Kuncinya bisa dilihat dari kebijakan "memompakan triliunan rupiah" ke masyarakat untuk menggerakan sektor rill, salahsatunya melalui Dana Desa sebesar 20 T. Tujuannya untuk menambah likuiditas rupiah di tengah masyarakat, agar pendapatan dan daya belinya terjaga.
Dari tahun 1999 pola ini sudah diterapkan melalui program-program yang didanai Bank Dunia seperti Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), PNPM Mandiri, Program Keluarga Harapan (PKH), BLT/BLSM/CCT, Raskin, BOS dll. Semua Programnya sama yaitu dengan memberikan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) untuk pembangunan infrastruktur, bantuan ekonomi, pendidikan, kesehatan dll.
Terkait dana desa sebesar Rp 20 T, jika terserap 100 persen, dari pengalaman saya di lapangan sebagai pendamping PNPM Mandiri, hanya 10-20 persen dari dana BLM mengalir langsung ke masyarakat dalam bentuk program padat karya atau membuka lapangan pekerjaan. Sisa dananya akan mengalir ke Industri manufaktur, retail, transportasi, dll. Seperti contoh pabrik semen akan terjaga kapasitas produksinya, karena "demand" semen akan meningkat ketika kegiatan Infrastruktur di desa-desa mulai berjalan. Efek domino pengucuran dana desa inilah yang diharapkan. Kegiatan ekonomi tetap bergairah.
Selanjutnya saran khas Bank Dunia lainnya adalah stabilisasi fiskal dan moneter, termasuk di dalamnya pengendalian inflasi. Bank Dunia pernah mengeluarkan rilis "Penghambat Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang Adalah Inflasi". Menurut Bank Dunia salahsaru faktor sulitnya menanggulangi kemiskinan di negara berkembang adalah tidak stabilnya inflasi. Rekomendasi Bank Dunia terhadap negara berkembang ditindak lanjuti Indonesia dengan membentuk lembaga TPID atau Tim Pengendali Inflasi Daerah yang sempat ramai dalam debat presiden tahun 2014.
Selain itu, langkah-langkah untuk melindungi dunia usaha khususnya usha menengah kecil dan mikro (UMKM) dengan penyaluran kredit dengan suku bunga rendah, di jaman SBY dikenal dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR).