ibu.
Aku juga bisa bertahan tak makan siang bila sedang mendapat cerita menarik dari koran atau majalah. Hasilnya dapat ditebak, ada bilur-bilur bekas lidi kelapa di betisku. Ibu paling tak suka aku sakit karena tak makan. Dia malu, karena baginya, tidak makan itu artinya orang miskin.
Ayah tentu mengajak Ibu berbincang di teras rumah. Dia membelaku. Ayah katakan jangan terlalu keras memarahiku. Ibu akan membela diri seperti yang sudah, mestinya membaca tak melupakanku akan arti makan.
Biasanya Ayah diam. Ketika bangun pagi, Ibu akan memandikanku, meski malu rasanya dimandikan karena sudah tamat esde. Serampung mandi, akan kutemukan secangkir susu dan sepinggan nasi goreng spesial bertabur abon di meja makan. Selalu begitu. Ibu suka marah-marah kepadaku, tapi dia akan memperbaiki tingkah lakunya menjadi baik-baik saja, seolah dia ibu yang paling anti marah sejagat.
Kembali ke urusan mengantar koran dan majalah ke pelanggan, di hari kelima bertugas, saat itulah aku bertemu perempuan berambut kepang dua dengan lesung pipit sebelah kanan. Manis sekali. Aku mengangsurkannya majalah wanita dewasa dengan dada berdesir. Ah, anak kelas satu esempe, apakah wajar jatuh cinta?