Apakah saya terlalu muluk? Seorang teman pernah mengkritik, "jangan memikirkan yang besar-besar."
Sama sekali saya tak menginginkannya. Sayangnya, mereka masuk begitu saja dalam pikiran-pikiran saya, lalu mengganggu saya dengan tohokan-tohokannya. Ini negerimu, dan mereka yang miskin, kelaparan, dibodohi, dipinggirkan, dilemahkan, adalah saudara-saudaramu. Dan sebagai muslim agama saya mengajarkan, sebaik-baiknya orang adalah yang bermanfaat bagi sesama atau Yang Di Langit akan mencintaimu jika kau mengasihi yang di bumi. Lalu, bisakah saya melarikan diri saja? Dan menjadi seorang pecundang. Padahal hidup hanya 'sekedip' mata, bagaimana kelak saya 'melapor' kepadaNya saat kembali?
Maka saya suka menulis - terlepas jika buku-buku saya laris di pasaran:D, berharap bertemu banyak orang yang memiliki semangat yang sama, sehingga kita bisa berjuang bersama. Jadi, ini tidak semata-mata bagaimana menulis dengan narasi canggih dan deskripsi memukau yang pilihan diksinya bisa membuat kita dianugerahi gelar sebagai si penulis fenomenal maupun kacangan. Menulis saya kira melebihi pesan moral yang disisipkan di dalamnya, yaitu sinergi, sebuah kesinambungan dan hubungan yang riil. Ada kontribusi, kerja-kerja, dan lahirlah sebuah karya.
Apakah saya masih muluk? Entahlah, namun dengan demikian saya bisa menggugat. Jika negara dikelola dengan benar maka kegeraman-kegeraman ini tak perlu menyiksa saya. Kata-kata Pelecehan Terhadap Rakyat Indonesia tak perlu muncul di benak setiap kali saya melihatĀ 'orang-orang yang dikalahkan penderitaan' menjadi gila dan dibiarkan di jalanan. Juga kata-kata itu akan muncul manakala melihat para lansia masih berjibaku dengan kebutuhan perut sementara untuk membawa tubuh saja adalah beban tersendiri.................arrrghhhh.
Saya suka menulis....bisa jadi karena fenomena-fenomena sosial itu membuat saya tak berdaya, meski sudah melawan, meski hanya kecil, yang tak berarti bagi masalah yang besar-besar.....:(