Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Sistem Otoriter Soeharto pada Masa Pemerintahanya

17 April 2013   16:40 Diperbarui: 4 April 2017   17:47 4004 0
Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer "The Smiling General" ("Sang Jenderal yang Tersenyum") karena raut mukanya yang selalu tersenyum di muka pers dalam setiap acara resmi kenegaraan. Jenderal Besar Purnawirawan Haji Muhammad Soeharto, (lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni, 1921 – Jakarta, 27 Januari 2008) adalah Presiden Indonesia yang kedua, menggantikan Soekarno. Ia mulai menjabat sejak keluarnya Supersemar pada tanggal 12 Maret 1967 sebagai Penjabat Presiden, dan setahun kemudian dilantik sebagai Presiden pada tanggal 27 Maret 1968 oleh MPRS.

Soeharto dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era Orde Baru. Pada awalnya sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto adalah kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya serta konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan.



Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik otoritarian di mana tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Golkar. Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah Otoriter/militeristik. Seorang pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap yang menonjolkan “keangkuhannya”, dengan cara Kecendurangannya memperlakkan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat mereka. dan mempengaruhi orang banyak...







KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun