Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Menuju Ubud

11 Oktober 2011   06:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:05 174 0
Sehari sebelum perjalanan, semua hal telah disiapkan. Termasuk merampungkan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Jadi, ketika sudah meninggalkan rumah pada pukul sembilan tiga puluh menit waktu Indonesia bagian barat, saya, suami, dan anak-anak, tak cemas sekiranya melupakan sesuatu. Doa musafir pasti, dan barang-barang serta bekal yang menggunung di bagasi sungguh bikin geli sekaligus frustasi, terutama suami yang saat menyetir sering terhalang viewnya saat melirik ke spion gara-gara seonggok dua barang yang tercipta kemudian karena kehebohan anak-anak yang memerlukan ini atau itu di dalam perjalanan. [caption id="attachment_136192" align="alignnone" width="150" caption="belum termasuk bantal dan selimut:)"][/caption] Beginilah kondisinya jika emak-emak bepergian, beserta 'rombong'nya:D dengan tiga orang anak yang dua dari tiga bocah itu harus juga 'melibatkan' sahabat-sahabat bonekanya kemanapun mereka pergi. Walhasil, mobil sewaan yang sudah disesaki lima penumpang itu menjadi tampak kasihan. Harus berdesakan satu sama lainnya, terlebih jika balita kami kambuh kepala batunya dan ia sedang sangat ingin duduk selonjor kaki seolah turis kesasar di tepi pantai lalu jatuh tertidur di antara saya dan kakak perempuannya. Syukurlah, tak lebih dari dua jam mengendara kami tiba di rumah ibu saya di Paiton. Mampir sejenak untuk shalat dzuhur, sementara anak-anak bermain dengan para sepupu. Masih sempat mengudap buah mangga Probolinggo yang manis itu, plus lima kiloan manalagi pemberian kakak perempuan untuk dibawa ke Bali. Meneruskan perjalanan di jalur pantura yang panas, menara-menara beton PLTU mulai terlihat. Beberapa puncak dari menara itu mengeluarkan asap, membuat langit siang yang terik menjadi kelabu. Setiap kali melewati wilayah perbatasan timur Probolinggo dan Situbondo ini, saya selalu memikirkan efek pembuangan dari aktivitas kompleks untuk menghasilkan listrik tersebut. Bagaimana nasib lapisan ozon di atas sana? Apakah gunanya industri raksasa ini bagi masyarakat lokal? Ketika kemiskinan dianggap sebagai lagu lama yang sumbang dan praktik prostitusi menjadi kian marak, sesemarak gedung-gedung baru  yang terus tumbuh di jalan-jalan utama kota, adakah yang sungguh-sungguh memikirkan orang-orang pinggiran di kota ini? Mata saya tertuju pada bukit-bukit gersang, dengan kenangan yang kembali pada masa kecil. Pada tahun 80-an akhir, ketika saya bermain di laut, mencari kerang-kerang atau berenang. Sekitar hijau, mangrove ada di mana-mana. Begitu pula bunga-bunga liar yang cantik di dinding bukit di seberang laut, yang dipisahkan oleh jalan raya pantura. Seringkali saya tergoda memetiknya, meski tak bisa berlama-lama. Ada banyak sekali kera-kera, dan liar. Sekarang, tak ada bunga-bunga yang cantik itu lagi. Dalam hati saya merasa sangat marah. Bahkan mangrove, yang melindungi kita dari abrasi dan tsunami, kian mengecil areanya. Di jalur yang dahulu adalah sebuah bagian dari sambungan bukit barisan, yang berkat Daendles dan banyak pekerja pribumi yang gugur demi membelah gunung supaya bisa dijadikan jalan tembus - Gunung Tamporah, lidah lokal - saya dan suami menjadi geram melihat bukit yang tandus dan tersisa sedikit pohon dengan daunnya yang hijau, masih harus menerima perlakuan keji lainnya lagi; dibakar. Mungkin untuk membuka lahan atau apa saja, yang di beberapa bagian pasca pembakaran itu tampak dibersihkan, sampah-sampah ditumpuk dalam beberapa tempat. Semakin ke timur, sebelum memasuki Pasir Putih, gunung-gunung di selatan yang merupakan bagian dari barisan gunung hyang - kini oleh masyarakat lokal dinamai Gunung Butak/Botak - tampak nyata dan menyedihkan sekali efek dari pembalakan hutan di masa lalu. Saya ngeri jika wilayah yang tadinya begitu teduh itu suatu hari menjadi gurun sahara. Saya membaca laporan Totto Chan ketika dewasa dan menjadi duta kemanusiaan yang membela anak-anak di seluruh dunia, salah satunya ke Nigeria. Nigeria dalam bahasa mereka berarti Sungai Besar. Ada sejumlah kota di negeri tersebut yang dikunjungi Totto chan, tadinya 4-5 tahun sebelum kunjungan itu adalah sebuah wilayah yang subur makmur. Lalu orang-orang ( sistem?) mulai menjarah pohon-pohon di hutan, tak lama kemudian air menghilang dan sebuah kota, banyak kota, yang dulu begitu kaya perlahan menjadi kota yang ditinggalkan karena tak ada apapun yang bisa dimakan dan diminum. Perjalanan ini, seperti semua perjalanan yang sudah-sudah, selalu saja ada banyak hal yang menyedihkan saya. Ketika kami berhenti makan siang di sisi Pasir Putih paling ujung, pikiran saya masih terpaku pada gunung Butak. Lalu sekelompok kecil kera di seberang jalan mengalihkan saya dari kesedihan, untuk beralih pada kesedihan lainnya. Seekor ibu kera yang mungil dan kurus menggendong bayinya, mengeluarkan suara yang seolah memanggil-manggil kami, pandangan matanya mengarah ke kotak bekal kami. Jalanan sedang ramai-ramainya, truk-truk melaju kencang. Saya ngeri menyeberang. Seusai makan, suami pergi ke tempat kera-kera duduk menunggu, ada yang di atas batu, di ranting pohon, bahkan di rentangan kabel listrik. Seekor kera menghampiri makanan setelah suami menjauh, lainnya mengambil makanan yang diletakkan di tempat berbeda. Mereka tidak berebut. Saya ingin mengabadikan momen tersebut, ternyata suami lupa membersihkan memori kamera yang penuh dengan gambar-gambar kegiatan sebelumnya. Ya sudah... Ada hal lain yang selalu saya sempatkan ketika melewati wilayah-wilayah yang dahulu kala, di masa kuno, adalah bagian dari Virabhumi 'yang hilang' yang beribukotakan Lumajang. Saya jarang pergi ke timur, jadi kali ini saya benar-benar memperhatikan, benarkan hipotesa saya? Barangkali menurut orang lain, apa yang saya 'percayai' hanyalah remeh temeh, namun belajar dari cara prof. Santos meneliti geografi dan geologi Indonesia sehingga tiba pada kesimpulan bahwa Indonesia adalah Atlantis....belajar dari kepekaan sang profesor dalam melakukan penelitian-penelitian, saya meniru jejaknya, memperlakukan alam sekitar sebagai museum sekaligus lab raksasa bagi penelitian-penelitian saya terkait Virabhumi. Namun saya tak bisa menceritakan tentang Virabhumi dalam tulisan ini, lebih baik tunggu saja buku-buku saya berikutnya yaaa, supaya afdhol:) Sore perlahan menua ketika kami menyusuri Hutan Nasional Baluran di ujung timur Sitobondo yang berbatasan dengan Banyuwangi. Berada di wilayah hutan nasional yang konon masih menyimpan banteng-banteng liarnya ini, saya merasa terperangkap di sebuah tempat yang seolah 'bukan bagian dari Indonesia' karena pohon-pohon jati yang meranggas serupa pokok-pokok mati yang kesepian. Kesedihan kembali menghampiri, hutan yang di masa kuna memiliki tumbuhan beragam ini, kini menjadi hutan yang sama sekali berbeda. Selain pohon jati yang tak berdaun karena dikalahkan musim kemarau, ada pohon kaliandra  merah dengan bunganya yang sangat menawan. Saya ingin mengambil foto, namun tak bisa menghentikan mobil karena khawatir gelap segera datang sebelum kami keluar dari wilayah hutan, selain jalanan memang sangat sepi. ya sudahlah....:( Memasuki wilayah Bajul Mati, Banyuwangi, dengan pemandangan kebun kelapa yang panjang di sisi jalan dengan hamparan laut di belakang sana, kami hanya bisa mengagumi keindahan lanskap di sore yang temaram itu. Seraya berdoa, semoga angin laut menjadi lebih tenang ketika kami menyeberangi selat Bali nanti.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun