“Filmnya datar banget… Gue seneng aja bisa lihat Bali di film itu, “ begitulah kata temen gue… Komen dari seorang yang lumayan terkenal di account twitternya juga rada sadis, “Film itu hanya bagus untuk mendongkrak pariwisata di Bali…”
Waduh, sampai segitu buruknya kah film itu dimata mereka? Komentar – komentar mereka sempat membuat gue ragu untuk menonton film EAT PRAY LOVE (EPL). Tapi, pikir punya pikir…ah, sebodo amat deh. Gue udah baca bukunya dan walau gue ngaku bukan fans berat dari buku itu…tapi ada sesuatu yang ingin gue lihat di layar lebar. Oh, bukan, bukan… Bukan hanya si Javier Bardem yang jadi pasangannya Julia Roberts di film itu… Tapi perjalanan hidup si penulis yang bernama Elizabeth Gilbert.
Elizabeth Gilbert memang sudah berprofesi sebagai penulis jauh sebelum ia menulis EPL. Diantaranya tentang traveling yang memenuhi gairahnya untuk berpergian ke penjuru dunia. Dan hal itulah yang membuatnya bertanya – tanya mengapa ia tidak mempunyai gairah yang sama dalam kehidupan perkawinannya. Akhirnya ia mengambil keputusan drastis untuk bercerai dari sang suami.
Nah, mungkin disini deh bedanya baca buku sama nonton film. Kita yang baca bukunya tahu mengapa Elizabeth lebih bersemangat jika dikirim entah kemana untuk artikel majalah ketimbang memikirkan kapan ia menginginkan anak. Dibuku kita seperti dibawa untuk memahami kegelisahan Elizabeth. Sementara di film yang mungkin harus disingkat sedemikian rupa kegelisahan itu tidak terlihat. Jadi seolah Elizabeth hanya seorang wanita yang melarikan dari apa yang namanya komitmen. Atau hanya wanita yang gak jelas maunya apa sih?
Di film juga gak diceritakan kalau naskah EPL ini sudah dibayar dulu oleh sang penerbit dan uangnya jelas digunakan untuk membiayai perjalanannya ke Italia, India dan Indonesia. Pokoknya orang hanya tahu, selesai bercerai dia langsung pergi meninggalkan segala – galanya ke tiga negara tersebut. Kesannya, dia banyak duit banget padahal Elizabeth itu habis – habisan kehilangan harta bendanya (seperti yang diramalkan oleh Ketut Liyer) dan dia mendapatkan lagi setelahnya (huh, baik banget si penerbit mau membayar naskah yang belum jadi… Pasti si Elizabeth ini penulis yang hebat).
Jadi melangla buanalah si Elizabeth ke Italy. Belajar menjadi the master of bel far niente (the art of doing nothing) karena menurut orang Italy orang Amerika itu yang menciptakan hiburan tapi tidak tahu cara bersenang – senang. Hahahaha… Ia juga belajar bahasanya dengan bergaul bersama penduduk setempat… Baik bahasa yang diucapkan dan bahasa tangan… Menikmati begitu banyak makanan (nah, dibagian ini baik pas baca bukunya dan pas nonton benar – benar membuat gue laper) tanpa peduli berat badannya naik (tapi Julia Roberts kagak kelihatan naik sama sekali kok). Di Italy ini Elizabeth mencari: kesenangan (pleasure).
Lalu ia pun pergi ke India, mempelajari yoga…berusaha dekat dengan Tuhan… Beda dengan di Italy, di India ia belajar mengabdi…(devotion). Bagaimana ia harus bangun pagi – pagi untuk berdoa, belajar mengosongkan pikiran dalam bersemedi, ikut mengepel (benar – benar ngepel jaman dulu yang mesti jongkok nunduk – nunduk) dan makanan vegetarian (detox abis nih kayaknya dari pizza, spaghetti dan es krim di Italia).
Akhirnya ia pun pergi ke Bali, Indonesia mencari keseimbangan (balance). Gambar yang diambil kebanyakan menunjukkan padi, teras padi, rumahnya Ketut Liyer sang dukun yang pernah meramalkan Elizabeth akan kehilangan uang dan akan mendapatkannya kembali. Serta meramalkan bahwa ia akan dua kali menikah. Dan di Bali, Indonesia itulah ia menemukan pasangannya. Seorang pria dari Brazil yang bernama Felipe. Happy ending deh.
Datar? Yah, mungkin aja. Namanya aja perjalanan hidup seorang wanita yang tengah mencari kesenangan, pengabdian dan keseimbangan. Tentunya kita gak berharap akan melihat film yang bercerita tentang perjuangan seorang wanita mencari keadilan demi dirinya atau hal yang meletup – letup lainnya yang bisa habis – habisan menguras emosi pentonton.
Berlebihan? Gak tau berterima kasih banget sih tuh cewek udah punya kehidupan yang bagus dan nyaman tapi malah ditinggalin buat hal – hal yang gak jelas… Yah, disitulah kelemahan film yang gak bisa memberikan terlalu banyak informasi dan semua tergantung penonton menangkap pesan yang tersirat. Bagaimana pergolakan emosi si penulis dalam kehidupannya di masa lampau, yang sekarang dan bagaimana ia menatap masa depan.
Gue yakin pasti Elizabeth sebelumnya gak akan menyangka bukunya bisa jadi best seller (pastinya si penerbit gak merasa rugi bandar udah ngasih uang muka duluan sehingga ia bisa hidup tanpa bekerja selama setahun). Dan gak hanya jadi best seller, bukunya yang berisi perjalanan hidupnya itu dijadikan film dengan pemerannya Julia Roberts pula! Kebayang gak sih, menulis cerita…dijadikan buku aja udah seneng banget. Terus jadi best seller… Lalu ada yang nawarin buat dijadikan film… Wow…! Mungkin ini yang menjadi daya tarik buat gue untuk melihat filmnya… Walau apapun kata orang… It’s another celebration for a talented writer…to enjoy her work being admired by so many people and inspiring as well.
*jadi kepingin kayak Elizabeth…*