Season : Pertama
arranged by Ricky Pratama
----------------------------------------
Bullying and Bullshit?
Mencemoh dan Omong Kosong?
--------------------------------------------------
Suara gemerisik memenuhi ruangan... siapa disana? Semuanya seakan terhenti dengan pikirannya masing-masing, Teri – Reno – Mirna, nama itu seakan...
“kok bisa ya si Reno backstreet ma Teri, padahalkan Teri temennya Mirna, Teri kok mau ya... temen macam apa tu?” ujaran itu seakan menjadi hal yang paling biasa, terdengar ringan seakan terasa seperti...
“Iya jahat banget tu si Teri” seru Aurel, matanya tegas seakan menguatkan keputusannya, penjelasan ketidaksukaan, “jahat ya!” kata itu seakan terdengar berulangan entah apa yang sedang dikejar... kata itu seakan terdengar ramai, walaupun terasa hanya lewat begitu saja... Teri – Reno – Mirna, nama itu kembali bergulir... tak pernah berhenti, seakan waktu memihak untuk menekan mereka bersamaan... tapi kenapa dengan orang-orang ini... kenapa mereka membicarakannya... siapa mereka? Kenalkah?
Business Class, pelajaran itu seakan tidak mampu menghapus perhatian mereka akan hubungan Teri dan Reno, guliran kertas berhiaskan ketidaksukaan berpindah dari tangan ke tangan dari pikiran ke pikiran dari hati ke hati, Teri – Reno, seakan menjadi sebuah ikon kejahatan remaja yang tidak punya hati... hitam itu tertulis jelas, gunjingan itu menghiaskan berjuta kata dan asa... berjuta lirih... menekan tanpa pembelaan, sebuah penekanan dengan paksaan, sebuah penekanan tanpa arti... mereka... sepertinya mereka sendiri tidak mengerti kenapa harus berkata seperti itu, kenapa mereka harus melakukan penekanan yang seperti itu... penekanan itu... beralasankah? Hanya sebuah cerita singkat... itukah yang dijadikan sebuah dasar penekanan? Tapi...
Aurel, gadis 165cm itu selayak terdiam, tertunduk, seakan tidak terpengaruh, layar handphone itu... jarinya bergerak bermainan, matanya... rambutnya yang ikal panjang itu berusaha untuk menutupinya... jemarinya bergulir bergantian menekan keypad... menuliskan arti... Aurel, sesekali bibirnya terlihat tertekuk, sesekali bibirnya basah... bahasa itu... seakan dia sedang menyelami sendiri dunianya... dunianya... dunia itu... tidak tampak, sebuah dunia yang tergambar dalam setiap sinaran... sebuah dunia dalam angan, sebuah refleksi jiwa... sebuah refleksi keinginan jiwa... dunia itu tergambar jelas... tubuhnya seakan mengisyaratkan setiap detilnya... jemarinya seakan memberikan kata... dunia itu... harapan, kenyataan, angan, keinginan, Aurel...
Matanya terfokus... pikirannya, jemarinya tertahan, dia berusaha, dia berfikir, dia... untuk siapa? Mata itu... sedikit sayu, rambutnya perlahan tersibak dengan sendirinya... sayu... kenapa? Aurel... ia menyelami pikirannya sendiri, terpisah dengan ia yang sedang didepan... ia... business class... cuap itu seakan terhirau... suara itu seakan hanya lewat begitu saja, seakan tanpa arti... seakan tidak ada suara... seakan hanya ada dia... seakan hanya ada dia... seakan hanya dia... kesepian itu seakan tergambar jelas... ianya... hidup dalam lembaran digital penuh kata... kata apa? Terkadang ia-nya terlihat terhenti... pikirnya ingin semuanya seperti biasa, tapi kata itu seakan sengaja diukir... sedikit penuh basa-basi... sedikit penuh...
Lembaran itu terus saja bertebaran, menggantikan “ia” hanya sebuah... hanya selembar kertas sekali jalan... hanya selembar kertas... ungkapan sekali lewat anak muda... hanya selembar kertas... hanya selembar kertas dengan tinta hitam... ungkapan yang tidak beralasan... ungkapan yang seakan terkesan natural... tapi sebenarnya dipaksakan... lembaran kertas itu seakan terdengar nyaring, menggantikan suara-suara yang seakan terdengar sumbang... lembaran kertas itu... ia-nya yang meraja...
Bel terakhir, tiga kali dentangan itu, tapi Aurel... matanya seakan masih terpaku, pikirannya masih terlelap...
“rel udah dong SMS-an-nya, pulang gak...?” tanya Vanya
“Yuk” singkatnya, senyum kecil terhias dibibirnya, sedikit tegang, terkesan hanya formalitas tanpa arti... Aurel...
“Nya boleh tanya gak... kalo ada orang yang ajakin qta buat backstreet gmana?” Aurel, wajahnya terkesan menegang... tanyanya seakan melupakan yang baru saja berlalu... tanyanya... Teri – Reno... kemana ungkapan itu pergi? dimana ia-nya berlalu? Mengapa hal tersebut bergulir? Apa iya hal tersebut harus ditanyakan? Padahal... seakan pertanyaannya menginginkan sebuah jawaban yang berbeda... seakan pertanyaannya menginginkan semuanya, cerita ini berbeda... tapi... apa ini hanya sebuah luapan tanpa arti?
“Loh kok tanya gt, ya gak baguslah, lo taukan si Teri ma Reno, emangnya lo mau diajak backstreet”
“ya gak lah, tapi kan...” ujaran itu terhenti sampai disitu... terhenti... ia-nya sengaja dihentikan... pikirannya seakan mencoba mencari sebuah jalan aman, pikirannya tak ingin terlalu berfluktuasi... pikirannya... inginnya...
“Udahlah gak ada kata tapi... pokoknya jangan, kecuali lo dah siap sakit hati... aneh banget deh, masa pacaran sembunyi-sembunyi” sela Vanya... alisnya melengkung tajam... Aurel ianya tertunduk, terdiam... Aurel... padahal dia sudah tahu jawaban itu... kenapa pertanyaannya masih harus dilantunkan... kenapa? Apa ini hanya sekedar basa-basi ataukah...? ia-nya... jawaban itu terkesan tak ingin diraih... inginnya mencari yang lain... inginnya mencari dukungan inginnya... tapi kenapa... Reno – Teri, padahal ia sendiri yang telah menunjukan sikap, tapi kenapa? Apa cerita ini berbeda? Apa cerita ini tak sama? Apa? Tapi dimana letaknya? Apa karena cerita ini tentang qta... apa karena itu semuanya terlihat berbeda... apa karena itu semuanya seakan berbeda... apa ini bukanlah sekedar... keinginan pribadi... sebuah hasrat yang haus akan dukungan... sebuah hasrat manusiawi dimana terkadang “kata” tidak lagi terdengar penting...
Aurel, matanya sayu... bukan ini yang ingin dia dengar, sebuah dukungan... seakan itu yang terlintas dipikirannya, sebuah dukungan akan hubungannya yang kontroversi... pengakuan dan cinta, setidaknya dua kata itu yang berusaha bergulir dipikirannya... tapi apa iya backstreet, “backstreet” kata itu mulai muncul disela-sela hening pikiran seorang Aurel. Matanya tertunduk... handphone itu hanya terlihat, terpandang... seakan tanpa arti... tanpa arti... kerut itu mulai menghias bibirnya... basah itu mulai menggantikannya perlahan “ah gak usah ambil pusing” selayak itu yang berusaha diungkapkan tubuh mungilnya... mata itu sayu... perasaan itu sedikit berkecamuk... berbeda... ianya masih berfikir cerita ini berbeda... tapi dimana? Langkahnya, tubuhnya, geraknya seakan terbata... ia-nya sulitnyakah untuk melangkah? Apa ada maknanya melangkah? Ataukah ia berusaha berkata dalam langkah? Tapi apa?... Aurel...
Cerita itu seakan berlalu tanpa usaha, berlalu... itu saja tidak lebih, tidak teringat, Reno – Teri... keduanya seakan terhilang tersapu angin... bagai debu itu... debu yang “ia” seorang Aurel tatap tanpa arti... ia-nya kosong... “dia” yang baru ini berusaha mengambil alih dirinya... dilihatnya semuanya seakan terkesan memudar... orang itu, pohon itu, burung itu... dilihatnya semuanya terisi tapi kosong... Aurel... matanya terus menatap, tajam... tapi bukan itu yang ia tatap, “ini” yang ia tatap... seseorang dalam pikirannya... seseorang yang tersenyum dalam layar handphonenya...
Senyum itu tiba-tiba muncul... sela ini “anak itu manis” pikirnya dalam hati... diperhatikannya seorang anak kecil duduk didepannya... memegang sebuah balon kecil dengan tangkai... Mc-D tulisnya... lengkungan emas itu seakan mengajaknya untuk tersenyum... tersenyum... masih polos, ianya tertarik... mobil ini masih tergerak... senyum itu seakan hal yang baru hari ini... tulus... balon itu sedikit dimainkan... tangan ini berusaha untuk menutupinya... takut... ledakan itu... spekulasi ini... padahal hal itu belum... tapi kenapa aku tersenyum padahal aku... balon itu... aku takut... kenapa aku tersenyum jika aku takut... apa aku takut atau ini hanya menjadi sebuah pilihan? Atau aku yang memilih untuk takut? Apa aku...? kenapa aku? Anak itu berbahasa dengan berjuta makna... ianya tidak dapat dimengerti... hanya sebuah perasaan yang mencoba untuk bertaut... ianya... senyum ini...
Senyum ini... ia-nya seakan fatamorgana, bullshit...