Setidaknya itulah yang dikatakan Mbah Citro pengasuh padepokan Sunyaruri di lereng gunung Lemongan ketika seorang kawan tertarik menunjukkan foto di layar ponsel N**** saya kepada beliau. Seperti yang sudah saya tulis dalam postingan sebelumnya, komunitas kami menggelar diskusi publik "Meneguhkan Pancasila, Menegakkan Kedaulatan Rakyat" dengan meminjam paseban Simbah yang sudah berusia lebih dari seratus tahun tersebut. Tentu saja ketika berniat mengambil gambar tujuan saya adalah untuk merekam kegiatan tersebut sebagai dokumen pribadi, dan sama sekali tidak terpikirkan bakal mendapat hasil gambar yang mengejutkan sedemikian rupa. Seumur hidup ini pertama kali saya dibuat merinding dari sekian aktivitas memotret, entah itu menggunakan kamera dvd, kamera digital, maupun kamera ponsel. [caption id="attachment_111846" align="aligncenter" width="300" caption="Perhatikan bayangan 'sosok tinggi' di belakang orang berkaus putih garis-garis. Faktanya, tak ada siapapun di belakang si kaus putih ketika saya mengklik utk memotret peserta diskusi di seberang tempat saya duduk."][/caption] Tadinya, sudut ruangan dalam paseban - tempat acara diskusi publik - dimana saya memilih tempat ini karena masih sepi ( satu-satunya bagian yang belum penuh ) supaya anak saya memiliki cukup ruang untuk bergerak maupun leyeh-leyeh. Di depan saya, kawan yang berkaus putih garis-garis dan seseorang dengan laptopnya tak jauh di sisi kanan, keduanya adalah jurnalis yang mungkin memilih tempat ini karena cukup lapang di samping strategis untuk mengambil foto para narasumber beberapa meter di hadapan kami. Di awal pembukaan acara, di sekitar sudut ruangan tempat saya duduk hanya ada dua orang ini dan seorang ibu di samping saya. Saya yang terserap ke dalam 'semangat' mendengarkan sambutan-sambutan pembukaan diskusi hanya memberikan begitu saja ponsel saya kepada si kecil supaya ia berhenti merajuk. Namun ternyata minatnya 'otak atik' ponsel tak lama, segera ia menyerahkan kembali ponsel. Dan sebelum saya memasukkan ponsel ke dalam saku celana gunung saya, terbersit begitu saja untuk mengambil gambar acara diskusi yang dipenuhi peserta yang mungkin sama bersemangatnya dengan saya mengingat 'jam terbang' para nara sumber supaya turut tercerahkan setelah mendengarkan pemikiran-pemikiran mereka tentang nilai-nilai Pancasila yang indah dan solutif dalam konteks Indonesia yang terus bergerak ke dalam kekacauan hari ini. Saya arahkan kamera ponsel ke deretan peserta yang membludak di seberang saya duduk, mengklik, dan lihat hasilnya. Shock! Tak ada siapapun yang muncul berlalu lalang dan menghalangi saya dari objek yang ingin saya foto, setidaknya itulah yang saya yakini ketika memastikan layar lalu menekan tombol. Sayangnya 'sosok' itu muncul. Pelan-pelan saya turunkan kamera ke dalam saku. Di samping saya hanya ada seorang ibu, kawan saya dari Jember, isteri seorang aktivis yang suaminya baru saja keluar tahanan karena berusaha membongkar perilaku korup seorang pejabat di sana. Saya tak mau membuatnya takut dengan tergesa menunjukkan hasil foto yang baru saya peroleh. Jadi saya menyimpannya di saku. Lalu melupakannya karena terserap ke dalam pemikiran-pemikiran kritis para nasum dan tanggapan para audiens yang sama bersemangatnya, berharap masa depan Indonesia yang lebih baik. Tak berniat membuat 'tempat duduk' khusus muslimah di dalam ruangan diskusi tersebut, nyatanya sekitar saya perlahan dipenuhi ibu-ibu dan pelajar putri. Ketika tempat saya menjadi sangat sesak, saya teringat foto penampakan itu, dan menunjukkannya sambil bercanda kepada dua emak-emak di kanan kiri saya. Seorang perempuan dari Forum Silaturrahim Wotgalih yang sangat vokal melawan perusahaan pertambangan di desanya, mengedarkan foto tersebut kepada teman-teman rombongannya. Lalu kami melupakannya, asyik kembali mengikuti jalannya diskusi, hingga waktu berakhir sementara masih banyak peserta yang ingin menyampaikan pemikiran-pemikirannya. Seusai acara, foto yang diteguhkan Mbah Citro sebagai 'Bung karno' kian menarik lebih banyak orang untuk melihatnya, tak terkecuali kawan-kawan jurnalis. Beberapa dari mereka berjanji akan menerbitkannya. Dan di Kompasiana saya khusus membaginya lebih dahulu kepada kawan-kawan di sini. hehehe [caption id="attachment_111852" align="aligncenter" width="300" caption="Para narasumber, dari kanan: Pak Bambang perwakilan Polresta Lumajang, Mas Bambud PUSHAM Unair, Gunawan Wibisono PRM, Halim HD, dan Nanang R. Hidayat penulis buku "Mencari Telur Garuda" dan dosen ISI Jogjya."][/caption] [caption id="attachment_111854" align="aligncenter" width="300" caption="tadinya kamera ponsel saya mengarah ke obyek foto di bagian ini tp terhalang'sosok' yg tiba-tiba muncul di dlm potret."][/caption]
KEMBALI KE ARTIKEL