Kepada tangan-tangan tak bertuan, bahumu sedikit kupinjam, sebagai alasan untuk sebuah empati, yang melukai dasar hati lebih dalam.
Pecut aku dengan kalimat yang lihai, lalu mainkan peranan di atas mata sajak gigil yang menua oleh zaman akibat kebodohan.
Kembali menulis di ujung harapan akan keringat dingin dan sebutan uang. Belasungkawa tangis, gemeretak santun tanah Maharani.
Di mana kebebasan dari sebuah kehilangan, adalah kesakitan terpanjang, rintihan teraneh bersayap sembilu, darah ungu dan lugasnya kata, memukul-mukul sendi hingga hancur dan uar pada kekuatan udara jenuh.
Ya kau! Kubu kami mati karam. Tetapi, senyuman puas kembali mengalirkan semburat darah.
Kisah ini berakhir begitu terlambat, alam lihatlah aku kembali pulang. Katakanlah selamat jalan, sebelum udara menghitung waktu.