Hari ini saya melihat sorang wanita tegar yang selalu mendampingi Ahok menunjukkan sisi kemanusiaannya. Nuansa dingin cukup memenuhi setiap geraknya. Umumnya wanita banyak bicara, tapi sosok wanita perkasa ini lebih memilih banyak diam namun bekerja. Diamnya tak tergoyahkan bahkan banyak sentimen-sentimen negatif menyerang suami dan keluarganya. Diamnya menandakan bahwa kepeduliannya bukan pada banyak kata yang ditorehkan, melainkan tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama. Tapi diamnya yang begitu rupa itu akhirnya rontok saat membacakan tulisan sang suami yang sedang di penjara. Tulisan yang dibuat oleh Ahok dan keluarganya ketika dia memutuskan untuk batal banding. Saat saya menonton video dari Youtube dengan seksama. Saya memperhatikan raut wajah Veronika, sebelum membacakan surat itu. Saya menyaksikan Veronika memberikan jeda, dan dalam dugaan saya dia sedang menghimpun segala kendali dan kekuatan diri untuk tetap sama, tegar. Dia mendesak tubuhnya untuk bekerja sama atas kendalinya, dia pun refleks memicingkan matanya. Pertanda suatu desakan tinggi atas nuraninya untuk teguh mengendalikan segala perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Namun, aliran rasa makin deras menguasai logika ketika kata “Bapak” mulai dilontarkan. Kata panggilan umum, namun menjadi spesial dan bermakna karena melekat kuat kasih seorang isteri kepada suaminya. Hakikinya, posisi diri Verinoka tetap sama, yaitu seorang perempuan yang perlu dilindungi. Namun, sayang seribu naas, pendamping hidup dan pelindungnya kini telah memilih mendekam di penjara demi keamanan bangsa Grafik kesedihan dan pilu hatinya makin meninggi dan tampak jelas saat dia membacakan kalimat “saudara-saudara yang mendukung dalam doa”. Saya yakin dia merasakan asa yang sama dengan kekasih hatinya bahwa negara ini harus bebas diskriminasi. Saya yakin dia merasakan hal yang sama bahwa perjuangannya melawan korupsi dan tipu daya politik belum berakhir. Bahkan, saya menyaksikan dalam klimaks tangisnya hadir setelah mengucapkan kata “makanan” dalam satu rentetan pernyataan terima kasih Ahok atas bentuk-bentuk kasih nyata yang telah ditorehkan pendukungnya selama ini. Veronika telah bulat untuk mengikhlaskan penderitaan keluarganya sebagai jalan tengah kedamaian bangsa ini. Di sisi lain, dalam pandangan saya yang terbatas, Veronika saat itu, berada dalam himpitan rasa melampaui nalar bahwa dalam “ketegaan sejarah” bangsa ini masih ada rona-rona kasih yang hangat yang terus mengalir untuk menyejukkan kekecewaan dan menambal sakit hati yang telah terluka bukan hanya bagi dirinya, tetapi bagi anak-anak mereka. Dia dan suaminya tahu, mereka tidak berjuang sendiri.
KEMBALI KE ARTIKEL