Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Korea Love Story bab 1

7 Juni 2010   03:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:42 218 0
“Apa maksudmu, Kamu Tidak Ingin Pergi?” aku bertanya seraya menatapnya dengan gusar.
“Jangan main-main, Linda! Kita sudah merencanakannya dari beberapa bulan yang lalu…” nada suaraku mulai meninggi. “Dan sekarang kamu bilang Tidak Ingin Pergi?!”
Orang yang tengah duduk dihadapanku; Linda… teman kerjaku; tidak menjawab pertanyaanku. Ia seperti bermain dengan waktu. Tangannya memutar-mutar sedotan di gelas Ice Mocca nya. Lalu dengan tenang ia mulai menghirup… seolah-olah tengah meminum sesuatu yang panas. Padahal mungkin ia sedang menghimpun semua alasan yang bisa digunakannya untuk menjawab pertanyaanku. Hhhh, udara kok sepertinya mulai panas membara ya? Tapi ini tentu saja tidak mungkin. Seperti layaknya kafe lain, Coffee Bean dilengkapi dengan air conditioner yang menyejukkan pengunjung yang duduk didalamnya. Namun kesejukan yang yang ada didalam ruangan itu tidak bisa meredam kegelisahanku dalam menunggu jawabannya. Ditambah lagi dengan hingar bingar pengunjung yang semakin lama semakin memenuhi tempat ini. Hasilnya, aku semakin merasa kegerahan.
“Oh, jangan katakan padaku bahwa kau tidak bisa…,” Aku memohon dalam hati. Tapi kelihatannya harapanku tidak akan terkabul.
“Aku tidak bisa karena…” ia berhenti lagi. Astaga! Ada apa sih? Gggrh, aku bisa merasakan darah mulai mengalir cepat ke kepalaku.
“Begini… Erm, kamu khan tau… kalau aku baru saja rujuk kembali…”
Ya amplop! Aku memutar kedua bola mataku. Jadi ini alasannya… Yang menjadi pangkal masalah beberapa bulan yang lalu. Masalah yang membuatnya mengambil keputusan untuk pergi denganku. Dan masalah itu pula yang kelihatannya akan membatalkan semua rencana perjalanan ini. Aku nyaris tidak mendengar lagi sisa kata-katanya. Pikiranku melayang ke beberapa bulan yang lalu ketika Linda baru saja putus dengan kekasihnya: Dion. Disela keluh kesahnya tentang Dion, ia mengatakan rencananya untuk melakukan sesuatu yang dapat menghibur dirinya.

“Apa saja…,” ia mendesah. “Yang penting aku bisa cepat melupakannya…” Lalu ia diam seperti orang yang tengah kekurangan darah. Matanya menatap dalam-dalam ke surat kabar yang sepertinya pura-pura dibaca.
“Mungkin sebaiknya kamu ambil cuti panjang dan pergilah jalan-jalan…” aku mengusulkannya dengan asal-asalan.
Jalan-jalan tentu saja bukan kegiatan yang tepat untuk Linda agar dapat melupakan Dion. Ia sudah terlalu sering melanglang buana ke berbagai pelosok dunia. Sudah bisa dipastikan ia akan bosan jika harus berkunjung ke tempat yang sama untuk kesekian kalinya. Karenanya aku tercengang ketika menatap wajahnya yang mendadak berseri-seri. Dan kalimat berikutnya adalah,” Hem, aku pikir juga begitu. Tapi kamu nanti temani aku ya?”
Aku terperangah mendengarnya. Dengan pandangan menyelidik aku memancing,” Memangnya kamu sudah ada rencana mau kemana?”
Dan dengan mata yang berbinar-binar… (duh, waktu itu wajahnya sungguh Angelic sekali!) ia menunjukkan salah satu iklan di koran yang kupikir hanya pura-pura dibacanya sedari tadi.

“KOREA?!” mataku terbelalak.
“Ya…! Bukankah menyenangkan? Aku belum pernah kesana. Kupikir kita dan termasuk Leticia, bisa cuti untuk berkunjung selama seminggu. Bayangkan, berada disuatu tempat dimana tidak ada orang yang mengenali kita. Dan kita bisa bebas melakukan apa saja…”
“Yang benar saja Lin,” aku masih ingat ketika tetap berusaha menolak ajakannya. “Memang ada apa sih di Korea?”
Usaha yang sia-sia. Seharusnya aku sudah tahu bahwa bagi Linda penolakan sama saja dengan pancingan baginya untuk semakin mendesak lawan bicaranya agar setuju dengannya. Nyaris tidak ada orang yang bisa menolak rayuannya. Aku tahu sekali itu, walau belum kami terlalu kenal satu sama lain. Kami pertama kali bertemu saat bersama menjadi pegawai baru di kantor ini. Hanya kami berdua yang seumur dan selalu menjadi bahan perploncoan oleh rekan kerja yang lebih senior. Akhirnya kami jadi lebih sering menghabiskan waktu bersama. Terlebih lagi, ketika aku mengetahui bahwa Linda juga mengenal temanku ketika SMA yaitu Leticia. Leticia dan aku sering bergurau bahwa Linda sebenarnya tidak butuh bekerja. Ia hanya butuh aktualisasi diri. Atau sekedar gaul mencari teman dan sekalian musuh di tempat bekerja.
Secara fisik. Linda memang yang paling sempurna dari antara kami. Rambutnya yang panjang lurus, tanpa harus repot-repot melalui proses rebonding. Matanya yang bulat besar tapi indah seperti gambar dalam komik Jepang. Badannya pun tinggi semampai. Dan jika kami bertiga berjalan, aku dan Leticia persis seperti anak-anak kecil yang berjalan dengan kakaknya. Yang sama dari kami bertiga hanyalah kulit kami yang lumayan masuk hitungan putih lah. Karena bentuk lainnya dari tubuh ku dan Leticia sudah tidak masuk hitungan sama sekali, jika dibandingkan dengan Linda tentunya. Rambut Leticia halus pendek. Ia terlalu malas untuk ke salon dan karenanya ia selalu membabatnya setiap ada kesempatan. Sementara aku berusaha tetap setia dengan rambut ikalku. Jika Leticia dan Linda selau berlomba-lomba memakai soft lens yang berwarna warni, maka aku tetap berada di aliran klasik. Cukup puas berkacamata.

Anyway, sudah setahun ini Linda menjalin hubungan dengan Dion; yang dikenalnya ketika ia pergi travelling ke Amerika. Jika dilihat sepintas, mereka memang pasangan yang serasi. Bisa dibilang, seperti melihat iklan pasangan artis muda di tabloid. Keduanya bagaikan magnet yang langsung menyedot perhatian orang yang melihat mereka. Namun justru disitulah masalahnya. Bisa dibayangkan jika dua orang yang telah terbiasa mendapat puja puji dari orang lain, harus melakukan hal yang sama pada kekasih mereka. Bahkan, untuk itu saja mereka tidak bisa. Akibatnya, hubungan Linda dan Dion sering mengalami putus sambung yang entah kesekian kalinya. Dari selentingan yang kudengar (plus gosip yang kuperoleh dari Leticia), Dion sepertinya hanya ingin iseng dengannya. HTI. Hubungan Tanpa Ikatan. Sementara Linda, dibalik sifatnya yang angin-anginan itu, tetap menginginkan hubungan yang serius. Itulah yang selalu menjadi bahan pertengkaran mereka. Nampaknya, pertengkaran kali ini adalah yang terparah. Kalau tidak, ia tidak akan menghabiskan waktunya untuk merayuku agar menemaninya ke negeri antah berantah ini. Seperti yang dilakukannya sekarang.

“Masa sih kamu yang penggemar film Korea tidak tertarik kesana? Bayangkan, kamu tidak usah jauh-jauh untuk melihat seperti apa sih negara 4 musim itu. Apalagi kalau kita pergi pas musim gugur atau musim dingin. Pasti indah sekali”
Aku mulai goyah. Harus diakui kalau aku selama ini selalu ingin tahu, seperti apa sih negara yang punya 4 musim itu? Dan kalau memang biayanya tidak terlalu mahal…, aku mulai berpikir-pikir… Ketika aku mendongak kearah Linda, terlihat senyuman yang terkuak di wajahnya. Ia tahu betul kalau aku sudah mulai tergoda dengan usulnya.
“Ayolah, Sandy. Siapa tahu kita bisa bertemu tiruannya Bae Yong-jun, Jang Dong-gun atau Won Bin disana…” Ketika dilihatnya aku mencibir, ia langsung melanjutkan,”Aku akan segera mencari tahu tentang persyaratan permohonan visa, biaya-biaya selama disana. Dan coba kamu kontak teman email kamu disana, siapa namanya?”
Aku meringis. Linda ternyata masih ingat bahwa aku mempunyai kenalan dari Korea yang bernama Michael Han. Serunya lagi, Michael Han bekerja sebagai tour organizer. Tentunya kami bisa banyak bertanya padanya mengenai pariwisata disana. Yah, saat itu aku memang sudah mulai goyah. Tapi, aku tetap belum menyetujui usul Linda sebelum menceritakannya pada teman-temanku yang lain.
“KOREA?” dan jeritan itulah yang kudapat ketika menceritakannya pada Leticia dan teman-temanku yang lain. Apalagi ketika kuberitahukan tentang rencana kepergianku ke Korea tanpa menggunakan tour. Maka komentar merekapun nyaris sama. “Kamu sudah gila ya kesana tanpa tour? Apa kamu pikir disana itu seperti Singapura? Kalian khan tidak bisa seenaknya beredar di jalan sambil menyeret koper dan mencari penginapan?”
Hanya Leticia yang sangat antusias mendengar rencana jalan-jalan ini. Yah, kalau dipikir-pikir… Harusnya aku berangkat dengan Leticia saja daripada dengan Linda. Soal urusan dunia hiburan dari Korea, Leticia memang jagonya. Ia yang pertama kali dengan semangat mengompori aku dan Linda untuk ikut menonton.
“Sudah lihat Hotelier belum? Yang main cakeeeeeeep deh. Namanya Bae Yong-jun… “ Atau di lain kali,” Eh, mau nggak kupinjemin All About Eve? Rugi deh kalian kalau menolak. Pemain prianya cool banget. Jang Dong-gun namanya…” dan entah apalagi, aku sudah tidak ingat lagi semuanya.
“Aih, kalau begitu sebaiknya aku segera mencari alamat Won Bin dan Jang Dong-gun ya? Atau siapa aja deh… Nanti kita akan kunjungi rumah mereka dan kita minta tanda tangan sama foto (aku langsung mendengus) dan orang-orang bisa sirik nih…”
“Tapi, “ mendadak suaranya terdengar agak lesu. “Kalian rencananya berangkat tahun ini ya? Waduh…, sepertinya aku tidak bisa…”
“Oh?” aku langsung merasa jatuh dari awang-awang. Wah, masa aku hanya berdua dengan Linda sih? Bukannya tidak menyenangkan pergi dengan Linda. Namun yang terlintas di pikiranku, kalau-kalau ia benar mengajak Dion untuk pergi kesana. Mau jadi apa aku nanti? Tapi Leticia mengatakan bahwa ia terlalu sibuk tahun ini dan tidak mungkin baginya meninggalkan pekerjaannya.
“Wah, nggak seru dong… Kamu khan jauh lebih suka film Korea dibandingkan dengan aku dan Linda…”
“Ya ampun, pergi saja. Bodoh, jangan sia-siakan kesempatan kalau kamu bisa. Kita tidak pernah tahu apa yang akan tejadi di tahun yang mendatang. Bisa saja persyaratannya tambah berat. Asal, jangan lupa membawa oleh-oleh lho…”
“Beres. Nanti akan kukabari lagi ya berita selanjutnya. Tunggu saja,” aku begitu bersemangat ketika itu.

Tapi itu DULU. Kenyataan yang ada dihadapanku sekarang justru berbeda sama sekali. Dimana rencana perjalanan itu telah mulai merasuk kedalam pikiranku. Sementara orang yang memaksaku untuk melakukan hal tersebut ternyata telah kehilangan minat. Apa pemicunya? Hanya karena seorang pria yang sebenarnya bahkan tidak ada hubungannya denganku. Pria itu telah mencampakkan sahabatku sehingga ia berpaling padaku. Namun saat ini pria itu telah kembali ke kehidupannya, maka Linda memutuskan aku sudah tidak diperlukan lagi.
“… ya, jadi begitulah… Ia sebenarnya telah memohon untuk kembali lagi padaku sejak lama. Tapi aku baru memutuskan sekarang untuk menerimanya kembali… “ dan entah apa lagi yang ia celotehkan. Aku hanya mendengarnya dengan setengah hati.
“Jadi selama ini aku hanya jadi cadanganmu sampai ia kembali lagi padamu ya?” aku tidak bisa menahan nada sinis dalam suaraku.
“Well, it’s working…, right?” Linda menatapku dengan pandangan orang yang tengah bermimpi. Tak ada nada penyesalan dalam suaranya. Ia sama saja seperti sudah mengaku bahwa ia telah memperalatku selama ini.
“Kamu benar-benar luar biasa sekali… Kamu pikir lucu ya setelah semua yang kita rencanakan itu. Dan sekarang kamu katakan bahwa itu semua hanya pura-pura?!” aku mulai mencengkram kursi. Astaga, untung meja yang kami tempati terletak dipojokan yang mengarah ke pintu keluar. Rasanya suaraku sudah mencapai nada yang paling tinggi.
“Ah, bukankah kamu memang tidak terlalu antusias?” Ia memasang wajah angelic-nya kembali kepadaku. Hanya saja, kali ini aku sama sekali tidak menganggapnya manis tapi mengesalkan. “Lagipula, aku tidak yakin kau akan tahan meninggalkan rumah selama itu… Hei! Kau mau kemana…?!”

Pulang tentu saja, aku menggerutu dalam hati. Apa dia pikir aku sudah gila untuk terus mendengarkan obrolannya? Aku menarik napas dalam-dalam… Brengsek. Aku jadi malas pulang kalau sudah begini. Dengan langkah gontai aku mulai menelusuri jalan-jalan di sepanjang Plaza Indonesia. Membiarkan diriku melayang terbang bersama rencana perjalananku yang terancam gagal total.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun