Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Transcendence; Ketika Teknologi Memperbudak Kita

7 Mei 2014   03:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:47 333 0


Keinginan Will untuk mengembangkan kecerdasan buatan itu selain mendapat dukungan juga banyak yang menentang. Pada film tersebut, setelah Will melakukan presentasi, seorang peserta berusaha membunuhnya dengan menembaknya. Meski tak berhasil membunuhnya, namun peluru yang digunakan adalah peluru khusus dengan zat beracun. Dalam film itu, Will divonis akan mengalami kelumpuhan fisik dan kemungkinan besar akan kehilangan nyawanya dalam hitungan minggu.

Awalnya Evelyn, kekasih Will, dengan berat hati akan merelakan kematian Will. Namun, tiba-tiba saja dia menemukan salah satu hasil ujicoba penelitian Will kepada seekor kera. Mendapati hal itu, Evelyn kemudian terpikirkan untuk melakukan ujicoba itu kepada Will. Memasukkan memori Will ke prosesor kuantum dan mengunggahnya ke dalam komputer super canggih. Berhasil. Meski akhirnya Will secara fisik meninggal, namun memori yang terkoneksi dengan prosesor super itu hidup! Otaknya hidup dan telah menjadi sebuah komputer. Bahasa mudahnya, otak manusia ada di dalam komputer. How crazy is that!

Evelyn yang telah dibutakan cinta menolak kenyataan bahwa sejatinya Will telah mati. Max, salah seorang teman yang membantu Evelyn meragukan bahwa 'makhluk' yang ada di dalam komputer itu adalah Will. Evelyn mengusir Max. Begitulah kemudian Will berkembang menjadi sebuah super komputer yang benar-benar menjadi 'tuhan'. Menghidupkan yang mati, menyembuhkan orang lumpuh, menciptakan hujan adalah gambaran mukjizat-mukjizat yang dilakukan Will.

Apa yang terjadi pada film itu menurut saya adalah apa yang sangat mungkin dilakukan manusia hanya dalam hitungan dekade lagi. Kecanggihan teknologi yang kita rasakan saat ini adalah gambaran nyata semua itu. Seperti yang diungkapkan Max di awal film itu, internet awalnya hadir untuk mengecilkan dunia ini, agar ia bisa digenggam. Namun, tanpa disadari akhirnya dunia ini menjadi kecil tanpa internet. Ia menjadi sesuatu yang kita butuhkan. Bukan inginkan.

Teknologi beserta internet menjadi sesuatu yang mengikat kita. Tanpa disadari, kita menjadi budak teknologi dan internet. Saya pikir saya adalah salah satu korbannya. Hampir sepanjang hari, smartphone yang tak pintar-pintar amat itu, ada di dekat saya. Jaraknya tak boleh lebih dari tiga langkah. Keintiman saya dengan smarthpone bahkan berlanjut sampai ke jenjang yang lebih serius. Dari awalnya hanya sering berdekatan kini telah sampai kepada tahap 'bobo bareng'. Ia menjadi lebih intim dibandingkan dengan kekasih saya. Yang paling parahnya, buang air pun saya minta ditemani! Seperti rindu ia menjadi candu. Saya kecanduan.

Smartphone saya, yang tak cerdas-cerdas amat itu, harus diakui memang cukup membantu beberapa hal dalam hidup saya. Komunikasi dengan kekasih lebih mudah, biaya yang dikeluarkan lebih murah, pekerjaan bisa diakses kapan saja. Begitulah, saya pikir awalnya 'bisa diakses kapan saja' itu membantu. Ternyata ia adalah bumerang, senjata yang jika dilemparkan akan berbalik kepada si pelempar. Saya pikir bukan hanya saya yang mengalami hal itu. 'Bisa diakses kapan saja' itu berarti ya bisa siang, bisa malam, bisa pagi. Pagi-pagi buta juga bisa, tengah malam juga bisa, pas lagi libur juga bisa, pas lagi malam mingguan juga bisa. So, there's no limit! Ya, tak ada batas. Anda bisa dijangkau siapa saja, kapan saja, dimana saja. Buat saya itu menjadi mengerikan.

Belum lagi kecenderungan-kecenderungan negatif lainnya, yang memungkinkan kita untuk menjadi seorang perayu dan penggoda misalnya. Dengan 'like' atau memberi simbol 'hati' kepada media orang-orang yang terkoneksi dengan kita, pembicaraan biasa bisa menjadi godaan, godaan bisa menjadi rayuan, rayuan bisa menjadi ajakan untuk hal-hal yang sama-sama diinginkan berikutnya. Ah, ini seram. Dan bisa dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan siapa saja. Karena kita 'bisa diakses kapan saja'.

Saya jadi teringat headline Koran Tempo beberapa minggu lalu. Kalau saya tidak salah judul headline-nya adalah; Mari Melambat. Koran Tempo mengajak kita untuk melambatkan diri kita. Mengambil waktu sejenak dan melilhat apa yang kita lakukan dengan kecanggihan teknologi ini. Kita menjadi terlalu cepat. Kita ingin semuanya dikerjakan, dilakukan, dieksekusi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.  Kita yang sekarang tak lagi bisa menunggu pagi datang untuk melanjutkan berbagai kegiatan kita. 'Kalau bisa diselesaikan hari ini kenapa harus nunggu besok'. Padahal dulu kita masih bisa bersabar. Mengecek, menunggu dan membalas email dari rekan kerja esok hari adalah apa yang bisa kita kerjakan dulu, dan kita bisa bersabar untuk itu.

Tanpa disadari 'kecepatan' ini telah membuat kita mengurangi kesempatan kita untuk berefleksi. Kita menjadi makhluk yang paling haus informasi, mungkin dalam beratus-ratus tahun belakangan, walaupun saya tak melakukan riset.  Kita telan informasi mentah-mentah. Tak lagi ada kesempatan untuk menganalisa dan menilainya. Semuanya menjadi terlalu cepat.

Tulisan ini adalah pengakuan saya secara sadar bahwa saya adalah satu diantara korban kemajuan teknologi ini. Saya juga mungkin telah menjadi terlalu cepat. Saya juga mungkin adalah seorang penggoda dan lelaki haus perhatian. Saya juga mungkin adalah seseorang yang tak bisa menunggu esok untuk membaca semua email yang masuk. Saya juga mungkin adalah budak dari teknologi ini.

Saya ingin melambat, karenanya saya tuliskan hal ini. Buah refleksi saya. Mari melambat.

Salam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun