Cerpen By:
Ridha Mutiara
"Maaf, Ri. Sepertinya kita ... tidak bisa lagi meneruskan hubungan ini."
Satu kalimat yang diucapkan Ardi seketika saja mengagetkanku dan memorak-porandakan hati ini. Hanya diucapkan melalui telepon, membuat sakit semakin menjadi.
"Maksudmu apa, Ar? Bukankah kita baru saja sepakat akan bicara dengan orang tuaku tentang kelanjutan hubungan ini?"
"Maaf, Risya. Aku tidak bisa begini terus. Menunggumu di dalam ketidak pastian, sedang usia terus berjalan. Dulu orangtuamu memintaku untuk menunggu, sampai usiamu cukup menurut mereka. Bagiku dua puluh dua tahun sudah layak untuk menikah. Lantas sekarang apa? Tiga tahun lagi?!" Air mataku tumpah tak terperi. Ada yang patah di dalam sini. Ah, bahkan sudah hancur. Sesak.
"Tapi, Ar ... kamu belum bicara dengan Ayah dan Ibuku secara langsung, kan? Selama ini selalu aku yang menyampaikan niat baik kita. Bukankah kamu tahu, seperti apa kerasnya orangtuaku," ucapku tersedu. Aku berusaha mempertahankan jalinan hati yang telah dijaga bertahun-tahun, tak ingin hancur dengan sia-sia.
Memang, selama ini Ardi terus mendesakku untuk bicara kepada Ayah dan Ibu. Setiap kali aku mengajaknya untuk ikut berdiskusi, dia selalu menolak dengan berbagai alasan. Kadang hati ini ragu, benarkah dirinya ingin berniat serius denganku?
Namun, kegigihannya menungguku, cukup kuat untuk meruntuhkan ragu.
Jarak usia terpaut delapan tahun menjadi kendala. Ardi dengan usianya yang cukup sudah tentu punya keinginan untuk membina rumah tangga, sedang diriku masih terhalang idzin orangtua. Ah, mengapa dia hadir di waktu hidupku yang tak tepat?
"Sudahlah, Ri. Masalah yang datang bertubi-tubi, boleh jadi adalah pertanda bahwa kita memang tidak berjodoh. Ikhlaskan hubungan kita. Di sini aku pun akan melakukan hal yang sama. Berat itu pasti, tapi hidup harus tetap berjalan, Ri." Aku bergeming dengan pipi yang basah. Ingin berteriak, tapi suaraku tecekat di tenggorokan. Tak sanggup berucap walau sepatah kata. Berganti dengan isak pilu tanpa suara.
Mudahnya dia berucap demikian, seolah semua yang telah dijalani hanyalah sekadar angin lalu. Timbul kembali pertanyaan di hati, mengapa dirinya harus datang ke hidupku yang sekarang?
"Kamu jangan egois, Ri. Aku yang berhak menentukan jalan hidupku akan menuju ke mana. Masih banyak wanita lain di luar sana, yang mungkin itu adalah jodohku." Aku terhenyak. Mempertahankan yang telah mati-matian dijaga. Apakah bisa disebut diri ini egois?
Hati telah hancur berkeping-keping. Kenangan dengannya terus berputar di ingatan, menambah sesak dan kelukur pada diri.
"Baik. Kalau menurutmu aku egois, berarti selama ini diriku hanya mencintai sendirian. Berjuang sendirian." Aku meremas kuat ponsel hingga terasa sakit di tangan yang gemetar.
"Pergilah, Ar. Raih bahagiamu yang tidak dengan diri ini. Aku melepasmu,. Walau jujur, ini menyakitkan sekali buatku." Kujadikan bantal untuk meredam tangis, menutupi wajah yang penuh gurat terluka.
Aku kembali mengangkat wajah, lantas mencoba tersenyum. Meski kutahu Ardi takan bisa melihatnya. Menetralkan suara agar dia percaya, bahwa aku mampu baik-baik saja.
"Terima kasih, Ar. Aku tidak menyesal telah mengenalmu. Yang kusesali adalah, mengapa harus mencintai sebegitu dalam? Terima kasih untuk kisah indah kita yang takkan terganti. Terima kasih juga untuk telah menyadarkanku dari keegoisan ini."
Aku tidak kuat untuk mendengar suara Ardi lagi. Segera aku memutuskan sambungan telepon dan kembali membenamkan wajah di balik bantal, lantas menangis di sana.
***
Lima bulan berlalu, tapi sakitku masih belum juga sembuh. Hatiku patah hingga remuk redam. Menangis sebelum tidur kini menjadi rutinitas, sembari mengenang banyak memori bersama dirinya yang telah berlari pergi.
Seminggu yang lalu aku mendapat pesan dari Ardi, undangan pernikahan. Bukan. Bukan hanya karena dia telah menemukan pengganti dan memulai kehidupan baru yang membuat diri ini remuk, tapi karena gadis itu adalah Dira, sahabatku. Sosok yang selalu menguatkan di kala diri tertatih menyembuhkan hati.
Ingin aku berlari sekencang-kencangnya, sejauh yang kubisa. Menghilang dari masa lalu, berteriak dan bertanya pada hujan. Mungkinkah luka ini mampu pulih?
Aku patah. Bahkan terlalu patah untuk berpura-pura bahagia.
End