Dalam makalahnya, "Dinamika Sosio-Politika Negara Lamajang Pada Panggung Jawa Abad XIII-XVIIImasehi", Sejarawan M.Dwi Cahyono salah seorang nara sumber pada acara Seminar Nasional Hari Jadi Lumajang tanggal 17 Desember 2011 ( dari Univ. Negeri Malang )Â menyampaikan:
tampilnya Aryya Wiraraja sebagai penguasa otonom Lamajang - Tiga Juru tidak hanya mendapat sokongan dari para pejabat eks-kadehan di atas, namun sudah pasti secara horisontal juga diterima dan didukung orang-orang Lamajang - tiga juru itu sendiri. Dengan perkataan lain Wiraraja mempunyai basis pendukung di daerah ini, lantaran leluhurnya adalah seorang pejabat di Lamajang. Dalam tafsir ini, Wiraraja dimungkinkan merupakan keturunan dari pejabat semasa pemerintahan Sri Sminingrat, yang berkuasa di Lamajang, yakni Nararya Kirana. Jika bukan keturunan keluarga Tumapel, sulit dibayangkan Wiraraja mendapat kedudukan yang cukup tinggi di kerajaan Tumapel dalam masa pemerintahan Kretanegara,... Menilik lebih jauh hipotesa Dwi Cahyono, menurut pohon keluarga Tumapel, artinya Wiraraja adalah cucu kandung dari Sri SminingRat atau Wisnuwardhana mengingat Kirana dalam prasasti Mula Malurung dijelaskan sebagai
Saksat atmaja nira Nararya Sminingrat (semata-mata anak dari Sri Sminingrat). Dan jika Kirana dan Kretanagara adalah bersaudara, maka Wiraraja tentu saja keponakan sah dari maharaja saYawadwipamandala-Nusantara yang fenomenal ini. Dengan fakta terbarukan ini - meski sudah ada pendapat lama yang menyatakan hipotesa yang kurang lebih 'satu pandangan' - sudah semestinya pengecilan-pengecilan terhadap pribadi seorang Wiraraja ( yang diprakarsai babad Pararaton dan sejenisnya ) ini berakhir sampai di sini. Bagaimanapun sebuah babad yang ditulis satu-dua abad pasca sebuah peristiwa terjadi, seringkali bias dan sarat kepentingan penguasa berikutnya. Selain itu, babad secara kelas berada dalam barisan data sekunder. Yang tentunya di bawah nilai prasasti, data primer. Dengan kata lain, dahulukan data primer, baru melangkah ke data sekunder. Begitupun, sepakat dengan pendapat Prof. Berg yang berkata, bahwa Pararaton dan Nagarakretagama itu menyampaikan banyak informasi yang mengandung kebohongan-kebohongan. Karena itu dibutuhkan kehati-hatian dalam memandang sejarah versi 'pararaton dkk' dan terus membuka mata pada fakta dan data-data sejarah lainnya, yang sebenarnya berlimpah jika saja seseorang berjuang keras untuk menemukan kebenaran yang 'paling mendekati'. Misalnya mengenai Harsawijaya atau yang dikenal sebagai Raden Wijaya dalam Pararaton, ternyata dalam prasasti yang dikeluarkan Wisnuwardhana tahun 1255 masehi dijelaskan sebagai
maka wyakti sira sri harsawijaya parnah pahulunan dai ning ra nararya sminingrat.inandel aken mungwing ratna kanaka sinhasana. nkaneng bhumi jangala. Di sini sangat jelas disebutkan bahwa Wijaya adalah keponakan Sminingrat alias Wisnuwardhana, yang berarti sepupu dari Sri Kertanagara. Sebuah fakta dalama sejarah Wilwatikta yang tidak pernah diungkap, bahwa Wijaya ternyata seusia dengan Kertanagara. Lalu bagaimana ia bisa ( pantas ) menjadi menantunya? Dan dalam prasasti ini juga tidak ada disebutkan ia sebagai menantu siapapun selain sebagai penguasa di Janggala.
Merekonstruksi Ulang Sejarah Wiraraja dan Lamajang Virabhumi Namun tetaplah hal yang menggembirakan ketika ketokohan seorang Nararya Wiraraja diakui oleh banyak kalangan, secara lebih manusiawi. Kenyataan bahwa selama ini kisah laki-laki ini dan nagara-nagara yang pernah di bawah pengelolaannya ( Virabhumi dan Madura ) lebih banyak dari kaca mata Outsider yang cenderung mengecilkan bahkan membunuh karakter sang tokoh. Karena alasan ini, sejak tahun 2008, sebagai novelis yang merasa tersentuh dengan kisah-kisah lokal yang bertebaran di tapal kuda, khususnya sejarah Lamajang Virabhumi di bawah kepemimpinan Wiraraja, sampai saat ini sudah menghasilkan dan menyelesaikan dua buku novel sejarah. Dalam novel yang berjudul Bhumi Tumapel, bahkan sudah disebutkan bahwa Wiraraja adalah putera bangsawan tinggi keturunan Wisnuwardhana, yang ternyata dalam seminar 17 Desember lalu diteguhkan oleh pendapat sejarawan dan arkeolog M. Dwi Cahyono dari UNM. [caption id="attachment_151087" align="alignnone" width="300" caption="Nararya Adhikara atau Ranggalawe, putra Nararya Wiraraja, leluhur keluarga besar Mego ( Mego Lamat ) yang masih bertahan hingga hari ini. Banyak dari keturunannya adalah tokoh besar Jatim, misalnya pengasuh pesantren besar Zainul Hasan KH. Mutawakkil (dari garis ibu, almaghfiroh Nyai Hafsa)."][/caption]
KEMBALI KE ARTIKEL