Hingga memori bocah saya terbentuk lebih jelas, antara usia 3 atau empat tahun, rasa-rasanya saya sudah belajar puasa sejak masih dini sekali. Bukan karena dipaksa, tapi lingkungan yang hangatlah yang menggugah saya melakukannya dengan suka rela. Bersama puluhan santri ayah saya, seolah-olah kami berlomba untuk menjadi yang paling istiqomah/konsisten dengan ibadah yang satu ini. Mushalla juga lebih semarak dan penuh sesak - sebelum ayah saya membangun masjid - karena bertambah jamaah dari kalangan orang dewasa. Memang sih, sampai usia delapan, terkadang puasanya masih ada yang bolong ( usia sembilan tinggal di pesantren salah seorang kerabat, jadi malu saja jika di tahun-tahun berikutnya sampai gak puasa meski cuma sehari ). Tumbuh di desa yang permai, zaman itu masih banyak sekali permainan tradisional yang bisa dimanfaatkan untuk mengalihkan rasa lapar. Dan tentunya gak perlu biaya, kecuali sumber daya manusia, aspek yang tidak perlu dipikirkan....karena dikelilingi banyak bocah sekampung. Setiap hari adalah menjelajah, bereksplorasi, bertabayyun. Kami memiliki sumber mata air yang jernih, sungai yang menyenangkan, pohon-pohon yang menunggu dipanjati, rumah kayu bikinan salah seorang kakek ( di kampung kita memiliki banyak kakek dan nenek! :), berburu tebu manis, memetik buah-buah liar ( seringnya di halaman tetangga yang baik hati ), atau sekedar leyeh-leyeh di area berhawa sejuk yang banyak pohon bambunya. Menjelang berbuka biasanya kita semua pada berhamburan pulang. Penuh semangat menyiapkan minuman manis ( biasanya es, karena sepanjang hari bermain terus jadi hauss luar biasa ). Setelah diingat-ingat, momen menunggu adzan maghrib adalah yang paling romantis dan elegan ( hahha! ), membuat jantung berdebar, berubah tak sabaran seolah menunggu kekasih yang akan segera datang ( sudah tahu bakal datang, bukannya tenang malah semakin heboh, karena setiap anak memiliki ritual 'menyiapkan takjil' istimewanya sendiri-sendiri ). Setiap menit dan detiknya, mulai dihitung mundur. Dimana hal ini semakin diperparah penyiar radio favorit lokal, yang ikut-ikutan menghitung mundur dengan suara dramatis dan lebayyy ( sayang saat itu belum ada istilah ini :). Dan begitu bedug ditabuh......seolah pemain sepak bola yang sukses menjebol gawang lawan, Â kegembiraannya sungguh tak terlukiskan. Karena kami anak-anak, yang masih suci murni, selain bahagia bisa makan dan minum lagi, Â sebenarnya ada yang lebih mendalam dari perasaan-perasaan sekedar ingin menghilangkan haus dan dahaga.....jika dipikir-pikir lagi, dengan pengetahun dan pengalaman di masa dewasa....tentang jiwa-jiwa yang tenang, puas dan lega....semacam perasaan spiritual tingkat tinggi ( bagaimanapun anak-anak belum punya pikiran duniawi sebagaimana halnya orang dewasa ). Fakta lain, bahwa kenyataannya memang anak-anak kampung terbiasa dididik untuk menjadi anak-anak yang salih. Dengan lingkungan yang mendukung, para orang tua yang peduli dan pengajar yang istiqomah ( sesibuk-sibuknya ayah saya sebagai PNS di bawah naungan kantor departemen agama, malam hari tetaplah wajib bagi beliau mengajari santri-santrinya berbagai ilmu agama...hingga akhir hayat, ayah saya tetap ngemong santri-santri...entah generasi ke berapa karena tradisi 'pernikahan dini'.....adakalanya sejumlah santri terakhir adalah cucu-cucu santri dari generasi pertama...khushushon ila ruuhi aby, bihurmatil-faatihah! ). Ba'da isya', kami para bocah bertemu lagi. Siap-siap shalat fardhu berjamaah yang kemudian dilanjutkan dengan tarawih. Usai tarawih, anak-anak dan orang dewasa duduk bersama-sama, beberapa menit bersantai dulu di mushalla, menikmati camilan ( pisang goreng, kacang rebus, dkk ) dan meneguk teh atau kopi hangat. Setelah itu, para orang dewasa dan santri senior yang ngajinya tartil membuat lingkaran besar, tadarrusan. Saya dan teman-teman bocah bermain di halaman panjang rumah keluarga ibu saya ( halaman ini terhampar di antara mushalla dan deretan rumah ), biasanya permainan favorit adalah gobak sodor atau gendong-gendongan dari ujung sana ke ujung sini. Si pemanggul atau penggendong biasanya yang kalah dalam sebuah permainan. Atau jika tidak sedang bermain, pasti rujakan....pedes buanget, tapi diembat juga. Pada masa inilah saya mencicipi rasa gurihnya makan laron goreng yang dibawa oleh salah seorang santri, ternyata enak juga :D Â Beda sekali kalau disuruh makan sekarang. Malam hari di bulan puasa adalah malam-malam terbaik bagi kami para bocah; liburan sekolah - dulu masa puasa pasti sekolah libur -, boleh begadang, anak-anak santri pada menginap, yang laki-laki di mushalla dan yang perempuan di rumah orang tua saya. Gak dimana pun, yang namanya menginap rame-rame pasti seru. Ada saja permainan in door yang bisa dilakukan, seolah tak pernah kehabisan ide. Otak jalan terus, juga bergerak terus. Jadinya, saat tidur pulas banget. Gak ketahuan sudah kaki dimana atau hidung siapa yang terpaksa menghirup udara busuk. Lalu tibalah waktu sahur....dan ini bagian yang mengherankan, karena sedikit jarang yang susah dibangunkan. Sepanjang yang saya ingat, meski tak berselera makan, saya toh tetap bangun. Begitu juga teman-teman, cuma bedanya mereka harus pulang ke rumah masing-masing. Yang agak jauhan rumahnya, biasanya sudah ditunggu wali mereka di teras rumah. Ah, mengingat kenangan masa bocah ini, rasanya ingin kembali lagi.
Mungkin harus belajar ngerogo sukma dulu ya, atau astral projection. hehehe. Selamat Jelang Puasa Ramadhan, yaa. [caption id="attachment_265532" align="aligncenter" width="300" caption="anak-anak dan dunia mereka.....(dok.pribadi)"][/caption]
KEMBALI KE ARTIKEL