Puluhan kali saya berburu mencari kerja. Keanehan bos-bos pemilik perusahaan atau HRD RS, klinik, balai kesehatan hiingga perusahaan, diperparah lagi dengan syarat yang macam-macam. Ada yang minta sangat lengkap: foto copy ijazah yang dilegalisir, surat keterangan sehat, surat keterangan kelakuan baik, foto, dan surat lamaran kerja diketik rapi, diserahkan langsung ke kantor. Sesudah satu bulan tidak ada kabar, mungkin masuk tong sampah. Padahal diseleksi untuk interview saja belum. Bukankah ini sangat memberatkan? Kandidat pencari kerja mengeluarkan dana sia-sia untuk sesuatu yang tidak jelas.
Saya jadi mikir, apa pemilik perusahaan atau manajer HRD dulu tidak sekolah?
Saya pernah ketemu seorang perawat senior yang lama tinggal dan bekerja di luar negeri. Beliau pindah-pindah kerja sebanyak 8 kali. Selama itu pula beliau tidak pernah melamar kerja dengan foto copy ijazah dengan stempel basah. Beliau juga tidak pernah diminta surat keterangan sehat, surat kelakukan baik dan lain-lain dokumen, kecuali sesudah diterima. Sesudah interview dan mendapat panggilan diterima kerja, baru dilengkapi syaratnya. Pada saat itulah semua dokumen diserahkan. Mereka yang tidak sanggup melengkapi dokumen, otomatis tidak diterima.
Lha di negeri ini terbalik. Tapi kita mengaku setara dengan Amerika, Australia dan Canada. Nyatanya tidak bisa demikian. Usia kita sudah 75 tahun, ternyata tidak banyak belajar hanya persoalan sepele untuk menyaring tenaga kerja. Sebagai pemuda saya memiliki dugaan yang tidak baik kepada bos-bos pengusaha dan pegawai HRD yang duduk di posisi senior sebagai HRD manajer. Mereka cenderung negatif kepada pemula pencari kerja. Kami-kami ini dianggap tidak tahu apa-apa. Kami hanya dianggap memiliki IP tinggi tapi tidak memiliki etos kerja.
Saya mungkin mewakili suara perawat muda di negeri ini. Di era Covid-19 ini, tiba-tiba banyak peluang kerja bagi perawat di kota-kota besar dan rumah-sakit. Dengan iming-iming honor lumayan besar, tetapi risiko juga besar. Yakni mempertaruhkan nyawa. Saya sangat bangga dan kagum dengan kebesaran hati dan jiwa rekan-rekan perawat muda, yang tidak jarang tanpa pengalaman, berani 'melawan' Corona. Mereka tantang peluang tersebut. Walau boleh jadi karena sudah frustasi lantaran tidak punya pilihan.
Padahal hemat saya, professional yang berhak dan kompeten merawat pasien Corona adalah mereka yang berpredikat spesialis. Mereka yang senior. Corona merupakan wabah, bukan untuk bahan uji coba. Yang terjadi adalah perekrutan besar-besar pada perawat pemula yang belum memiliki pengalaman ini merupakan kesalahan dalam sistem penanganan wabah di negeri ini. Penanganan pasien Corona berbeda dengan menangani korban bencana Tsunami atau gempa di Lombok beberapa tahun lalu.Â