Isu paling krusial dalam perdebatan tersebut ialah pembicaraan tentang ideologi negara Indonesia yang bakal lahir itu. Isu politis-ideologis ini yang kemudian berdampak panjang dalam perjalanan sejarah modern Indonesia.
Menurut Buya Syafii Maarif, seandainya Dr. Rajiman tidak mengajukan pertanyaan tentang Philosofiishe Grondslag (landasan filofis) bagi negara yang hendak didirikan itu, mungkin situasinya menjadi lain. Apalagi menurut kesaksian Bung Hatta, sebagian besar anggota BPUPKI tidak mau menjawab pertanyaan itu karena khawatir akan mengundang perpecahan dan memakan waktu lama.
Barangkali disamping khawatir, sebagaian besar memang tidak siap berfilsafat dalam situasi yang sangat mendesak tersebut.
Kemudian, Buya Syafii menjelaskan berdasarkan kesaksian Bung Hatta, yang paling siap menjawab pertanyaan DR. Rajiman adalah Bung Karno dan Muhammad Yamin dari golongan nasionalis dan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah yang mewakili golongan Islam.
Bung Karno dan M. Yamin mengajukan Lima Prinsip Dasar yang kemudian di kenal dengan Pancasila. Sedangkan Ki Bagus Hadikusumo mengajukan Islam sebagai dasar negara. Usulan Ki Bagus merupakan antitesis terhadap usulan Soekarno-Yamin.
Dengan munculnya dua usul yang berbeda, maka bermulalah "pergumulan" pertama antara Pancasila dan Islam di sidang BPUPKI. Setelah bergumul selama 21 hari, akhirnya pada 22 Juni 1945 suatu sintesis dan kompromi politik dapat diwujudkan antara dua pemikiran yang berbeda. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan PIAGAM JAKARTA.
Dalam PIAGAM JAKARTA, Pancasila diterima sebagai Dasar Negara, tapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai Sila Pertama atau Sila Mahkota, namun diberi kalimat pengiring "Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Piagam Jakarta adalah hasil rumusan Panitia Sembilan yang beranggotakan: Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Abikusno, dan A.A. Maramis (Tokoh Kristen Moderat).
Dari sembilan orang tersebut, empat diantaranya mewakili golongan Islam, yakni Wahid Hasyim mewakili NU, Abdul Kahar Muzakkir mewakili Muhammadiyyah, Agus Salim mewakili PI-Penyedar dan Abikusno dari Syarekat Islam.
Namun, kompromi politik tersebut hanya bertahan 57 hari. Karena pada tanggal 18 Agustus 1945, anak kalimat pengiring Sila Pertama yaknia "Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus dari Pembukaan UUD 1945.
Menurut kesaksian Bung Hatta yang diceritakan kepada Buya Syafii Ma'arif, hal ini terjadi karena ada perubahan komposisi wakil Islam dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Anggota PPKI yang semula 21 orang, namun atas usul Bung Karno ditambah menjadi 27 orang. Dari jumlah itu, wakil Islam hanya diwakili oleh tiga orang, yakni Ki Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah, Wahid Hasyim dari NU dan Kasman Singodimedjo dari Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).
Walaupu golongan Islam diwakili tiga orang, mereka sangat gigih memperjuangkan agar rangkaian kalimat "Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" di Sila Pertama dalam pembukaan UUD 1945 tidak dihapus. Bahkan Bung Hatta menceritakan kepada Buya Syafii Maarif, Bung Karno kewalahan menghadapi argumentasi dari Ki Bagus Hadikusumo, konon beliau sempat menggembrak meja di hadapan Bung Karno.
Namun, kemudian Bung Hatta yang mewakili masyarakat Minang dan Teuku Muhammad Hassan dari Perwakilan masyarakat Aceh menengahi perdebatan tersebut. Atas bujukan Bung Hatta dan Teuku Muhammad Hasan, akhirnya Ki Bagus Hadikusumo melunak dengan pertimbangan Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Hanya dalam tempo 15 menit, kalimat pengiring Sila Pertama "Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dicoret dari Pembukaan UUD 1945.
Dan sejarah mencatat pergumulan ideologis tersebut tidak berhenti sampai disidang BPUPKI, terus berlangsung sampai sekarang. Yang paling sengit adalah dalam sidang Majelis Konstituante di Bandung antara tahun 1956 sampai 1959, yang mengakibatkan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Melalui Dekrit, Presiden Soekarno membubarkan Majelis Konstituante hasil Pemilu 1955 dan dimulainya Demokrasi Terpimpin. Dalam Demokrasi Terpimpin, sejarah mencatat dibubarkannya Partai Islam Masyumi karena dianggap anti Manipol Usdek dan dituduh terlibat pemberontakan PRRI di Sumatera, yang kemudian diketahui hal tersebut merupakan intrik dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Perdebatan Ideologi antara Islam dan Pancasila saat ini sebenarnya tidak harus terjadi. Kadang, ada juga yang masih memandang Pancasila secara ekstrem, sangat mengkultuskan, seolah-olah Pancasila sudah harga mati. Kemudian dilain pihak, ada juga kalangan Islam yang masih memandang Pancasila tidak sesuai dengan "basic" ajaran Islam tentang tauhid, padahal Ketuhanan Yang Maha Esa menggambarkan ajaran monoteisme.
Pancasila tidak boleh sekedar jargon seperti jaman Orde Baru maupun Orde Lama. Yang paling penting adalah implementasi dari kelima sila tersebut. Sudahkah sesuai harapan bangsa Indonesia?
Bapak pendiri bangsa melahirkan Piagam Jakarta sebagai konsensus nasional. Ketika anak kalimat pengiring sila pertama dihilangkan, merupakan jiwa besar dari para pemimpin Islam waktu itu seperti Ki Bagus Hadikusumo, Muhammad Hatta, Kasman Singodimedjo, Wahid Hasyim dan lain-lain.
Jadi, saat inipun tetap harus diperlukan jiwa besar dalam menghadapi perbedaan pandangan ideologis-politis. Jangan terlalu alergi terhadap kelompok yang masih menginginkan dikembalikannya Piagam Jakarta pada teks awalnya. Seolah-olah mereka dianggap "Tidak Pancasilais/anti Pancasila dan anti NKRI" bahkan secara ekstream memandang mereka sebagai bagian gerakan fundamentalis.
Kita juga harus mewaspadai gerakan ultra-nasionalis yang secara ekstrem dan sempit memandang Pancasila, namun dalam kesehariannya tidak menggambarkan seperti mencintai Pancasila.
Empat pilar bangsa yang ditawarkankan Almarhum Taufik Kiemas, yakni : Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika sudah sangat tepat. Dimana Islam-pun sebagai agama mayoritas, merupakan entitas yang sangat penting Bangsa Indonesia, dimana harus juga mulai diperhatikan aspirasi ideologisnya. Jangan sampai persoalan kecil, seperti aspirasi Polisi Wanita (Polwan) untuk pakai hijab dimentahkan karena pandangan sempit mengenai ideologi Pancasila.
Baca juga: