Satu kasus adalah bocah berusia tujuh belas tahun ke atas. Di usia ini kita akan menganggap wajar jika mereka sudah memiliki pacar. Meski hanya sekedar pacar imajiner di FB, yang lucunya akun itu mereka buat sendiri dengan tampilan pic profile hasil kemurahan mbah google.
Namun bagaimana jika aksi ini dilakukan oleh bocah berusia antara sebelas atau dua belas tahun?
Sebagai emak-emak yang punya sulung seusia bocah dalam kasus kedua, saya pun bertanya padanya. "Kenapa sih temanmu merasa perlu membuat akun pacar bohongan?"
"Iseng aja kok, Bun. Katanya sih untuk menolak anak yang suka nembak dia."
"Kenapa gak langsung ditolak aja?" Saya masih kekeuh investigasi.
Sulung saya yang cuek bebek sama urusan pribadi sesama abege labilnya cuma angkat bahu. "Lupa gak nanya, Bun. Emang penting, ya?"
Maksud jawaban dia 'emang penting, ya?' itu karena berkaitan dengan gaya cuek bebek-nya yang katanya akibat ketidak sukaan dia mencampuri urusan orang lain. Mau orang lain bohong, itu urusan orang, yang penting aku ( si sulung ) nggak ikutan berbuat begitu. Begitu sulung saya memberi penjelasan. hehehe.
Baiklah Lung, be yourself. Bunda bersamamu selalu.
Jadilah saya memikirkan fenomena kekinian para abege ini seorang diri. Benarkah status itu semata-mata untuk menolak cinta anak lain yang tidak disukai? Atau malah untuk menaikkan status manakala teman-teman mereka justru sudah berpasangan?
Di sebuah SMP dimana seorang ponakan cewek saya bersekolah, para abegenya memiliki 'kepercayaan' Â bahwasanya tidaklah afdol jika belum punya pacar. Karena beda zaman, sukalah saya mengintip akun-akun para bocah ingusan ini dari kota-kota yang berbeda. Dan ternyata fenomenanya sebelas-dua belas, alias tak beda jauh. Sebagaimana yang terekam dalam banyak kicauan para orang tua yang mengeluhkan perilaku abege-abege mereka, yang di rumah bisa sangat manis, tapi di luar....sungguh bikin ngeri.
Sekolah dari dulu hingga hari ini, dari sisi sosialisasi para abegenya, ternyata tak beranjak ya? Anak-anak populer, terutama, lebih mudah mempengaruhi gaya hidup sesamanya. Jika kelompok ini membawa udara segar bagaimana menjadi positif dan kreatif hingga saatnya nanti jam-jam di luar sekolah, orang tua bolehlah bernapas lega. Namun jika sebaliknya, maka tak ada yang bisa dilakukan selain menarik anak dari sekolah, cari sekolah lain yang lebih aman dan nyaman, atau apa saja.
Percayalah, sekali anak rusak, butuh waktu, tenaga, biaya, yang lebih banyak dan lebih berat untuk memperbaikinya. Saya mengenal sejumlah pasangan orang tua dengan kasus anak-anak bermasalah yang cukup berat, melihat bagaimana mereka jatuh bangun, dan hidup dalam kesedihan yang teramat sangat mengingat harapan yang hancur manakala anak-anak itu seolah terperangkap dalam lingkaran hidup segan mati tak mau.
***