Memandang semua fakta-fakta tersebut, pagi ini saya pun berpikir tentang 'tragedi intelektual' yang di dunia Kebebasan Berpikir harusnya tak perlu terjadi. Jika sebuah tulisan begitu menyentak kesadaran banyak orang, artinya telah timbul percikan kecil yang perlahan membesar karena nilai universalitasnya semata. Karena jika sebuah tulisan tidak bernilai apa-apa, maka secara hukum alam 'ia' akan terlupakan. Waktu akan menguburnya begitu saja. Dan itu tidak akan pernah dialami oleh sebuah tulisan yang bernyawa karena telah membawa pesan-pesannya yang universal, yang ada dan menyentuh setiap kepala di dunia ini. Dan jika dipikirkan secara mendalam, bukankah teramat konyol karena sebagian kita - yang arogan dan menolak jujur pada hati nuraninya - ketakutan setengah mati pada sebuah tulisan yang riil menyuarakan sebuah realitas yang disembunyikan atau terabaikan?
Seorang penulis, yang pada mulanya harus menjalani proses 'belajar' yang sangat personal. Pada dasarnya hanya ingin mengekspresikan sebuah kejujuran di dalam dirinya. Hasil dari apa yang ia lihat, dengar, dan renungan. Karena penulis sejati hanya tahu apa itu yang disebut 'panggilan jiwa' yang bisa jadi telah meresahkannya selama sekian waktu. Lalu ia hanya perlu menuangkannya dalam sebuah tulisan jika tidak mau menjadi gila karena ketidak berdayaannya melawan 'kejahatan' di dunia nyata yang menggila.
Sesederhana itulah seorang Penulis. Hanya seseorang yang sangat manusiawi. Dengan 'seribu pertanyaan dan gugatan' di dalam tulisan-tulisannya yang juga manusiawi. Dan ketika ia dibenci karena tulisan-tulisannya, pemikiran-pemikirannya, sebenarnya kita telah membenci diri sendiri. Diri kita yang manusiawi. Lalu perlahan kita akan kehilangan rasa kemanusiaan kita. Yang membuat kita kehilangan sifat dasar dan hak asal usul, sebagai manusia yang beradab.