Kebun milik Ejen Zaenal di Desa Cikajang, Kecamatan Cikajang, Garut, Jawa Barat, dipenuhi pohon seperti nangka dan alpukat yang ditanam pasangan Murni Kurniawati dan Sholehudin. Murni dan Sholehudin merupakan pasangan pertama yang melaksanakan himbauan atau edaran Bupati terkait kewajiban menanam pohon bagi pasangan yang hendak menikah. Pohon-pohon ini tampak tidak terurus dan hanya ada satu pohon alpukat yang masih terawat dengan baik. Murni mengaku tak merawat pohon di kebun ini, meski dulu ia sendiri yang menanamnya dua tahun lalu.
“Pohon yang sekarang masalah dirawatnya terus terang saya sendiri nggak merawat. Tapi suami saya pernah ngebetulin pagarnya karena pohonnya sudah nggak ada terus dibetulin lagi dipagar lagi. Untuk sekarang belum dilihat lagi,” kata Murni.
Di Garut ada 40 lebih kecamatan. Tapi baru tiga kecamatan yang melaksanakan program wajib tanam pohon bagi pasangan yang hendak menikah atau bercerai. Selain Cikajang, ada kecamatan Tarogong Kidul dan Banyuresmi. Sejak aturan diberlakukan, Garut mendapat tambahan pohon hampir 10 ribu pohon. (sumber)
Mari kita bayangkan, kebijakan ini diberlakukan di seluruh warga Indonesia, di seluruh kecamatan dan provinsi Indonesia yang hendak menjadi pengantin maupun pengantin yang hendak bercerai. Krisis tidak krisis, penanaman pohon selalu dinilai positif dan membawa dampak yang sehat. Dalam tujuan apapun, tidak akan ada alasan institusi pemerintah akan memberhentikan penghijauan.
Namun.
Faktanya, kebijakan hanyalah kebijakan. Mereka mempertimbangkan sesuatu demi sesuatu. Ironis jika hanya menanam dan tidak melestarikannya, buat apa? Berbeda dengan apa yang dialami masyarakat di luar Kabupaten Garut. Berhubung saya tinggal di sebuah kota metropolitan, kasusnya adalah penanaman pohon disertai dengan pelebaran jalan yang maksimal. Maksudnya, disamping kita menanam pohon (karena) dikomandokan untuk menanam dari pemda setempat, dilain sisi pelebaran jalan juga diberlakukan dengan memotong lahan hijau di jalan-jalan umum. Miris.
Respon kritikannya sudah dalam tahap yang benar, yaitu melebarkan jalan untuk tempat manusia berlalu-lalang dengan kendaraan berplat-nomor, tetapi mengorbankan tanaman hijau yang berada tepat dipinggirnya.
Masih ada yang lebih menyedihkan.
In another hand. Talk broadly about forest of Indonesia.
Berdasarkan data-data dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), tahun 2000 hingga 2005, rata-rata perhari 5,1 km2 hutan Indonesia hilang (rusak). Dengan menghitung rata-rata kerusakan hutan Indonesia pada tahun 2002 PBB, merilis Hutan Sumatera dan Hutan Kalimantan akan punah pada tahun 2032. Namun rilis resmi PBB tersebut di ralat pada tahun 2007. Hal tersebut di latar belakangi oleh pengrusakan dan pengundulan hutan yang berjalan jauh lebih cepat dari yang di perkirakan, sehingga rilis resmi terbaru PBB menyatakan hutan di Sumatera dan Hutan Kalimantan diperkirakan punah pada tahun 2022. (sumber)
Oh my God!