Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Batu Nisan

3 Maret 2012   12:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:34 3253 0

Mat Saleh melangkah lebih cepat. Kali ini langkahnya tergesa-gesa, bukan karena ramainya jalan kecil yang sedang diseberanginya, bukan pula karena jam tangan tak bermerk di pergelangan tangan kirinya telah menunjukkan bahwa ia terlambat masuk kerja. Bukan. Bukan itu. Dia sudah terlalu mahir menyeberangi jalan yang cukup ramai yang sudah lima belas tahun terkhir ini biasa dilaluinya ketika berangkat kerja. Sedangkan jam di tangannya itu baru menunjukkan pukul 13.30 WIB. Itu berarti ia akan sampai di pabrik tempatnya bekerja lima belas menit lebih awal.

Jalan satu arah itu memang bukan jalan raya, namun cukup ramai lantaran merupakan jalan masuk ke sebuah terminal kecil di Surabaya yang hanya berjarak beberapa ratus meter di belakang kontrakan mini milik Mat Saleh. Terminal itu memang bukan terminal besar. Namun bagaimanapun juga, selama terminal itu masih berfungsi, tak akan pernah ada kata sepi meski itu di malam hari. Deru suara mesin, deretan bunyi klakson baik angkot maupun mini bus, suara pengamen, juga tak ketinggalan kata-kata kasar para kenek dan sopir yang biasa mangkal di terminal itu sudah diakrabinya selama lima belas tahun terakhir, sejak ia meninggalkan kampung halamannya, sebuah dusun kecil di Kota Kediri, untuk mencari nafkah di ibukota provinsi Jawa Timur itu.

Mat Saleh masih berjalan tergesa-gesa, matanya tak lepas menatap tanah seperti sedang mencari uang jatuh. Ada yang sedang dipikirkannya, sesuatu yang tak seorang pun tahu kecuali dirinya. Bukan tentang studi banding soal pangan yang dilakukan para anggota dewan ke India dan Jepang, bukan tentang kasus kemanusiaan di Mesuji, bukan pula bentrok akibat feodalisme sektor tambang di Bima. Semua itu terlalu jauh dari pikirannya. Celetukan-celetukan di warung nasi Lek War bersama sopir dan kenek-kenek terminal, juga tetangga-tetangga kontrakannya tentang masalah sosial dan pemerintahan semakin tak menarik perhatiannya belakangan ini. Seolah sedang menjalani mimpi buruk dalam hidupnya, Mat Saleh kehilangan selera terhadap hal-hal yang selama ini disukainya. Pikirannya terganggu, ada sesuatu yang amat memukul dirinya, menggiringnya dalam sudut ketidakberdayaannya, menjadikan sosok Mat Saleh yang biasa terlihat gahar, banyak bicara dan ceplas-ceplos itu seketika menjadi manusia pendiam dan pemurung.

Segera setelah sampai di tepi jalan, seperti biasa Mat Saleh berjalan melewati gang kecil di sebelah pertokoan yang kemudian tembus ke sebuah jalan raya, dan akan menyeberang jalan lagi untuk yang kedua kalinya. Di tepi jalan raya itu juga terdapat sederet pertokoan, mulai dari toko kain, toko gerabah, toko emas, dan banyak toko-toko kecil lainnya.

Setelah menyeberang jalan untuk yang kedua kalinya, seperti biasa Mat Saleh berjalan ke kiri, melewati halaman pertokoan yang berjarak beberapa ratus meter dari pabrik tempatnya bekerja. Mat Saleh menghela nafas panjang. Seperti de javu, ketika setiap langkahnya kemudian terasa semakin berat menapaki halaman toko demi toko, persis seperti slow motion di film-film laga Hollywood. Seperti diejanya dalam hati deretan toko-toko yang sudah dihafalnya di luar kepala itu. Tiga toko perhiasan, toko gerabah, dua toko kain, toko obat kuat cina, toko perhiasan lagi, toko sembako, sebuah percetakan, satu per satu telah terlewati. Sekali lagi Mat Saleh menghela nafas panjang. Kali ini giliran sebuah toko kecil yang akan dilewatinya, sebuah toko penjual batu nisan.

Langkah Mat Saleh semakin terasa berat. Seperti tiba-tiba saja tuli, suara kendaraan yang begitu ramai di jalan raya itu sama sekali tak terdengar di telinganya. Langkahnya yang berat itu kemudian terhenti tepat di depan toko batu nisan. Diangkatnya kepalanya menengok toko itu. Sepi. Bahkan Uak Kaji, begitu pemilik toko itu biasa disapa, tak terlihat di tokonya. Mata Mat Saleh kemudian tertuju pada sebuah batu nisan yang terletak di bagian paling bawah dan ditata paling depan. Memang hanya batu nisan biasa. Bahkan mungkin hanya terbuat dari campuran semen dan pasir, bukan marmer. Namun tulisan di batu nisan itulah yang membuat batu nisan sederhana itu berhari-hari telah begitu banyak menyita pikiran Mat Saleh.

Diingat-ingatnya lagi tanggal hari ini. Empat belas Desember. Ya, empat belas Desember dua ribu sebelas. Dan itu berarti…

“Dua minggu lagi…”, gumam Mat Saleh dalam hati. Matanya mulai berkaca-kaca, mengikut hatinya yang tiba-tiba pias.

Ya. Di batu nisan itulah, telah terukir sebuah nama, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal kematiannya.

AHMAD SOLEH| LAHIR: 05 APRIL 1971| WAFAT: 28 DESEMBER 2011

Ah, kebetulan macam ini. Benar-benar kebetulankah? Atau memang kebetulan? Ya, semoga saja kebetulan. Pasti bukan dua ribu sebelas. Pasti orang yang menulisnya salah tulis. Pasti dua ribu satu. Benar. Pasti seharusnya dua ribu satu. Mat Saleh mengira-ngira dalam hati. Belum pernah ditemuinya satu pun batu nisan yang dijual ditulis dengan tanggal wafat yang belum terlewati. Semua selalu ditulis dengan tahun-tahun yang telah lalu. Dua ribu lima, dua ribu enam, dua ribu tujuh, atau bahkan hanya tertulis tanggal dan bulan saja tanpa tahun. Mat Saleh membatin, mencoba untuk tidak terpengaruh, mencoba untuk mempertahankan ketenangan hatinya yang sebenarnya telah hilang berhari-hari yang lalu. Ya, ini kebetulan. Jelas tak ada yang bisa mengatur umur manusia selain Gusti Allah. Orang yang menulis nama, tanggal lahir dan tanggal wafat di nisan itu jelas asal tulis, karena sudah bisa dipastikan tidak mungkin manusia bisa bertanya kepada Malaikat Izroil. Ya. Tak ada yang tahu. Bahkan mungkin Izroil pun tak tahu. Itu jelas kebetulan. Tapi, kebetulan macam apakah yang sedang didapatinya kini? Kebetulan yang sedikit tidak masuk akal, bahkan memang tidak masuk akal.

ACHMAD SOLEH. Begitu nama yang tertulis di akte kelahiran Mat Saleh yang kini tak tahu kemana jluntrungannya. Hanya berbeda satu huruf dengan nama di batu nisan itu. Namun dengan tanggal lahirnya? Ah, pembelaan yang dicari Mat Saleh terhadap ketenangan hatinya seketika kalah. Tanggal lahir yang tertulis di batu nisan itu sama persis dengan tanggal lahirnya. Dan dengan tanggal kematian yang tertulis di batu nisan itu pula, jelas kemudian hatinya menjadi tak karu-karuan sejak melihat batu nisan itu, tepatnya dua minggu yang lalu ketika tanpa sengaja ia berteduh karena hujan deras mendadak turun saat perjalanannya pulang dari pabrik. Kegalauan hati yang tiba-tiba datang pada Mat Saleh saat itu seolah tak dipahami oleh Uak kaji. Laki-laki tua yang mungkin karena profesinya sebagai penjual batu nisan sehingga membuatnya selalu memegang tasbih itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepala ketika melihat Mat Saleh, seolah isyarat mempersilahkan Mat Saleh untuk berteduh di depan tokonya.

Mungkinkah Mat Saleh harus meninggal di usia yang terbilang masih cukup muda? Sedangkan ia tidak dan belum pernah menderita penyakit berat apapun. Dia merasa sehat dan selalu sehat, bahkan seumur hidupnya, sekali pun ia belum pernah merasakan terbaring lemas di kasur rumah sakit. Jadi kemungkinan ia tiba-tiba menghembuskan nafas terakhir amat kecil. Tapi, siapa yang bisa menjamin? Bukankah datangnya kematian itu tidak harus didahului sakit terlebih dulu? Ah, untuk kesekian kalinya ia kalah lagi.

“Woiii, Cak. Jangan di tengah jalan!”, teriak seorang pengendara sepeda motor sambil membunyakan klaksonnya yang tiba-tiba saja ada di sebelah Mat Saleh. Spontan saja lamunan Mat Saleh buyar. Dia lantas minggir sambil mengucapkan maaf. Batu nisan itu benar-benar telah menghilangkan kesadarannya. Dia lupa, halaman pertokoan itu memang selalu ramai oleh kendaraan yang parkir. Dilihatnya jam tangan yang melingkar di tangannya, dan ia sedikit terkejut ketika diketahuinya dia sudah telat sepuluh menit masuk kerja, tidak seperti perkiraan awalnya bahwa dia akan lima belas menit lebih awal sampai ke pabrik.

Mat Saleh tak bisa tenang. Beribu kali dia mencoba menenangkan hatinya dengan mempercayai bahwa itu semua adalah kebetulan belaka, namun beribu kali pula kenyataan itu memaksanya untuk percaya bahwa semua yang dianggapnya kebetulan itu ada maksudnya, yakni sebagai peringatan baginya untuk bersiap-siap kembali kepada-Nya. Ya, mungkin Gusti Allah tidak tega melihat dirinya kembali pada-Nya tanpa bekal apa-apa. Karena selama ini, terutama sejak dia meninggalkan kampung halamannya dan tinggal di Surabaya, kehidupan Mat Saleh bisa dibilang semakin jauh dari agama.

Dia sudah berubah dari Mat Saleh pemuda kampung yang rajin ke mushollah dekat rumahnya untuk adzan dan sholat berjamah, menjadi Mat Saleh yang kini telah bermetamorfosis menjadi masyarakat pinggiran, bergaul dengan berbagai macam manusia terutama orang-orang terminal yang terkenal dengan bahasa suroboyoan yang amat kasar, doyan minum dan tak jarang juga ikut berjudi ketika ada pertandingan bola di televisi, juga sesekali mengunjungi gang dolly, kawasan yang terkenal sebagai pusat prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Jangankan untuk pergi ke masjid, bahkan sarung dan sajadahnya pun ia tak tahu kemana perginya. Dia ingat setidaknya ada empat buah sarung, sebuah sajadah peninggalan almarhum bapaknya, dan sebuah kopyah hitam yang dibawanya ketika pertama kali tinggal di Surabaya. Namun kini entah kemana barang-barang religinya itu pergi. Kalaupun ada sarung di kontrakannya, itu hanya satu dan sudah bolong di sana-sini, yang dipakainya sebagai selimut ketika tidur atau dislempangkan di bahunya ketika cangkruk di warung Lek War.

Pikiran Mat Saleh benar-benar terganggu. Apalagi kalau bukan pekerjaannya sebagai buruh kasar yang terkena imbasnya. Berkali-kali ia melakukan kesalahan di tempat kerjanya. Dalam hati, Mat Saleh semakin gelisah. Kalau kesalahan-kesalahan itu selalu terjadi setiap kali ia bekerja, bukan tidak mungkin ia akan dipeberhentikan dari pekerjaannya, pekerjaan yang dirasanya sudah lebih dari cukup untuk seorang lulusan SD sepertinya. Sekolah Menengah Pertama tak sampai setahun dijalaninya. Apalagi kalau bukan alasan ekonomi, karena orang tuanya hanya sorang buruh tani, sedang dia adalah anak pertama dari lima bersaudara. Yah, dia harus melakukan sesuatu. Dia tak bisa diam saja dengan pikirannya yang terusik oleh masalah sepele seperti itu. Dia harus berbuat sesuatu.

Mat Saleh terpaku menatap benda persegi panjang abu-abu yang kini berada di kamar kontrakannya itu, apalagi kalau bukan batu nisan. Mat Saleh telah mencuri batu nisan yang bertuliskan namanya itu dari toko Uak Kaji, saat perjalanan pulangnya dari pabrik semalam tadi. Mencuri? Ya, mencuri. Itu terpaksa dilakukan Mat Saleh karena tentu saja ia tak mungkin membeli batu nisan itu. Mat Saleh tahu pasti, seandainya ia nekat membeli batu nisan itu, tentu ia akan mendapat pertanyaan ‘siapa yang meninggal?’, dan tentu saja Mat Saleh tak mungkin menjawab ‘saya’.

Mat Saleh hanya ingin mencari ketenangan, itu saja, tidak lebih. Kehadiran batu nisan itu sudah amat mengusik ketenangan jiwanya. Untuk meminta Uak Kaji agar tak memajang batu nisan itu di depan tokonya, Mat Saleh tak berani. Ia merasa malu jika orang lain sampai tahu bahwa hal sepele seperti itu bisa membuatnya kebakaran jenggot. Mat Saleh hanya ingin batu nisan itu tak terlihat lagi. Itu saja. Dan memang bukan hal yang susah untuk mencurinya lantaran di malam selarut itu saat ia pulang menuju kontrakan, toko Uak Kaji sudah tutup. Dan sudah menjadi hal yang biasa bahwa laki-laki tua berpeci putih itu tak pernah memasukkan batu nisan-batu nisan kecil dagangannya, yang sepertinya mempunyai harga paling murah di antara semua batu nisan yang dijual disana.

Alih-alih berharap mendapatkan sedikit ketenangan dengan mencuri batu nisan itu, pikiran Mat Saleh justru semakin tak karu-karuan. Kehadiran batu nisan itu di kamarnya semakin membuatnya ketakutan. Kematian akan segera menjemputnya. Begitu isi otaknya beberapa hari ini. Ia menghela nafas panjang. Panjang sekali. Mungkin itulah nafas terpanjang yang pernah diambil selama hidupnya. Matanya berkaca-kaca menatap batu nisan itu. Bukan. Bukan karena namanya tertulis di batu nisan yang amat sederhana, bukannya di nisan marmer yang indah berkilat. Bukan. Bukan itu. Terbuat dari marmer sebagus dan semahal apapun, tetaplah tak ada kebanggaan mengukir nama di atasnya. Batu nisan tetaplah batu nisan, meski terbuat dari bongkahan emas sekalipun.

Air mata Mat Saleh menetes. Ditatapnya lekat-lekat batu nisan itu kembali. Diejanya kembali huruf demi huruf yang tertera disitu.

AHMAD SOLEH. ACHMAD SOLEH.

Tak ada bedanya. Keduanya memiliki arti yang sama. Samar-samar terlihat bayangan emak dan almarhum bapaknya melintas di kepalanya. Dua orang yang amat berarti baginya itu, tentu tak sembarangan memberikan nama untuknya. Nama adalah doa. Dapat dipastikan kedua orang tuanya itu berharap anaknya bisa menjadi orang soleh, yang taat pada Gusti Allah tentunya. Namun apa yang terjadi padanya kini? Ia sudah tak soleh lagi. Tak bisa dihitungnya sudah berapa kali ia mabuk cukrik, tak bisa dikira-kiranya sudah berapa banyak ia kalah taruhan judi, tak mampu diingatnya berapa kali ia mengunjungi gang dolly, terlebih lagi tak mampu diingatnya ilmu tauhid, fiqih maupun aqidah dari kitab-kitab yang pernah ia pelajari dari Ustad Syaiful di desa dulu. Ihya’ Ulumuddin, Fathul Qorib, Khoridatul Bahiyah, Taysirul Kholaq, dan entah apalagi nama kitab-kitab itu, ia lupa, apalagi dengan isinya. Bahkan tak bisa diingatnya sudah berapa lama ditinggalkannya sholat lima waktu. Sebuah Alqur’an kecil yang pernah dibawanya dulu pun entah kemana perginya. Ah, bahkan ia tak yakin masih bisa membaca puisi cinta yang ditulis dalam deretan huruf arab itu atau tidak.

Beruntungnya, Mat Saleh sudah hafal di luar kepala bacaan-bacaan sholat, sehingga ia tidak perlu susah payah berusaha menghafalnya lagi, ketika beberapa hari yang lalu ia mulai mencoba mengambil air wudlu, saat adzan subuh dini hari itu terasa seperti godam yang menghantam dadanya. Sedikit kikuk memang ketika setelah sekian lama ia tak pernah menyentuh air wudlu, namun mampu juga diingatnya urutan-urutan wudlu meskipun itu setelah melalui beberapa kali pengulangan.

Ya. sudah beberapa hari ini Mat Saleh mulai mencoba mengembalikan diri seorang Mat Saleh seperti dulu. Meski tidak bisa benar-benar menjadi soleh, paling tidak ia tidak terlalu jauh dari soleh. Begitu pikirnya. Hanya gara-gara batu nisan? Ya. Mungkin terdengar seperti lelucon. Tapi begitulah, nyatanya banyak orang di dunia ini takut mati, tak terkecuali Mat Saleh yang seolah sudah diberi tahu kapan Izroil akan menjemputnya. Bahkan tak hanya Mat Saleh, mungkin setiap orang jika diberitahu bahwa masa kontraknya di dunia ini akan segera habis, akan melakukan hal yang sama, mendekatkan diri pada yang Maha Kuasa, bagi yang masih percaya adanya Tuhan tentunya.

Stuck pada titik nadir. Mungkin seperti itulah Mat Saleh. Berhari-hari ia terkurung pada titik yang terasa tak pernah berakhir itu. Tersiksa? Ataukah harus bahagia karena bisa bersiap-siap menunggu ajal tiba? Ah, entahlah. Dimana-mana yang namanya kematian selalu menakutkan, terlebih untuk orang sepertinya yang sudah teramat jauh berjalan keluar dari rel yang dulu pernah diarahkan oleh orang tuanya.

Masih diingatnya ketika isya’ malam tadi untuk pertama kalinya Mat Saleh memberanikan diri berjamaah ke mushollah yang terletak tepat di pojok terminal, sambil mengenakan baju koko yang memang sudah tidak bisa dibilang bagus lagi, juga sarung yang biasa dipakainya cangkruk di warung Lek War, dekat kontrakannya. Ya, dengan penampilan seperti itu semua orang sudah bisa menebak hendak kemana perginya Mat Saleh. Beberapa pasang mata menatap penuh arti. Termasuk Wawan, bocah dua belas tahun yang dari kecil biasa ngamen di terminal dan sering ikut cangkruk juga bersamanya.

“Mau ke musholla, Cak?”, sapa Wawan malam itu.

Mat Saleh hanya menoleh sebentar, tanpa kata, tanpa senyum. Dia terus melangkah tanpa memperdulikan Wawan yang masih melongo melihatnya. Mat Saleh tak peduli. Semua harus berubah. Harus berubah. Keadaan berat seperti ini akan segera berakhir, seiring dengan usianya yang akan ditutup oleh-Nya. Ia yakin. Begitu Mat Saleh terus melangkah, meskipun kemudian mentalnya diuji lagi ketika sepulangnya dari mushollah, melewati sekumpulan teman-teman cangkruknya, tak terkecuali Cak Darto, Cak Anam, Wahyu dan Rukin, yang kesemuanya adalah teman-teman yang tinggal di sebelah kontrakannya.

Jancuk, Leh. Kowe ngipi opo kok iso tobat ngunu? (Kamu mimpi apa kok bisa tobat begitu?)”, ucap Cak Darto waktu itu melihat Mat Saleh pulang dari musholla.

“Oleh hidayah teko endi? Awakmu tenanan opo guyon iku? (Dapat hidayah dari mana? Kamu serius apa main-main?)”, sahut Cak Anam yang kemudian disusul tawa dari teman-teman yang lain.

“Wes toh, Kang. Wong tobat kok diolok-olok. Sampeyan dewe wes, kapan terakhir sampeyan nyambangi mesjid? (Sudahlah, Kang. Orang tobat kok diolok-olok. Sampeyan sendiri, kapan terakhir kali datang ke masjid?)”, bela Lek War mendengar Mat Saleh diolok-olok.

“Lah kok dadi aku sing peno lok no seh, Lek? Wah, Saleh nduwe pengacara iki. (Lah kok jadi aku yang kamu marahi, Lek. Wah, Saleh punya pengacara sekarang.)”, ujar Cak Darto menjawab pertanyaan Lek War.

Mat Saleh tak menyahut. Ia hanya menoleh sebentar, tanpa senyum, tanpa perlawanan, lantas tetap berjalan dan kemudian mengunci diri di kontrakannya. Dibiarkannya orang-orang itu membicarakan dirinya. Ia tak peduli dan tak mau peduli. Betapa saat itu adalah saat-saat berat yang dihadapinya, saat teman-teman yang biasa cangkruk bersama mencibirnya, seolah bertobat adalah suatu kesalahan besar yang dilakukannya. Hati Mat Saleh sempat goyah sebelum kemudian dilihatnya kembali batu nisan itu di kamarnya, di pojok ruangan sebelah lemari usang yang telah kehilangan salah satu kakinya. Dengan melihat batu nisan itu, Mat Saleh kembali kuat hatinya. Cibiran teman-temannya itu sama sekali tak memiliki arti dibanding dengan kematian yang sebentar lagi akan datang padanya. Ah, rasanya tak ada lagi yang lebih penting selain mempersiapkan kematian, sekalipun Mat Saleh juga tidak tahu, masihkah Gusti Allah mau memberikan surga-Nya untuknya atau tidak.

Mat Saleh sempat tak percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya. Hanya sebongkah batu. Ya, sebongkah batu yang sejatinya tak akan pernah diharapkan dimiliki oleh siapapun. Sebongkah batu yang dengan sekejap mampu membalikkan hidupnya nyaris seratus delapan puluh derajat. Sebongkah batu itu, telah membawanya ke titik nadir, mengurungnya berhari-hari disitu tanpa jalan keluar, bahkan mungkin memang tak ada jalan untuk keluar.

Mat Saleh melangkah pelan, seperti langkahnya beberapa hari terakhir ini. Beberapa hari ini jam kerjanya mendapat giliran shift pagi, sehingga malamnya ia bisa mengikuti sholat berjamaah. Malam itu langkahnya sepulang dari jamaah sholat isya’ di mushollah terasa semakin berat. Matanya tak lepas menatap tanah di sepanjang jalan yang dilaluinya. Dalam hati ia terus-terusan membatin, sebentar lagi atau bahkan beberapa jam lagi ia juga akan berada sejajar dengan tanah yang kini diinjaknya. Ah, tidak. Bukan sejajar, tapi tepatnya di bawah tanah yang kini diinjaknya.

“Ya Allah, bahkan aku pun lebih rendah dari tanah, meskipun aku Kau ciptakan dari mereka juga.”, Mat Saleh berkata dalam hati.

Diingat-ingatnya kembali ketika beberapa hari yang lalu tanpa sengaja ia melewati jalan di sebelah komplek pemakaman. Hatinya sempat teriris ketika melihat jajaran batu nisan itu seolah berbaris rapi menunggu kedatangan nisan baru bertuliskan namanya. Ah, Mat Saleh semakin gila. Betapa Tuhan telah menjungkirbalikkan otaknya. Tapi, oh, mungkin bukan Tuhan, tapi justru ke-GR-annya sendiri yang telah menganggap batu nisan-batu nisan itu seolah-olah memanggilnya. Ya, mungkin seperti itu. Tapi toh, bagaimanapun rasanya, ke-GR-an seperti itu jelas tak pernah diharapkan siapapun. Siapapun, tak terkecuali dirinya.

“Leh… Saleh. Mandeko sek, Leh. (Leh… Saleh. Berhentilah dulu, Leh.)“, teriak Cak Darto dari warung Lek War saat melihat Mat Saleh berjalan tertunduk.

Mat Saleh menoleh. Di warung kecil yang buka hampir seharian penuh itu, seperti biasa Mat Saleh bisa melihat teman-teman yang selama ini selalu menemaninya menghabiskan malam sampai pagi dengan main catur, main remi, bahkan minum. Dilihatnya Cak Darto berdiri. Sopir angkot itu kemudian berjalan ke arah Mat Saleh yang masih saja tak beranjak barang selangkahpun dari tempatnya berdiri. Ah, entahlah. Celoteh macam apa lagi yang akan diterimanya setelah beberapa hari ini rutin didengarnya. Hufft, tiba-tiba Mat Saleh berharap Tuhan menjadikan kedua telinganya tuli.

“Leh, koen nesu karo aku ta? (Leh, kamu marah sama aku ya?)”, tanya Cak Darto kemudian.

“Gak, Cak.”, jawab Mat Saleh lirih tanpa berani menatap wajah laki-laki tinggi, besar dan hitam yang kini berdiri tepat di hadapannya itu.

“Koen kok wes gak tau cangkruk karo arek-arek? Yo wes, gak popo. Tak regani keputusanmu koyok ngene. Tapi mosok iyo, awakmu wes alim ngunu terus gak gelem gembul karo arek-arek? Opo awak-awak’an iki wes najis gawemu? (kamu kok sudah nggak pernah nongkrong sama anak-anak? Ya sudah, nggak apa-apa. Aku hargai keputusanmu. Tapi apakah harus begitu, kamu sudah alim lantas tak mau lagi bergaul dengan aku dan anak-anak dan menganggap kami najis?)”, tanya Cak Darto dengan suara beratnya. Meski kali ini dia mencoba sehalus mungkin berbicara, namun itu tak dapat menyembunyikan nada protes di dalam kalimatnya. Mat Saleh menghela nafas panjang. Tak disangkanya Cak Darto akan berkata demikian.

“Gak, Cak. Gak ngunu. Wes ta lah, aku gak nesu karo sampeyan kabeh. Tolong lah, aku gak iso cerito. Mene sampeyan lak yo ngerti dewe (Nggak, Cak. Sudahlah, aku nggak marah sama sampeyan semua. Tolong lah, aku nggak bisa cerita. Besok sampeyan akan tahu sendiri.)”, jawab Mat Saleh pasrah. Dia tak tahu harus menjawab apa lagi, karena untuk mengatakan bahwa dirinya akan mati, itu jelas tidak mungkin.

“Maksudmu opo seh, Leh? Koyok arep mati ae. (maksudmu apa sih, Leh? Seperti orang mau mati saja)”, tanya Cak Darto lagi.

Mat Saleh diam tak menjawab. Dia lantas hendak melangkah lagi menuju kontrakannya, namun buru-buru di cegah oleh Cak Darto.

“Sek ta, Leh. Engko disek. Yo wes lah nek ngunu. Tapi iki aku mari oleh rejeki. Ayo mariki melok melek’an yo. Wes tah, aku janji gak bakal ngajak awakmu maneh. Iki sing terakhir. Pisan iki ae. (Sebentar, Leh. Sebentar dulu. Ya sudah kalau begitu. Tapi, hari ini aku baru dapat rejeki. Ayo ikut melek’an ya. Sudah lah. Aku janji nggak akan mengajakmu minum lagi. Ini yang terakhir. Sekali ini saja.)”, bujuk Cak Darto kemudian.

Mat Saleh menarik nafas. Yah, apalagi. Kalau Cak Darto mengatakan ‘melek’an’, sudah bisa dipastikan itu adalah kata lain untuk pesta miras, begitu yang sering juga diikuti oleh Mat Saleh. Entah rejeki macam apa yang sudah diterima Cak Darto, dapat penumpang banyak atau mungkin nomor yang ia pasang tembus lagi seperti biasanya, entahlah, Mat Saleh tak mau tahu. Yang jelas ia sudah kehilangan selera untuk minum, meskipun dari kesemua teman-temannya itu, Mat Saleh termasuk salah satu yang paling kuat minum, dan hanya di saat-saat tertentu saja ia minum sampai teler. Dia hanya ingin segera beranjak dari tempat itu secepatnya lalu mengurung diri di kontrakannya seperti malam-malam yang lalu.

“Ayok lah. Biasane koen melok. Mosok saiki gak? (ayo lah. Biasanya kamu ikut. Masak sekarang enggak?)”, bujuk Cak Darto lagi.

“Sepurane, Cak. Temen, sepurane. Gak iso aku. (Maaf, Cak. Maaf sekali. Aku nggak bisa.)”, jawab Mat Saleh memohon sambil melangkah maju, mencoba melawan Cak Darto yang masih menahannya.

“Wes Cak, jarno. Yo wes nek Saleh gak gelem melok. Iki jek onok arek-arek. (Sudah Cak, biarkan. Sudahlah kalau Saleh nggak mau ikut. Masih banyak anak-anak disini.)”, sahut Cak Anam tiba-tiba yang sedari tadi mengamati mereka dari warung. Cak Darto kemudian pasrah, membiarkan Mat Saleh melangkah meninggalkannya. Diamatinya langkah Mat Saleh, sampai punggung pria itu ditelan daun pintu kontrakannya.

Di dalam kamar berukuran 3x4 meter itu, seperti biasa, Mat Saleh kembali merenung. Dia terduduk di kasur kecil tanpa ranjang yang sudah kempes bagian tengahnya. Ditatapnya batu nisan disampingnya yang baru saja diambilnya dari pojok ruangan. Dan entah untuk ke-berapa ratus kalinya, ia melihat kalender bergambar botol minuman bersoda produksi pabriknya yang tergantung di tembok tanpa polesan cat itu, berharap tanggal di kalender itu menunjukkan tanggal yang berbeda dengan yang dilihatnya sore tadi. Tapi nihil. Dua puluh tujuh Desember. Ya, dua puluh tujuh Desember. Dan besok dua puluh delapan Desember. Dua puluh delapan Desember dua ribu sebelas.

Di meja kayu dekat lemari itu, ada sebuah amplop bertuliskan ‘untuk Uak Kaji, penjual batu nisan di dekat pabrik’. Di dalamnya, Mat Saleh telah memasukkan selembar uang lima puluh ribuan, jumlah yang ia rasa sudah lebih dari cukup untuk harga sebuah batu nisan yang telah dicurinya. Mat Saleh sudah membayangkan, esok hari orang-orang yang menemukan jenazahnya akan terkejut karena ia telah mempersiapkan batu nisan untuk kematiannya sendiri. Itu pasti, karena belum pernah ada satu orang pun di dunia ini yang tahu kapan kematian mereka akan datang. Tapi dengan Mat Saleh? Bahkan sepertinya dia telah mengalahkan Mama Laurent, paranormal yang semasa hidupnya sering terlihat di layar kaca, yang terkenal dengan ramalannya ketika akhir tahun tentang adanya beberapa artis ibukota yang akan meninggal. Entah itu kebetulan atau tidak, tapi apa yang dikatakan Mama Laurent beberapa kali memang terbukti. Sedangkan dengan Mat Saleh, ia bahkan mampu mengetahui kapan kematiannya akan tiba.

Besok dua puluh delapan Desember. Dan itu berarti, umurnya hanya tinggal hari ini. Ah, mimpi buruk apa ini. Rasanya mengetahui tanggal kematian itu jauh lebih menakutkan dibanding mengetahui kapan hari kiamat akan tiba. Begitukah? Ya, setidaknya itulah yang dirasakan Mat Saleh. Kiamat itu tidak akan dialaminya sendiri, melainkan oleh semua orang. Tapi dengan kematian? Hmm, jelas itu kiamat untuknya sendiri, kiamat pribadi tepatnya.

Ditengoknya jam dinding yang menempel di samping kalender itu. Pukul 19.45 WIB. Kali ini air matanya menghambur, menetes di batu nisan yang dipeluknya. Setidaknya kurang lebih lima jam lagi dua puluh delapan Desember akan tiba. Benarkah? Benarkah lima jam lagi? Ah, tidak. Lima jam lebih lima belas belas menit lagi. Ya. Ada tambahan lima belas menit lagi. Tapi, apa pengaruhnya? Tambahan lima belas menit lagi tak akan ada artinya. Tak ada. Kematian tetap akan mendatanginya. Lalu apa yang kini bisa dilakukannya? Lima jam lima belas menit lagi. Harus sholat sampai tanggal dua puluh delapan desember esok tiba? Tapi sholat apa? Sholat isya’? sudah dijalankannya berjamaah di musholla tadi. Sholat tahajud? Sholat hajat? Sholat taubat? Ah, dengan pikiran sekacau itu, mana mungkin dia bisa sholat dengan khusyuk, lagi pula dia sudah tak tahu bagaimana bacaan di sholat-sholat itu. Lalu apa? Mengaji? Ah, bahkan ia tak tahu harus mencari dimana alqur’annya. Lalu apa? Apa yang harus dilakukannya?

Mat Saleh memandang batu nisan yang ada di pelukannya. Batu nisan itu telah basah oleh air matanya. Dibacanya lagi nama yang tertulis disitu. Ah, untuk kesekian kalinya ia benar-benar malu atas nama yang selama ini dimilikinya. Nama pemberian almarhum bapaknya itu, jelas terlalu tak pantas melekat pada dirinya. Saleh, tak sesoleh namanya. Ya. Apa yang harus dikatakannya ketika bertemu dengan bapaknya nanti di alam sana? Bagaimana kalau bapaknya menanyakan tentang hafalan surat Yasinnya semasa kecil dulu? Atau bagaimana kalau ia ditanya tentang istiqomahnya menjalankan puasa senin kamis yang diajarkan padanya dulu? Atau mungkin justru bapaknya akan menanyakan mengapa tak pernah ada kiriman doa untuknya? Ya, mungkin itu. Bagaimana mau mendoakan, Mat Saleh tak pernah sholat, sedangkan kebanyakan orang memanjatkan doa ketika selesai sholat. Sekejap kemudian berkelebat juga wajah emaknya di desa. Bukannya Mat Soleh telah melupakan emaknya itu sehingga ia memilih menghembuskan nafas terakhirnya di kontrakannya. Tidak. Tidak demikian. Selama ini Mat Saleh amat jarang pulang. Ia merasa akan sangat tak adil untuk emaknya jika ia pulang hanya untuk mengabarkan kematiannya. Tidak, sudah cukup ia merepotkan wanita yang pastinya kini semakin tua itu.

Mat Saleh merasa malu. Malu sekali. Kenapa harus di saat-saat menjelang ajalnya tiba ia baru mengingat Allah? Lalu kemana saja ia selama ini? Apakah tanpa adanya batu nisan itu Mat Saleh tak akan pernah mengingat Allah? Lalu apa jadinya jika batu nisan itu tak pernah ada, dengan kata lain ia harus mati tanpa mengingat-Nya?

Tangis Mat Saleh semakin menjadi. Kenapa batu nisan yang dipeluknya itu harus ada ketika ia masih hidup. Atau jika batu nisan itu harus ada, lalu kenapa juga ia harus melihatnya? Kenapa sepulang kerja malam itu hujan harus turun dan kenapa pula ia harus berteduh di toko batu nisan Uak Kaji dan melihat batu nisan itu? Kenapa? Adakah campur tangan Gusti Allah di dalamnya? Hingga apa yang dilihatnya malam itu terbawa sampai sebulan terakhir ini?

Semakin erat dipeluknya batu nisan itu. Entah sudah berapa banyak air mata yang mengalir deras dari mata yang selama ini selalu terlihat tajam itu. Pembelaan macam apaun tak akan bisa menghentikan air mata dan menyelamatkan ketenangan jiwanya. Detik-detik akhir hidupnya akan segera tiba. Izroil akan menjemputnya. Akan menjemputnya, dengan atau tanpa persetujuannya.

Mat Saleh memejamkan matanya. Tiba-tiba saja dirasakannya ulu hatinya begitu nyeri. Nyeri yang belum pernah dirasakan begitu hebatnya. Nyeri. Nyeri sekali.

Mat Saleh terbangun oleh bacaan tahlil yang tiba-tiba terdengar semakin jelas di telinganya. Hari sudah siang ternyata, terlihat dari berkas cahaya yang menerobos masuk melalui ventilasi kamarnya. Tubuhnya terasa ringan dari biasanya. Dilihatnya batu nisan yang semalam dipeluknya itu tergeletak di samping kasurnya. Tapi, kamarnya sepi. Tak ada seorangpun disitu. Ya, pasti kamarnya terlalu sempit untuk mengurus jenazahnya, sehingga orang-orang harus mengurus jenazahnya di luar.

Tahlil itu semakin terdengar jelas di luar kontrakan Mat Saleh. Kini ia tak bisa membayangkan bagaimana jika ia harus melihat tubuhnya terbujur di dalam keranda dan digotong oleh tetangga-tetangganya menuju pemakaman. Ia tak siap menyaksikan semua itu. Tapi, ah, terlambat. Tanpa sadar ia telah membuka pintu kontrakannya dan menyaksikan semua hal yang terjadi diluar. Dan lebih dari yang dibayangkannya, di sepanjang kamar kontrakan yang berjejer itu, termasuk kontrakannya, banyak sekali warga, juga ada beberapa wartawan, yang dikenalinya dari ID pers yang dikalungkan di leher mereka, dengan kamera, notes dan pulpen di tangan mereka. Ramai sekali. Belum sempat keterkejutannya mencapai antiklimaks, sebuah suara terdengar tertuju ke arahnya.

“Cak Saleh. Cak. Iler e di usapi sek tah. (Cak Saleh. Cak. Itu ilernya diusap dulu dong.)”, teriak Wawan, bocah pengamen yang tempo hari melongo melihatnya pergi ke mushollah.

Mat Saleh semakin terkejut. Ia menoleh ke kanan kiri, mencoba mencari sosok Mat Saleh lain di sebelahnya. Masih dalam kebingungannya itu, Wawan menyela lagi.

“Cak. Gak melok nang kuburan ta? Mari ngene Cak Darto dikubur. (Cak. Nggak mau ikut ke kuburan? Habis ini Cak Darto mau dikubur.)”, kata Wawan.

“Cak Darto?!!”, seolah mendengar petir pribadi, seperti kiamat pribadi yang ada dalam bayangannya semalam, Mat Saleh memelototi bocah pengamen itu.

“Iyo, Cak. Cak Darto karo Cak Anam mati, keracunan miras oplosan. Cak Anam wes digowo mulih nang ndeso, Mas Wahyu karo Mas Rukin kritis nang rumah sakit. (Cak Darto dan Cak Anam mati, keracunan miras. Cak Anam sudah dibawa pulang ke desa, Mas Wahyu sama Mas Rukin masih kritis di rumah sakit.)”, jawab Wawan.

Seperti orang linglung, Mat Saleh menurut saja ketika Wawan mendorongnya masuk kamar untuk bersiap-siap mengikuti pemakaman Cak Darto. Seketika Mat Saleh lemas. Tulang-tulang yang biasa menyangga tubuhnya seolah baru saja kehilangan fungsinya. Ia terduduk persis di sebelah batu nisan yang semalam basah oleh air matanya.

“Oh, jadi ini maksud-Mu, Gusti...”, Mat Saleh bergumam dalam hati. Tak mampu ia berbicara, kata-kata itu hanya sampai di hatinya.

Pelan namun pasti, dua butiran bening meleleh di pipi Mat Saleh. Di usap-usapnya batu nisan yang masih tergeletak itu. Yah, ia akan segera mengembalikan batu nisan itu ke toko Uak Kaji. Akan dikembalikannya batu nisan itu ke tempatnya semula. Ya. Di tempat semula, di toko Uak Kaji, di jajaran batu nisan paling murah, di tatanan paling bawah dan paling depan, yang dapat dilihat oleh semua orang. Ya, semua orang, khususnya Mat Saleh-Mat Saleh lain yang melintas disana. Karena Allah selalu menyelamatkan hamba-hamba-Nya, bagi hamba yang masih mau diselamatkan tentunya.

-Riph-

Surabaya, Desember 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun