Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Menjadikan Menulis Sebagai Pekerjaan Utama

7 Februari 2012   02:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:58 215 0
Itulah yang dikatakan Pramodya Ananta Toer, bahwa menulis adalah profesi sekaligus prioritasnya yang utama. Ia bahkan pernah menolak sebuah jabatan bergengsi yang ditunjuk langsung oleh Soekarno karena tak ingin pekerjaan utamanya, yaitu menulis, terganggu. Hasilnya, karya-karya besar lahir dari tangan dingin Pram. Kita hari ini hanya bisa takjub namun rasanya sulit menemukan kembali sosok penulis dengan kualitas yang serupa Pram di negeri ini setelah kepergian sang maestro.

Sebenarnya tidaklah mengherankan jika kemudian seorang Pram menjadi penulis yang hebat dan menyandang nama besar yang terus bersinar hingga hari ini. Keseriusannya saat bekerja dan menolak apapun 'godaan' duniawi tentu saja tidak mudah namun Pram bisa melewatinya dan tetap setia di jalan yang ia yakini; menulis. Keseriusan yang dibarengi dengan kedisiplinan, dua hal yang telah dibuktikan Pram bagaimana ia menyediakan waktu yang maksimal untuk menulis ( dan membaca ) dan dilakukannya secara terus menerus, berkesinambungan. Tidak pernah berhenti oleh hambatan apapun ( bahkan siksaan yang kejam di penjara ). Seumur hidup Pram mendedikasikan dirinya pada tulisan-tulisannya, yang dipicu oleh semangatnya untuk memperjuangkan kemanusiaan dan rasa keadilan di negeri yang terus dibombardir oleh kesemrawutan sistem ini.

Semangat menyuarakan nasib sesama yang tertindas melalui karya-karya tulisnya, dan kesetiaan seorang Pram pada nilai-nilai universal, telah menempanya menjadi penulis yang berbeda. Yang hanya percaya pada kebenaran. Jabatan dan siksaan tak mampu memalingkan 'iman' di dadanya. Sebagai penulis, Pram adalah sosok teladan bagi kita hari ini yang mudah sekali tergiur oleh tawaran-tawaran menulis karena 'pasar' semata. Sebagai manusia, Pram telah memberi contoh, bahwa apapun yang terjadi seseorang tidak boleh kehilangan rasa kemanusiaannya. Inilah arti sebuah kehidupan yang bermartabat; yang membuat bangga leluhur dan anak cucu kelak.

Kontemplasi

Bagi saya, Pram adalah penulis panutan. Saya menyukai pemikiran-pemikirannya, rasanya seperti dituntun ketika ia berkata: "sastra hanya media untuk meggambarkan realitas sosial dan menyuarakan kembali suara-suara yang terlupakan."

Tak bisa kita pungkiri jika kualitas kehidupan sosial semakin memburuk saja. Kita orang muda hanya dicekoki gambaran perilaku amoral dari atas hingga bawah atau sebaliknya. Kita berada di dalam pandulum yang bergerak  statis; dibodohi, ditindas, dipinggirkan, dimiskinkan, diabaikan. Melihat realitas isinya seolah-olah pesimisme melulu, karena sudah kadung karatan, kacau, tak terkendali. Tapi setidaknya kita masih bisa pergi ke desa tetangga dengan aman dan tidak terkena hukum penjara desa/kota seperti zamannya Saijah dan Adinda dalam buku Max Havelaar. Di zaman ini kita harus pandai-pandai menjaga harapan, mengais-ngais optimisme di gunung sampah masalah negeri ini.

Saya jadi teringat mendiang penulis Lanfang. Bahwa ia terus menerus merasa marah karena kekacauan sosial yang ia tonton setiap detik dan menit di sekelilingnya. AS. Laksana sebagai teman yang baik kerap membujuk supaya ia melupakan marahnya dengan mengajak bercanda. Tuhan ternyata memanggilnya juga, dalam usia yang relatif muda.

Sebagaimana Lanfang, terkadang saya pun tak bisa menahan diri untuk tak marah, dan saya ekspresikan melalui tulisan-tulisan. Beberapa telah menjadi buku, lainnya masih berupa draft. Sudah lama sekali saya menyimpan kemurkaan pada para koruptor. Mereka membuat negeri ini tidak sejahtera. Ketimpangan sosial dimana-mana. Tidak perlu saya sebutkan daftarnya kita semua sudah tahu. Sebagai penulis sastra tentu saya harus mengalihkan kemurkaan ini ke dalam sesuatu yang bisa dibaca dan dibagi dengan kawan-kawan seiring seperjuangan. Maka lahirlah sebuah draft novel berjudul "Api Di Kepalaku". Inilah petikannya:

Gadis penariku terdampar di jalanan. Kami melakukan aksi tarian ular untuk beberapa keping receh, lalu membeli sebungkus nasi. Ia menyisihkan sepotong daging untukku, lalu menggigit tempe bacem untuk dirinya sendiri seraya tersenyum padaku. Aku memikirkan gadis penariku yang wajahnya kian tirus. Dan selera makanku lenyap setiap kali penyesalan menggelayuti hatiku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun