Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

PPDB, Diskriminasi Pendidikan Gaya Baru

27 Juni 2020   17:11 Diperbarui: 27 Juni 2020   17:12 86 4
Tahun ini merupakan tahun sulit bagi banyak orang, termasuk dalam dunia pendidikan. Pasalnya, adanya wabah virus Corona ini membuat banyak orang rencananya buyar. Contoh nyatanya adalah saat pendaftaran siswa/mahasiswa baru. Tidak bisanya ketemu langsung dengan pihak sekolah merupakan kendala bagi banyak orangtua.

Di satu sisi, pendaftaran online sangat menguntungkan. Di sisi lain, tidak semuanya bisa di-online-kan. Misalnya, orangtua pasti ingin ketemu dan tahu, kenal siapa admin sekolah dan minimal kenal salah satu guru anaknya sebagai tempat bertanya nanti. Ini wajar dalam dunia pendidikan, khususnya usia anak-anak.

Selain masalah di atas, isyu lain yang banyak dibicarakan public adalah soal pembatasan usia sekolah. Pembatasan usia ini menuai pro dan kontra. Ada yang setuju dengan pendapat para ahli psikologi anak, bahwa sebaiknya memperlakukan anak tetap sebagai anak-anak, sesua tumbuh kembangnya. Tidak boleh dipaksakan.

Pendapat yang satu lagi percaya bahwa setiap anak lahir dengan bakat dan tumbuh kembangnya sendiri, yang tidak sama antara yang satu dan lainnya. Yang ini juga perlu diperhatikan.

Oleh sebab itu, kebijakan membatasi umur tertentu saat mendaftaran sekolah, terkesan dan dianggap sebagai salah satu bentuk diskriminasi yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Kita sudah banyak melihat contoh doctor-doktor di negeri ini yang diraih oleh orang-orang yang masih sangat muda usia. Tahun lalu misalnya, di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) saat menyelenggarakan wisuda ke 119. Terdapat seorang pria muda bernama Rendra Panca Anugraha, berhasil menyandang gelar doctor pada usia 24 tahun 4 bulan. Itu berarti, pada usia 21 tahun sudah menyelesaikan S2, dan usia 19 sudah rampung S1, dan umur 15 tahun sudah tamat SMA. Ini jika dia sekolah terus tanpa henti.

Menurut sebuah artikel yang dimuat di m.brilio.net, ada 6 doktor yang menyelesaikan program S3 nya pada usia sangat muda. Di antaranya adalah Cindy Priadi (26 tahun) di Universitas Paris-Perancis, Arief Setiawan (25 tahun), Shinta Amalina (25 tahun) di Wuhan University of Tecnology-Tingkok, Elanda Fikri (26 tahun) di STPDN Jatinangor, dan Rendra yang sudah disebut di atas.

Dari contoh di atas menunjukkan bahwa kita memiliki generasi pintar yang potensial bisa menyelesaikan jenjang pendidikan formal tanpa menunggu usia tua. Tidak harus jadi seorang jenius untuk bisa segera menyelesaikan pendidikan setingkat SMA dan sarjana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun