Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Mari Belajar Mengalami

1 Agustus 2010   14:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:24 68 0
Seorang Robert Louis Stevenson mengatakan, “Setiap orang hidup untuk menjual sesuatu.”
Apa yang dijual? Setidaknya pikiran. Ketika sekali saja kau mengatakan sesuatu pada orang lain sekalipun sekedar sebuah pembicaraan remeh-temeh di lingkungan sosial dan orang tersebut mempercayai apa yang kau katakan, maka ini sudah menjadi sebuah pertanda ucapanmu terbeli. Orang-orang di negeri barat menyebut ini dengan istilah, “they buy your story.”

----- Represi, Rabu 28 Juli 2010, mulai ditulis di jam 12.48 siang -----

Hidup ini tak ada bedanya dengan membangun sebuah perusahaan.

Seorang pendiri perusahaan yang baik tidak akan pernah memisahkan materi investasi dengan konsepsi yang terdiri dari human resource, accounting system, financial analysis, management, government, integrated marketing, dan social life. Kadang mereka membacanya dengan 6 M’s; MAN, MATERIAL, MONEY, METHOD, MACHINE, AND MARKET.

Manusia adalah pengolah, materi adalah bahan dasar, uang adalah penggerak, metode adalah seni mewujudkan, mesin menjadi akomodasi, marketing konsep adalah pengemasan, pasar menjadi tempat di mana semuanya dilemparkan. Beberapa tahun belakangan, para ahli menambahkan dua embel-embel pelengkap – MINUTES AND MEASUREMENT – dengan alasan; waktu dan pengukuran menjadi sedemikian penting karena apapun yang terjadi waktu adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan apapun, selain kemudian ia menjadi catatan pembelajaran yang digunakan sebagai bahan pengukuran dan ketetapan bahwa segala sesuatunya harus kembali dievaluasi.

Semua ini sesungguhnya ada dalam diri manusia, mampu diciptakan oleh pikiran manusia dan benar-benar sesuatu yang dapat digunakan membentuk apa yang sejatinya disebut MA-NU-SI-A.

Dari dasar ini, saya kadang kala menjadi sedemikian muak pada orator dan motivator yang banyak berbicara tentang hidup dan menulisnya dengan teori-teori tertentu yang mereka serap dan dijadikan quote sebagai bahan dasar setiap omongan mereka. Saya tidak berdiri untuk menyalahkan motivator atau orator. Saya juga tidak berdiri untuk membenarkan mereka. Saya berdiri sebagai saya yang memandang mereka – para motivator tersebut – sebagai manekin di etalase. Dan saya semakin bertambah muak dengan pendengar atau pengikut para orator atau motivator tersebut yang hanya tahu mengangguk-angguk pada tiap ucapan mereka dengan ekspresi yang seakan-akan tersentuh, termotivasi, tapi tak pernah bergerak, berubah, membuat atau menciptakan konsepsi baru pemikiran mereka sendiri terhadap apapun yang telah mereka resapi, semacam pembeli yang tertipu oleh ilusi pikiran mereka sendiri terhadap manekin di etalase GUCCI.

Seperti perusahaan berikut athmsphere yang telah membangun fondasi perekonomian, seperti itulah dasarnya seorang manusia terbentuk dalam lingkungan sosial dan masyarakat. Secara tidak langsung atau tanpa disadari, relasi kedalaman pengertian mereka akan sumber daya yang mereka miliki telah membuat manusia-manusia membangun diri mereka seperti membangun perusahaan yang kadangkala hanya berdiri saja dengan nama, berdiri dengan nama dan menjadi pengikut atau peniru, berdiri dengan nama dan menjadi kompetitor atau pesaing, atau berdiri dengan nama menjadi pioneer.

Bagaimana konsep dasar pikiran dan pemahaman terbentuk?

Seorang ahli hanya menjadikan sebuah teori sebagai referensi. Mereka tidak akan pernah memakai teori yang sama mentah-mentah begitu saja sekalipun terhadap satu hal yang sama yang mereka jadikan bahan kajian. Di sini persepsi berlaku dalam menimbulkan kesimpulan yang berbeda-beda. Karena persepsi adalah pengalaman yang timbul dari sudut perspektif yang tidak pernah sama pada tiap manusia. Lantas, kesimpulan ini kemudian menjadi teori baru.

Orang-orang bodoh memakan teori mentah-mentah seperti daging merah yang tak diolah. Orang-orang pintar membuat teori mentah daging merah menjadi steak dengan citarasa berbeda. Ini menjadi titik pembacaan sebuah kedalaman pikiran saat sebuah teori diukur melalui fungsi penggunaanya sebagai sekedar teori-kah atau sebagai dasar sebuah pengalaman.

Sejatinya, teori muncul sebagai sebuah kesimpulan akhir dari sebuah pengalaman. Seperti Freud yang sudah memecah belah konsepsi pikiran menjadi tiga aspek kesadaran. Lalu Adler yang sekalipun awalnya adalah seorang Freudian memilih jalan berbeda dari Freud dan menganggap Freud terlalu menggunakan unsur seksualitas yang kurang realistis. Ia kemudian menitikberatkan teorinya pada unsur perasaan manusia dan bagaimana adaptasi manusia tersebut demi mengatasi perasaannya. Terakhir, Jung, sekalipun juga adalah seorang murid Freud dan sama-sama menekankan bahwa ketidaksadaran adalah penentu perilaku manusia, namun mereka kemudian berpisah pada posisi yang berbeda dalam mengambil kesimpulan asal mula ketidaksadaran ini. Freud mengatakan bahwa unsur seksual adalah faktor utama dan dominan dalam ketidaksadaran sementara Jung mengatakan sumber ketidaksadaran adalah warisan nenek moyang sehingga sifatnya sosial dan bergantung pada kelompok ras.

Saya tidak akan berpanjang lebar tentang teori kejiwaan. Saya hanya menggunakan para dedengkot teoritor ahli jiwa ini sebagai pembanding yang dimaksudkan menjadi gambaran dimana; kita belajar untuk tidak mengatakan salah satu di antara ketiganya salah dan salah satu yang lain adalah benar. Salah dan benar adalah proyeksi pikiran dan kesimpulan yang amat sangat dangkal. Salah dan benar adalah pembenaran dari keegoisan seorang pribadi yang menganggap dirinya, pikirannya, pandangannya jauh lebih baik dari siapapun yang mereka salah dan benar-kan. Salah dan benar adalah kenaifan yang konyol dan kekanak-kanakan. Salah dan benar seharusnya tidak menjadi ujung kesimpulan. Karena salah dan benar pada dasarnya tidak pernah ada.

Manusia-manusia seharusnya belajar dari pengalaman mereka masing-masing dan memahami bahwa apa yang mereka alami tidaklah pernah sama dengan apa yang orang lain alami dalam pikiran mereka. Perbedaan kesimpulan akhir yang menciptakan teori berbeda dari tiap-tiap orang, seperti Freud, Adler dan Jung yang sekalipun membahas objek yang sama berakhir pada konklusi berbeda akibat pengalaman yang berbeda.

Tapi ini tidak terjadi pada manusia-manusia kebanyakan, orang-orang malas yang hanya tahu mengutip dan membenarkan. Orang-orang malas dan bodoh tak pernah lagi berusaha mencari tahu. Orang-orang malas dan bodoh dan goblok lantas menjadikan pengamalaman orang lain yang bukan sama sekali pengalaman mereka sebagai tiang pegangan kehidupan mereka. Orang-orang malas dan bodoh dan goblok dan tolol dan moron yang seharusnya tidak perlu membawa otak mereka kemanapun mereka pergi dan sebaiknya meletakkan saja benda mati itu di dalam kulkas untuk kemudian diawetkan.

“Religion is an illusion and it derives its strength from the fact that it falls in with our instinctual desires.” – Freud. Do you believe this? Think yourself, why or why not?

Rien Al Anshari, Jakarta-SCBD, Rabu, 28 Juli 2010; 14.36

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun