Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Hatta dan Sejarah yang Terbengkalai

7 November 2013   02:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:30 276 0
Ia berdiri tegap. Tangan kanannya tampak melambai. Dengan lengan sejajar bahu, dan telapak di depan kepala, sedikit ke atas. Ekspresi wajahnya lurus, tanpa senyum. Peci dan kacamata menjadi aksesori yang melekat. Ia dikenal sebagai Mohammad Hatta. Satu di antara dua Proklamator Kemerdekaan Indonesia.

Sikap Hatta di atas merupakan wujudnya dalam bentuk patung. Ia berdiri di tengah taman yang dibangun pada 2003 lalu. Taman yang diberi nama Taman Monumen Bung Hatta, didirikan dalam rangka mengenang seratus tahun kelahiran Wakil Presiden Indonesia pertama itu, pada 12 Agustus 1902. Taman yang terletak di sebelah barat destinasi wisata Jam Gadang, dan bersebelahan dengan Istana Bung Hatta di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Sore itu, medio Oktober 2013, ayat-ayat Alquran mengalun dari bibir seorang pengemis, yang terduduk di depan pagar Taman Monumen Bung Hatta. Sementara beberapa pengemis lain, yang menyusur sepanjang pagar, diam menunggu mangkuk-mangkuk mereka terisi uang. Oleh, orang-orang yang lalu lalang di atas trotoar. Hatta melihat pemandangan itu setiap hari. Tetapi, ia hanya mampu kukuh berdiri dalam kesendirian. Pagar “yang memenjarakannya” terkunci rapat. Ia terpisahkan dari masyarakat.

Dalam asumsi penulis, yang baru pertama kali bertemu Hatta di Bukit Tinggi, kebijakan “memisahkan” Hatta dengan menutup rapat pagar adalah upaya meminimalisasi biaya pengelolaan taman. Hal itu tak sepenuhnya salah. Mungkin, pengelola taman menyadari, atau bahkan telah membuktikan, kunjungan masyarakat di dalam taman dapat menambah biaya. Setidaknya, biaya kebersihan. Meskipun, keinginan penulis untuk lebih berdekatan dengan Hatta menjadi terbelenggu.

“Pemagaran” Hatta, sekali lagi mungkin, menjadi upaya mempertahankan bukti sejarah. Karena, banyak tempat bersejarah, yang sebenarnya merupakan kekayaan bangsa, tiada lagi terawat. Akibatnya, sejarah yang menyertainya pun berpotensi hilang dan terlupakan oleh generasi mendatang. Padahal, sejarah adalah dasar untuk menjalani masa depan. Supaya, kesalahan pada masa lalu tidak terulang. Dan, keberhasilan yang telah dicapai dapat semakin baik pada masa mendatang.

Majalah Tempo, setelah empat tahun dibredel pemerintah, mulai membuat liputan khusus tokoh-tokoh sejarah ketika kembali terbit pada 1998. Dalam setiap laporan khusus yang penulis baca, Tempo menggunakan teknik penelusuran ulang sejarah, termasuk tempat-tempat sejarah yang memiliki kaitan dengan tokoh yang ditulis. Sayangnya, banyak tempat bersejarah yang ditemukan justru telah terbengkalai.

Mari kembali ke Hatta. Penelusuran Tempo pada 2002 menemukan Perpustakaan Bung Hatta di Bukit Tinggi. Tentang perpustakaan itu, Tempo menceritakan, “Kondisi perpustakaan itu kini amat menggiriskan hati. Rak-rak bukunya penuh jelaga di setiap sudut. Sedangkan, lantainya kotor dan kusam. Beberapa buku terpenting, yang disumbangkan keluarga Hatta, terkunci di dalam lemari tripleks yang sudah terkelupas, yang kacanya ditutupi kertas minyak. Lemari-lemari buku ini liat dan berderak ketika dibuka. Debu-debu terbang dari tumpukan buku, yang diletakkan lintang-melintang.”

Paparan tersebut tertulis pada buku berjudul Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman. Isi buku yang termasuk dalam Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa tersebut sebelumnya telah dimuat dalam majalah edisi khusus Tempo. Buku itu juga menceritakan kondisi rumah pengasingan Presiden Indonesia pertama Soekarno di Pulau Bangka. “Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas seribu meterpersegi tersebut nyaris ambruk. Semua daun pintu dan jendela dari 16 ruangan di situ telah lenyap. Sebaliknya, hanya bau kurang sedap dan sarang tikus yang tersisa di segala sudut bangunan,” demikian isi laporan Tempo.

Sejarah Indonesia mencatat banyak tokoh. Juga, banyak tempat, yang nilai sejarahnya berpotensi hilang apabila tidak dijaga dengan baik. Dari berbagai informasi yang penulis baca, ada beberapa komunitas di beberapa daerah yang memiliki kegiatan khusus mengunjungi tempat-tempat sejarah. Sebuah langkah yang patut dipuji, serta didukung. Sebab, embrio untuk tetap berpegang pada sejarah setidaknya masih tertanam.

Harapannya, fase berikutnya dapat terwujud. Yaitu, keterlibatan seluruh masyarakat untuk menjaga sejarah. Serta, adanya perbaikan pada tempat-tempat bersejarah. Perwujudan hal tersebut tentu bisa dilakukan hanya dengan dukungan banyak pihak. Utamanya, pemerintah. Sehingga, memoar Hatta akan terus diingat. Begitu pula Soekarno, Syahrir, Sudirman, Imam Bonjol, dan banyak tokoh sejarah lain yang dimiliki Indonesia.

[]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun