Bank dan lembaga non-bank melihat KTA sebagai peluang bisnis yang menguntungkan karena margin keuntungan yang relatif lebih tinggi dibandingkan produk kredit lainnya. Sebagai contoh, suku bunga KTA umumnya berada di kisaran 10--15% per tahun, lebih tinggi dibandingkan kredit berbasis agunan seperti KPR atau kredit kendaraan bermotor. Dengan risiko yang lebih besar, lembaga keuangan juga mengenakan biaya administrasi tambahan, sehingga pendapatan non-bunga turut meningkat. Bagi bank, KTA menjadi salah satu cara untuk meningkatkan daya saing mereka di tengah persaingan ketat dengan fintech yang semakin agresif menawarkan produk serupa. Â
Dari sisi lembaga non-bank, khususnya fintech, KTA menjadi salah satu layanan andalan untuk menarik pengguna baru. Dengan memanfaatkan analisis big data dan kecerdasan buatan, fintech dapat menilai risiko kredit dengan lebih cepat dan akurat, memungkinkan mereka untuk menawarkan pinjaman dengan bunga yang kompetitif kepada segmen masyarakat yang tidak terlayani oleh perbankan tradisional. Di tahun 2023, total penyaluran pinjaman melalui fintech lending di Indonesia tercatat mencapai lebih dari Rp50 triliun, dengan sebagian besar berupa KTA. Pertumbuhan ini mencerminkan potensi besar KTA dalam mendorong inklusi keuangan sekaligus memperkuat daya beli masyarakat. Â
Namun, di balik peluang besar ini, terdapat risiko signifikan yang harus diwaspadai. Salah satu risiko utama adalah potensi lonjakan kredit macet (NPL). Tanpa agunan, lembaga keuangan menghadapi tantangan besar dalam memitigasi risiko gagal bayar, terutama jika pengelolaan risiko kredit tidak dilakukan dengan baik. Data menunjukkan bahwa tingkat NPL untuk KTA cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan produk kredit lainnya, yang pada beberapa kasus dapat mencapai lebih dari 5%. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi bank dan lembaga non-bank, karena peningkatan NPL dapat mempengaruhi kesehatan keuangan mereka secara keseluruhan. Â
Selain itu, peningkatan eksposur terhadap risiko kredit juga dapat memperburuk stabilitas sistem keuangan jika tidak dikelola dengan baik. Dalam skenario terburuk, kegagalan lembaga keuangan dalam mengelola portofolio KTA mereka dapat menyebabkan krisis kepercayaan yang meluas, seperti yang terjadi pada industri subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2008. Meskipun skala risiko KTA di Indonesia belum sebesar itu, pembelajaran dari kasus tersebut menunjukkan pentingnya pengawasan dan manajemen risiko yang ketat untuk mencegah dampak sistemik. Â
Dari sisi regulasi, perlu ada upaya untuk meningkatkan pengawasan terhadap penyedia KTA, terutama lembaga non-bank seperti fintech. Saat ini, banyak fintech yang beroperasi tanpa pengawasan langsung dari otoritas keuangan, sehingga berpotensi menciptakan risiko moral hazard. Pemerintah perlu mendorong integrasi data kredit yang lebih baik melalui sistem seperti Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) agar lembaga keuangan dapat mengakses data kredit debitur dengan lebih transparan. Hal ini akan membantu mengurangi risiko kredit macet dengan memastikan bahwa pinjaman hanya diberikan kepada individu yang memiliki kapasitas pembayaran yang memadai. Â
Selain risiko teknis, KTA juga menghadapi tantangan dalam hal literasi keuangan masyarakat. Banyak konsumen yang tidak sepenuhnya memahami konsekuensi dari pengambilan kredit tanpa agunan, terutama terkait bunga dan biaya tambahan yang tinggi. Literasi keuangan yang rendah dapat menyebabkan konsumen terjebak dalam lingkaran utang, yang pada akhirnya merugikan lembaga keuangan maupun masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, edukasi keuangan perlu ditingkatkan agar konsumen lebih memahami hak dan kewajiban mereka sebelum mengakses KTA. Â
Melihat peluang dan risiko yang ada, ekspansi KTA memerlukan strategi yang seimbang antara inovasi produk dan manajemen risiko. Bank dan lembaga non-bank perlu memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan akurasi penilaian risiko kredit, sekaligus memastikan bahwa produk yang mereka tawarkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, pemerintah dan otoritas keuangan perlu terus memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap sektor ini untuk memastikan bahwa pertumbuhan KTA tidak menimbulkan risiko yang merugikan stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Â
Dalam jangka panjang, ekspansi KTA yang dikelola dengan baik dapat menjadi salah satu pilar utama dalam mendorong pertumbuhan inklusi keuangan di Indonesia. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan semua pihak---bank, lembaga non-bank, regulator, dan masyarakat---untuk bekerja sama dalam menciptakan ekosistem keuangan yang inklusif, stabil, dan berkelanjutan. Dengan sinergi yang tepat, KTA dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan stabilitas sistem keuangan.