Tokoh utama, Minke, merepresentasikan sosok intelektual pribumi yang berusaha melawan sistem kolonial yang diskriminatif. Karakter ini menggambarkan bagaimana pendidikan berperan sebagai alat utama dalam perjuangan melawan ketidakadilan. Relevansi nilai ini masih sangat kuat, mengingat tantangan dalam akses pendidikan dan kesenjangan sosial masih menjadi isu global yang memerlukan perhatian serius.
Selain itu, novel ini juga mengkritik bagaimana sistem hukum dan ekonomi pada masa kolonial lebih menguntungkan kelompok tertentu, sementara masyarakat pribumi berada dalam posisi yang terpinggirkan. Fenomena serupa masih dapat ditemukan dalam berbagai konteks kontemporer, di mana akses terhadap keadilan dan kesetaraan sosial masih menjadi tantangan, khususnya bagi kelompok marjinal. Kisah perjuangan Nyai Ontosoroh, misalnya, menggambarkan bagaimana perempuan pribumi menghadapi ketidakadilan hukum yang berakar pada konstruksi sosial yang patriarkal---isu yang masih relevan dalam diskursus kesetaraan gender saat ini.
Melalui Bumi Manusia, Pramoedya tidak hanya menyampaikan kritik terhadap sistem yang menindas, tetapi juga membangun kesadaran akan pentingnya keberanian dan pemikiran kritis dalam mendorong perubahan sosial. Dengan memperingati 100 tahun kelahiran Pramoedya, kita tidak hanya mengenang karya-karyanya, tetapi juga merefleksikan bagaimana warisan pemikirannya dapat terus menjadi inspirasi dalam perjuangan melawan ketidakadilan di era modern. Dengan demikian, Bumi Manusia tetap memiliki relevansi yang kuat sebagai karya sastra yang mampu mengilustrasikan dinamika ketidakadilan lintas zaman.
#Seabad Pram