Merasa haknya untuk merayakanIdul Fitri tidak bisa dinikmati sepenuhnya, para tahanan Imigrasi Australia di Darwin yang sebagian besar warga negara Indonesiamembakar Pusat Penahanan Imigrasi milik negeri Kangguru itu. Kebakaran yang terjadi pada Rabu (31/8) itu telahtelah menghanguskan sekitar 20 kamar penjara. Namun 466 tahanan yang meringkuk di tempat itu, dikhabarkan selamat, tak satupun yang terluka.
Jaringan Advokasi dan Pendukung Pencari Suaka di Darwin mengatakan, sebagian besar yang terlibat dalam kebakaran tersebut adalah orang Indonesia yang dituduh melakukan penyelundupan manusia dan illegal fishing. Mereka membakar kasur untuk memicu kebakaran yang lebih luas.
"Saya kira yang memicu aksi para tahanan itu adalah karena mereka tidak dapat ikut serta sepenuhnya merayakan Idul Fitri. Ini ada kaitan dengan kekhawatiran umum para tahanan di pusat tahanan imigrasi di Darwin terhadap akses pelayanan agama," kata salah seorang jaringan advokasi dan pendukung pencari suaka di Darwin, O'Connor.
Juru bicara Aksi Kolektif Pengungsi, Ian Rintoul mengatakan hal senada. Menurutnya, telah terjadi ketegangan dengan para tahanan Indonesia karena mereka menunggu selama berbulan-bulan dan kadang-kadang setahun sebelum mereka akhirnya disidangkan.
Pusat Penahanan Imigrasi Darwin itu, sebagaimana fasilitas-fasilitas tahanan imigrasi lainnya, menampung para pencari suaka. Di tempat ini kerap terjadi insiden. Para tahanan beberapa kali melancarkan protes, termasuk aksi mogok makan pada bulan Juli lalu. Di bulan yang sama, ada enam orang yang mencoba bunuh diri dalam kurun waktu tiga minggu.
Surga bagi para Pencari Suaka
Kita tentu masih ingat, peristiwa 43 pencari suaka asal Papua pimpinan Herman Wanggai yangyang menggunakan kapal kayumengarungi samudera luas menuju Australia selama 5 hari dan terdampar di Cape York, Australia utara awal 2006 yang lalu. Australia sesungguhnya punya kemampuan yang andal dalam menangkal setiap pendatang haram ke tempatnya, sebagaimana dibuktikan dalam banyak kasus manusia perahu dari Asia Tenggara, Asia Selatan, maupun Timur Tengah. Anehnya, kepada ke-43 warga Papua itu, dalam waktu kurang dari dua bulan Australia telah memberikanvisa tinggal sementara. Padahal, kepada puluhan imigran gelap lain, negara kanguru itu membiarkan para pendatang haram menunggu di pusat penampung di Pulau Christmas, bahkan sampai bertahun-tahun. Fakta ini cocok dengan keterangan Juru bicara Aksi Kolektif Pengungsi, Ian Rintoul dalam berita di atas.
Pemberian visa itu memang sempat membuat publik di Indonesia marah. Karena secara tidak langsung Australia membenarkan (sekaligus secara tak langsung mengkampanyekan kepada public internasional) apa yang disampaikan secara sepihak oleh para pengungsi warga Papua itu, bahwa Pemerintah Indonesia melakukan genosida, dan berbagai tindak kekerasan yang tidak berperikemanusiaan di Papua. Padahal, realitasnya tidak seperti itu.